Salah satu nama yang tidak akan pernah lekang dari ingat rakyat Indonesia. Sosok fenomenal berdarah biru yang tercatat sebagai salah satu putra terbaik bangsa. Kariernya yang sedemikian kompleks menjadikan ia dikenang. Gus Dur seorang penulis prolifik, politikus dan pemimpin ulung, juga pasti kiai karismatik. Saking kompleksnya kepribadian yang dimiliki, ia sampai pada taraf kerap disalahpahami.
Pendar-pendar pemikirannya kerap dituding sebagai penyimpangan. Gagasannya yang progresif tidak semuanya mendapat respon positif, malah cenderung negatif. Akibat kompleksnya kepribadian yang dimiliki, ia hadir sebagai sosok yang kontroversial. Bejibun catatan kontroversial yang kerap dipantik olehnya. Namun, Gus Dur tetap seorang Gus Dur yang tidak pernah mundur. Hujatan-hujatan tidak mengenakkan itu nyatanya tidak berdampak apa-apa.
Salah satu cerita yang mungkin masih terngiang-ngiang adalah pembelaan Gus Dur terhadap sosok Inul Daratista. Biduan yang masyhur dengan goyang ngebornya itu memulai kariernya dengan hujatan. Pada tahun 2003 ia mengguncang musik tanah air dengan goyang erotis. Tak disangka, dari goyangan tersebut justru melahirkan seruan boikot Inul dari stasiun televisi. Di saat banyak orang yang menghujat Inul, Gus Dur justru menjadi salah seorang yang membelanya.
Tentunya, masih banyak jejak-jejak kontroversialnya. Dari sisi tersebut kadang memperlihatkan bahwa Gus Dur bukan manusia biasa. Ia adalah eksepsi dari umumnya manusia di muka bumi. Kemampuannya di segala bidang turut mengafirmasi pandangan ini. Belakangan, pasca ia wafat muncul banyak anggapan bahwa dirinya wali. Tentu ada alasan tersendiri mengapa bertebaran pandangan semacam itu. Kendati Gus Dur tampil sebagai sosok yang luar biasa, nyatanya ia juga mempunyai dimensi manusia pada umumnya.
Nur Rokhim melakukan upaya penelusuran diri Gus Dur sebagai manusia biasa. Nyaris sama seperti manusia pada umumnya. Kenakalan-kenalakannya terpotret jelas di tiap halaman buku ini. Menariknya, lelaku Gus Dur yang manusiawi tersebut pada saat yang sama mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ia bukan manusia biasa. Salah satu contoh saat ia dengan sengaja bolos. Tentu, bolos adalah hal yang umumnya terjadi pada manusia. Gus Dur berbeda cerita, memang benar ia bolos tetapi ketika diuji ia mampu menjawab dengan cemerlang pertanyaan kiainya.
Artinya, bolosnya seorang Gus Dur setara dengan masuk kelasnya siswa lain. Ini memperjelas kepada kita bahwa di satu sisi ia menjadi manusia seutuhnya dengan membolos. Di saat yang sama menjadi manusia yang tak lazim. Mengetahui hal-hal yang diajarkan pada saat dirinya tidak masuk kelas. Dengan begitu, membicarakan sisi-sisi manusiawi seorang Gus Dur mengantarkan kita pada ketidakmanusiaannya.
Memang perlu diakui, membahas sosok yang satu ini tidak akan pernah habis. Apa yang dihadirkan buku ini merupakan secuil dari kompleksitas seorang Gus Dur. Penulisnya berupaya untuk menghadirkan satu dimensi Gus Dur yang mirip dengan manusia pada umumnya. Umpamanya menyelinap keluar saat pengajian kitab, bolos ngaji untuk menonton film di bioskop. Hingga keusilan Gus Dur terhadap teman pondoknya. Bukankah itu menunjukkan Gus Dur sebagai manusia yang biasa?
Oleh sebab itu, memang Gus Dur harus diletakkan sebagai manusia biasa. Dengan tambahan catatan, ia manusia biasa yang luar biasa. Dengan atribut Gus Dur yang seperti ini akan terbebas dari pengagungan yang berlebihan. Memang benar bahwa ia sosok fenomenal dan hingga hari ini spritinya terus diperjuangkan. Namun, agar tidak lupa bahwa ia juga mempunyai dimensi manusia pada umumnya. Karenanya, ia bisa salah nan keliru, juga tidak terbebas dari dosa sepenuhnya.
Ini merupakan langkah baik agar menghindarkan kita dari liang pengkultusan berlebihan terhadap seseorang. Tidak ada yang membantah bahwa Gus Dur sedemikian istimewa dan berharga. Sebagaimana harusnya juga tidak ada yang membantah bahwa ia manusia biasa. Buku ini hadir untuk menjawab pertanyaan perihal siapa Gus Dur sesungguhnya. Bagaimana sosok dirinya di luar tampilannya yang luar biasa itu. Sebab, sebagaiamana saya ungkapkan di awal, Gus Dur terlalu komprehensif dan mempunyai banyak dimensi.
Penulis buku ini hanya menghadirkan satu dimensi. Terkait citra Gus Dur sebagai manusia pada umumnya. Kendati akhirnya—sekali lagi saya tegaskan—ilustrasi perihal Gus Dur yang manusiawi ini menghantar kita pada sosoknya yang bukan manusia biasa. Ia terlalu istimewa.