Fenomena pembakaran bendera milik HTI oleh beberapa pemuda berseragam Banser baru-baru ini memang terjadi secara tak terduga. Tindakan ini menuai pro dan kontra hampir di semua elemen masyarakat. Paling tidak kita menjadi tahu, peristiwa ini dapat membuat simpatisan HTI keluar semua dan menjadi mudah dikenali, betapa pun tak hanya HTI yang mempermasalahkan atau keberatan dengan tindakan itu.
Narasi yang terbangun dari peristiwa ini pun sungguh sangat beragam. Dari sudut HTI, mereka sangat terampil dalam membangun narasi, misalnya dari membakar bendera HTI menjadi membakar bendera tauhid. Kita bisa memastikan bahwa narasi-narasi semacam itu sebetulnya lebih merupakan bentuk politik bahasa.
Membakar bendera memang bukan perbuatan yang terpuji, tetapi membakar bendera HTI bukanlah tindakan kriminal. Sebab HTI sudah sah dibubarkan dan menjadi organisasi terlarang. Ini hanya soal moral atau perilaku yang kurang etis dan bukan sesuatu yang berhubungan dengan agama, apalagi dianggap sebagai penodaan agama, sama sekali tidak.
Bendera HTI bukanlah Agama
Satu hal yang perlu kita sadari bahwa bendera HTI itu bukanlah agama. Ia hanyalah simbol dari bentuk “agamaisasi” bendera. Justru di dalam bendera itu, bersemayam ideologi politik keagamaan yang diwakili oleh kalimat tauhid dalam aksara Arab “Lailahaillallah Muhammadurrasulullah”.
Sebagai kalimat yang diletakkan di bendera, ia tidak mewakili spirit religiusitas umat Islam. Justu kalimat tauhid itu menjadi kata-kata yang mengideologi di dalam diri HTI, dan jika kita memikirkan kembali tentang aspirasi politiknya, ia tak lebih dari organisasi terlarang yang begitu berbahaya dan menakutkan.
Dalam politik bahasa, bendera memang simbol pamungkas untuk menunjukkan sebuah eksistensi dan jati diri, baik dalam koridor negara, partai, organisasi atau perkumpulan lain yang menjadikan bendera itu sebagai nilai dan pandangan hidupnya. Sebagai simbol, bendera tentu tidak dapat berdiri sendiri, ia ditopang oleh seluruh keyakinan dan aspirasi.
Tetapi keyakinan dan aspirasi yang bagaimana? Pada titik ini, bendera HTI sudah tidak memiliki nilai apa-apa sebab ia terlarang. Juga, bendera itu, betapa pun ada kalimat tauhidnya, ia tak lebih hanyalah identitas politik dari kumpulan orang-orang yang menginginkan sebuah pembentukan negara Islam. Sebuah ideologi palsu yang bahkan tak berbadan hukum.
Jika bendera itu hanya identitas politik dari ormas tertentu, yang bahkan sudah dibubarkan, mengapa kita tersinggung dengan pembakaran benderanya? Mengapa kita lalu menganggap bahwa bendera itu sebagai agama yang perlu diperjuangkan.
Kita jangan pernah terjebak pada bentuk tauhid imajiner yang dibangun oleh narasi bendera HTI. Sebab tidak ada alasan bagi kita untuk mengabsahkan bendera itu beserta seluruh isinya.
Jadi bendera HTI itu tidak ada nilai sakral-sakralnya, umat Islam pun sebenarnya hanya mengakui kalimat tauhid yang ada di dada dan keyakinan terdalam mereka. Bukan kalimat tauhid yang disematkan di atas kain hitam atau putih di bendera HTI. Bendera itu hanyalah simbol ideologis dari aspirasi politik yang tak perlu dihubung-hubungkan dengan agama.
Sebagai ideologi terlarang, jelas keberadaan HTI saat ini statusnya setara dengan sebentuk kebohongan-kebohongan. Sebab HTI mewakili seluruh pendefinisian ‘ideologi palsu’ yang utopis dan tidak realistis dalam perjuangannya membangun sebuah negara Islam. Bangunan negara yang tidak pernah ada contohnya dalam kesejarahan Islam.
Tauhid Imajiner
Kalimat tauhid yang terdapat di bendera HTI itu sebetulnya hanya jenis dari tauhid imajiner. Ia hanya angan-angan kosong dari kelompok HTI dan bukan jenis dari tauhid yang sesungguhnya. kebenaran tauhid hanya terletak dalam keyakinan setiap pribadi Muslim, atau katakanlah siapa saja yang meyakini keesaan Tuhan, sebab inti dari tauhid adalah Tuhan yang Maha Esa.
Sedangkan kalimat tauhid di bendera itu adalah tauhid yang mengideologi, tauhid yang dijadikan dasar ‘agamaisasi’ politik, dan tak ada alasan apa pun bagi umat Islam Indonesia untuk membelanya atas nama agama atau atas nama iman mereka.
Tidak ada hubungan langsung antara agama dan kalimat tauhid yang diletakkan di benda-benda. Kalau pun ada, ia hanya berupa identitas, lalu apakah kita mau mengakui keabsahan identitas HTI dalam kaitannya dengan bendera? Kalau iya, berarti pengakuan ini jelas merupakan tindakan kriminal.
Kita hanya perlu memastikan mengapa bendera itu dibakar dan tujuan-tujuan lain di balik peristiwa yang tampak. Jika tujuannya memang ingin membakar bendera HTI, so what gtu lho, toh HTI secara resmi sudah tidak ada. Hanya mungkin eks HTI saja yang masih berkeliaran dan bergerilya untuk merancang sejumlah agenda politik untuk memecah belah bangsa. Ini yang perlu dihawatirkan dan menjadi permenungan bersama.
Siapa pun sah-sah saja keberatan dengan pembakaran bendera itu, sebab tidak ada yang mau simbol keyakinanya dirusak atau dinodai orang lain. Tetapi kita perlu ingat, pada wilayah mana keberatan kita itu diderivasikan, apakah murni pada kalimat tauhidnya, atau kita tidak suka dengan Bangser.
Jika kenyataannya memang bendera HTI yang dibakar, tidak ada alasan bagi kita untuk murka, kecuali bila kita memang simpatisan dari HTI itu sendiri. Terlalu berlebihan bila peristiwa pembakaran bendera ini dikaitan dengan fenomena politik atau Pilpres 2019 mendatang.