Syekh Burhanuddin Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi, pemilik kitab Ta’lim Muta’allim dari Turki, dalam pernyataanya yang menggema di dunia pesantren, mengatakan bahwa salah satu syarat seseorang santri agar mendapat ilmu yang manfat adalah harus takzim kepada gurunya. Walupun ilmunya setinggi langit sedalam lautan tapi tanpa memuliakan guru pasti ilmunya tidak akan memberi manfaat pada pemiliknya.
R Ng Ranggawarsita, beliau adalah tokoh yang hidup pada masa kejayaan Kasunanan Surakarta. Lahir sebagai seorang bangsawan pada 1802 dengan nama kecil Bagus Burham yang kemudian dikenal sebagai pujangga terakhir tanah Jawa. Masyhur sebagai seorang pujangga, ternyata R Ng Ranggawarsita adalah seorang santri yang patut untuk diteladani karena sifat takzimnya kepada kiainya.
Rihlah (perjalanan) spiritual Bagus Burham sebagai santri dimulai ketika menginjak dewasa, beliau didampingi seorang abdi dikirim oleh keluarganya untuk nyantri di Pondok Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo, waktu itu diasuh oleh Kiai Hasan Besari, seorang ulama alim ahli syariah maupun thariqah, yang juga masih keturunan Raja Brawijaya. Menurut catatan peneliti Belanda, Martin Van Bruinesen bahwa pada masa kejayaanya pesantren ini pernah memiliki santri kurang lebih 10 ribu santri.
Ketika pertama nyantri di Pesantren Gebang Tinatar ini, kebiasaan Bagus Burham sebagai bangsawan ternyata memberi efek buruk kepadanya, yaitu malas untuk memburu ilmu. Setelah berbulan-bulan, tidak ada perkembangan, dan sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya.
Di samping itu, Bagus Burham mempunyai tabiat buruk berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal sudah habis bahkan dua kudanya pun telah dijual. Sedangkan ilmunya nyaris tanpa perkembangan.
Kiai Hasan Besari sebagai pengasuh pesantren sangat sering memberi teguran kepada Bagus Burham dengan tabiat buruknya tersebut. Karena seringnya mendapat teguran, akhirnya Bagus Burham dan abdinya takut dan diam-diam menghilang dari pondok. Kiai Hasan Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham kepada keluarganya di Surakarta. Keluarga Bagus Burham memahami perihal itu, dan meminta kepada Kiai Hasan Besari untuk ikut serta mencarinya. Setelah dicari dan ketemu lalu diajaklah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar.
Setelah kembali ke pesantren, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kiai Hasan Besari memberi takzir yaitu berupa puasa 40 hari dengan buka puasa hanya dengan satu buah pisang setiap hari dan malamnya tidak boleh tidur untuk munajat kepada Sang Pencipta. Untuk mengakali agar malam tetap terjaga dan tidak tertidur, dengan akal cerdiknya ia memasang bambu di atas sungai dengan tujuan ketika ketiduran jatuh ke sungai dan bisa naik ke atas untuk bermunajat lagi.
Kiai Moh. Pornomo dalam buku Sejarah Kiiai Ageng Moh Besari (1976: 37) menuturkan, takzir yang diterima Bagus Burham berbuah hikmah. Bagus Burham diberi anugerah Allah SWT berupa maqam futuh (terbukanya mata batin) sehingga belajar dengan lancar dan cepat.
Kiai Hasan Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuannya. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya. Bahkan ia juga diberi anugrah oleh Allah SWT dapat memahami suara-suara binatang.
Sehinga kemudian hari dari buah takzir yang diterimanya dari Kiai Hasan Besari, Bagus Burham kecil menjadi R Ng Ranggawarsita sang pujangga masyhur dan terakhir tanah Jawa yang meninggalkan warisan berharga berupa puluhan serat yang mempunyai capaian nilai estetika menakjubkan bagi pembacanya.