Surah Al-Humazah turun di kota Mekkah sebelum Rasulullah hijrah (Makiyyah). Surah ini terdiri atas 9 ayat, 84 kata dan 161 huruf. Para ulama berpendapat bahwa surah ini adalah wahyu ke-31 sesudah surat al-qiyamah.
Dinamai surah al-humazah karena kata tersebut terdapat pada awal ayat. Surah ini berkenaan tentang penyakit makhluk yang tidak dapat disembuhkan diantara manusia yaitu mengumpat orang lain dengan ghibah yang mereka sibuk dengan keghibahannya atau mencari aib pada saat orang-orang hadir. Dan sungguh surat ini memulai dengan adzab yang keras bagi setiap orang yang mencari aib dan mengumpat kepada orang lain dan menjatuhkannya sebagaimana ayat pertama.
Surah Al-Humazah turun ditujukan kepada Akhnas bin Syuraiq. Dia adalah salah satu orang kaya yang menjadi pemimpin Kaum Kafir Mekkah. Dia suka mengejek dan menggunjing orang, terutama dia suka melakukannya kepada Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh Atha’, As-Suddi, Walid bin Mughiroh dan sahabat lainnya dikatakan bahwa Akhnas bin Syuraiq menggunjing Nabi di belakang. Maksudnya dia suka membicarakan tanpa sepengetahuan Nabi.
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Celakalah orang yang seringkali mengumpat dan mencaci orang lain.
Surah ini dimulai dengan kata wail. Wail bisa berarti kecelakaan. Bisa juga diartikan sebagai siksaan yang amat pedih di dalam neraka. Disebutkan ada lembah di neraka Jahannam yang bernama wail. Lembah tersebut berisi nanah dan darah sebagaimana di sebutkan dalam Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Ada juga yang mengartikan wail sebagai doa untuk jatuhnya kecelakaan kepada orang.
Humazah berasal dari kata hamaza atau hamz yang pada mulanya berarti mendorong. Dalam Bahasa Arab ada huruf hamzah yang ketika diucapkan harus mendorong suara dalam tenggorokan.
Dorongan negatif juga berarti hamzah atau hamazat. Ada doa rabbi audzubika min hamazaatiz syataathin yang berarti ya Allah aku berlindung dari dorongan-dorongan negatif setan. (Surah Al-Mukminun ayat 97).
Hamz bisa berarti dorongan secara fisik. Bisa juga berarti dorongan dengan lidah atau kata-kata. Kata-kata yang buruk dinamai hamz. Biasanya kata-kata buruk terkait orang lain dikatakan ketika orang lain tidak ada. Sehingga humazah atau hamz disebut dengan dengan ghibah. Menyebut keburukan orang lain sedangkan yang bersangkutan tidak ada.
Nabi pernah ditanya, “Bagaimana kalau memang yang disebutkan memang buruk. Karena kenyataannya dia berkata buruk? Apa tidak boleh disebutkan keburukannya?”
“Itulah yang disebut dengan ghibah. Kalau tidak sesuai dengan kenyataan itu disebut dengan buhtan. Kebohongan besar.” Jawab Nabi.
Jadi kata humazah artinya orang-orang yang sering mengumpat atau sering menceritakan keburukan orang. Sedangkan kata lumazah berarti mengejek dengan tujuan menghina orang lain. Baik dengan cara mengerlingkan mata, dengan gerak-gerik atau dengan ucapan yang bermaksud mengejek orang. Baik yang diejek itu ada atau tidak ada. Ada juga yang berpendapat bahwa al-hamz adalah penghinaan yang dilakukan melalui gerakan mata, wajah dan tangan, sedangkan al-lamz adalah penghinaan yang dilakukan melalui ucapan lisan.
Setelah kata wail terdapat kata li kulli yang artinya setiap atau semua. Sehingga seluruh pengumpat dan pencela akan celaka tanpa terkecuali. Namun demikian, bentuk shighat kata humazah dan lumazah secara bahasa, mengandung arti perbuatan yang amat sering dilakukan oleh seseorang, sehingga telah menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, yang mendapatkan ancaman wail adalah orang-orang yang memiliki kebiasaan mengumpat dan menceritakan keburukan orang lain. Jika dilakukan sekali-kali, masih ada kesempatan bertobat dan mendapatkan ampunan dari Allah Swt.
Ayat ini memberikan isyarat bahwa kebiasaan buruk manusia yang suka menjelekkan orang lain sudah ada sejak zaman dahulu. Bedanya hari ini, ada lebih banyak cara lagi untuk menjelekkan orang lain. Terlebih di media sosial yang susah sekali dikendalikan. Orang-orang seperti ini, menurut Buya Hamka, memiliki kebiasaan melecehkan dan menjatuhkan kehormatan manusia, meremehkan pribadi dan pekerjaan mereka, serta menuduhkan tuduhan-tuduhan buruk kepada mereka.
Semua itu semata-mata demi kesenangan menjatuhkan martabat mereka di mata masyarakat umum, seraya menunjukkan kehebatan dirinya sendiri. Tiap-tiap pekerjaan orang, betapa pun baiknya, namun bagi pengumpat dan pencela, ada saja cacatnya, ada saja celarıya. Sehingga dia lupa memperhatikan cacat dan cela yang ada pada dirinya sendiri.
Akan tetapi, ada enam tempat yang ditoleransi untuk membicarakan orang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Adzkar.
Pertama, dalam sebuah persidangan. Dalam hal ini korban atau saksi boleh menceritakan perbuatan buruk pelaku kejahatan dengan tujuan agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Kedua, perbuatan buruk seseorang boleh disampaikan kepada aparatur negara yang berhak menertibkan orang tersebut. Misalnya ada orang mencuri, maka boleh bahkan perlu disampaikan keburukannya kepada polisi.
Ketiga, meminta fatwa. Dalam sebuah riwayat disebutkan istri Abu Sufyan sowan kepada Kanjeng Nabi untuk meminta fatwa. Dia bertanya. “Wahai nabi suami saya itu kikir. Bolehkah saya mencuri uangnya?” tanya istri Abu Sufyan.
Dalam hal ini menceritakan kekikiran Abu Sufyan dalam rangka meminta fatwa diperbolehkan.
Keempat, mengingatkan orang lain agar terhindar dari kejahatan orang lain. Misalnya memberi tahu anak agar tidak bergaul dengan teman yang nakal atau memberi tahu orang lain agar tidak menggunakan jasa layanan tertentu karena tidak amanah.
Kelima, perbuatan buruk yang dilakukan terang-terangan di hadapan banyak orang.
Keenam, menandai seseorang dengan kekurangan fisik. Misalnya ada dua orang bernama Zaid. Maka untuk memperjelas siapa Zaid yang dimaksud, perlu disebutkan ciri Zaid seperti Zaid yang buta atau Zaid yang berkulit hitam.
Sumber:
Tafsir Marah Labid Karya Syekh Nawawi Banten
Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab
Tafsir Al-Manar karya Muhamad Abduh
Al-Adzkar karya Imam Nawawi
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka
Tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaili