Sebagaimana esais yang sebenar-benarnya esais, saya percaya bahwa esai adalah ladang akrobat. Di sana tidak pernah terdapat sebuah pakem dan aturan yang mengikat penulisnya. Seorang penulis esai memang dikhususkan untuk bergaya sedemikian rupa. Maksudnya, memperlihatkan gaya-gaya tulisan yang memang dinilai molek. Itu adalah salah satu hal yang menurut saya cukup menyulitkan di ranah esai. Selain tema-tema garapan yang memang harus menarik, persoalan bagaimana tema itu dibungkus juga menjadi kesukaran lain.
Tidak seperti tulisan ilmiah dan riset yang kecenderungannya pada tema-tema besar dan fantastis. Esai kadangkala hanya memerhatikan hal-hal yang kadang sepele tapi cukup menggelitik untuk dibahas. Itulah salah satu dari sekian banyak kesan yang saya ambil terhadapan buku ini. Penulisnya, yang notabene seorang akademisi, mampu membungkus gagasan-gagasannya dengan sederhana—kalau tidak disederhanakan. Perhatiannya terhadap dunia sekeliling memberi gambaran siapa dirinya. Seorang akademisi-esais yang memerhatikan hal yang jarang mendapat perhatian.
Namun, di saat yang bersamaan bukan berarti esai yang receh adalah nirkualitas. Sama sekali tidak. Sungguh, penulis memang memulainya dari hal-hal sederhana yang justru mengantarkan pada sebuah penjabaran luar biasa. Salah satu esainya dimulai dari pertanyaan-pertanyaannya di masa kanak. Ia mengakui bahwa sejarah memang berulang di lain kesempatan. Pertanyaan-pertanyaan di masa kanaknya juga mendera kepala salah seorang anaknya.
Mengapa kita ada?
Salah satu pertanyaan dari bibir anaknya terlontar. Meskipun mengakui bahwa ia tidak akan menjelaskan hal njelimet kepada anaknya. Akirnya, ia juga menjelaskan hal-hal yang cukup berbobot kepada para pembaca. Semua bermula dari pertanyaan tentang eksistensi manusia hingga berlanjut kepada penjelasan tentang ruang dan waktu. Baginya, waktu tidak lebih dari siasat seorang manusia untuk menandai gerak materi. Waktu tersebut kemudian dirumuskan selalu maju ke depan dan disandarkan pada gerak materi, seumpama dari lahir hingga dewasa (hlm.90).
Kadang-kadang esainya penuh kontradiktif yang menyenangkan. Di satu sisi ia menolak tentang rasionalisasi cinta, tetapi di saat yang bersamaan cinta dijabarkan dari tesmak sains. Lagi-lagi hal tersebut menggugah, seminim-minimnya ia menolak membahas cinta dan romantisasi yang dangkal. Dikutipnya Agnes Pawlowski dan dinyatakan bahwa rasa cinta yang meletup di awal pada akhirnya juga punya batas. Tidak cukup sampai di situ, ia tambah kutipan dari Dr. Fred Nour. Salah seorang neurologis di Mission Viejo, California dan penulis buku True Love: How to Use Science to Understand Love.
Bagi Nour, cinta hanya soal zat kimia monoamine. Itulah yang membuat seorang Juliet meratap penuh sedih sampai akhirnya bunuh diri. Barangkali itu juga yang merasuki seseorang di belahan dunia lain yang putus cinta lantas mengakhiri hidupnya. Patut diingat, ungkapan dan perasaan tak dapat berpisah dari sang kekasih hanya bisa bertahan dua sampai tiga tahun. Puncaknya, itu pelan-pelan memudar dan cinta hanyalah hal yang biasa saja—meski jua tak membuat seseorang kapok jatuh cinta lagi dan lagi.
Sebagaimana yang telah saya akui di muka, esai memang ladang akrobat. Siapapun bebas mengarahkan esainya ke arah mana saja ia kehendaki. Walau beberapa esainya terkesan sangat personal, tetapi masih cukup untuk menggelitik kepala kita bersama. Cuplikan kasih sayang salah seorang anaknya kepada beberapa ekor kucing sekaligus mempertegas cinta tidak butuh alasan logis. Ungkapan ‘sedalam mencintai, sedalam itu bakal terlukai’ tergambar jelas pada ratapan anaknya tatkala si kucing sampai ajal. Kehilangan yang dicintai merupakan salah satu alasan mencurahkan air mata sederas hujan, tulisnya.
Penulis telah melirik hal yang tak banyak diulik. Kalaupun banyak yang mengulik tema sejenis, setidaknya ia telah memaparkan dari sisi berbeda. Itulah sisi-sisi uniknya. Terlihat sangat sederhana, namun di beberapa bagian juga sanggup membuat pembaca mengerutkan dahi. Ia mengajarkan kepada pembaca eksplorasi dan improvisasi, mulai dari aspek tema hingga bentuk. Dalam hal yang paling minim, ia hendak berkata kepada pembaca “esai itu sederhana dan tidak selalu harus memusingkan kepala”.
Pandemi—salah satu tragedi terbesar abad ini—juga tidak luput menjadi perhatian. Ia mencoba merefleksikan pandemi dengan catatan yang sedemikian personal. Pandangan-pandangannya terkait fenomena yang melingkupi pandemi juga turut serta menghiasi di tiap sisi esai yang dibangun. Misalnya, ia mencoba membaca fenomena awan berupa siluet orang sujud yang ditafsirkan oleh banyak orang bahwa hal tersebut adalah teguran dari Tuhan. Lebih tepatnya diinterpretasikan sebagai himbauan Tuhan agar manusia mendirikan salat untuk menjegal pandemik.
Disanggahnya itu dan ia coba lihat dari sisi lain. Mula-mula, penulis mengimajinasikan bagaimana David Hume(seorang penganut mazhab empirisme) akan menertawakan hal tersebut jika seandainya bangkit dari kuburnya. Bahwa penafsiran semacam itu tidak lahir dari rasio, melainkan sebuah hasil abstraksi dari yang dilihat dan dirasakan oleh indra. Akhirnya, ia sampai kepada kesimpulan bahwa lelaku(usaha tafsir manusia atas fenomena awan sujud) hanya salah satu langkah untuk menenangkan diri di tengah kecamuk pandemi. Sampai di sini jelas, betapa mencengangkan tulisan-tulisan remeh yang sejujurnya tidak bisa diremehkan.
Judul Buku : Sebagai Laki-laki Saya Sangat Tersinggung
Penulis : A.Z. Hamdi
Penerbit : Gading Publishing
Tahun : Februari, 2022
ISBN : 978-623-98836-4-5