Dikisahkan dalam kitab Hayatus Shahabah karya Al-Kandahlawi, pada suatu hari raya Sahabat Umar bin al-Khaththab RA berjalan telanjang kaki menuju tempat pelaksanaan Salat Id. Waktu itu, Umar sudah menjadi Amirul Mukminin. Menurut Al-Makhzumi, Umar bin Khaththab berjalan sambil berteriak lantang untuk memanggil orang-orang agar melaksanakan salat berjamaah.
Dalam riwayat lain, peristiwa ini terjadi ketika Umar akan melakukan pidato pertama setelah dibaiat menjadi pemimpin tertinggi umat Islam sebagai pengganti Abu Bakar as-Shiddiq RA. Sehingga banyak sahabat dan tabiin berbondong-bondong mendatangi Umar untuk mendengarkan pidato pertama khalifah barunya. Tentu saja banyak orang yang penasaran dengan apa yang disampaikan Umar.
Ketika orang-orang telah banyak berkumpul, Sayyidina Umar naik ke mimbar. la memulai pidato dengan memuji Allah lalu berselawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
Umar lalu berkata, “Jamaah sekalian. Ketahuilah! Dulu aku hanyalah pemuda yang menggembala kambing-kambing milik bibi-bibiku dari Bani Makhzum. Dari situlah aku diberi upah kurma dan anggur kering untuk makanku setiap hari. Maka, hari ini pun aku tak lebih dari seorang penggembala. Sampai kapan pun aku hanyalah seorang penggembala kambing! Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”
Umar lantas turun dari mimbar. Hanya itu saja yang disampaikan dalam pidato pertamanya. Singkat, padat dan tidak jelas sebab membingungkan banyak orang. Banyak sahabat yang bingung dengan pidato singkat Umar tersebut.
Dari sekian banyak sahabat yang bingung tersebut, Abdurrahman bin Auf memberanikan diri untuk mendatangi Umar dan bertanya, “Wahai, Amirul Mukminin. Aku mau mengatakan, sungguh pidatomu tadi tidak membuatku mencelamu sama sekali. Tapi aku ingin bertanya, mengapa hanya itu yang panjenengan sampaikan?”
Maka Umar menjawab, “Kau tahu mengapa aku berkata begitu?
“Mboten. Saya tak mengerti sejatinya pidatomu,” kata Abdurrahman sambil berjalan menyertai Umar.
“Jadi seperti ini, Kang. Sebagai manusia biasa, aku juga memiliki nafsu. Ketika aku menyendiri, nafsuku berkata kepadaku: Engkau ini seorang Amirul Mukminin. Maka siapa lagi yang lebih utama darimu? Begitulah kira-kira nafsuku berharap agar aku menjadi orang yang sombong. Maka, agar aku tak sombong, aku harus menyadari jati diriku yang tidak lain adalah seorang penggembala kambing!”
Dalam kisah ini, Umar bin Khathtab menegaskan betapa bahayanya bujuk rayu hawa nafsu. Jika sahabat sekelas Umar saja tak terlepas dari bisikan jahat nafsunya, apalagi manusia biasa seperti kita semua. Bujuk rayu hawa nafsu untuk merasa lebih dari orang lain pasti ada. Terlebih saat memiliki jabatan di tengah masyarakat.
Maka dari itu, umat Islam perlu sekali memahami hakikat nafsu dalam diri. Tanpa menyadarinya, orang akan mudah terjerumus kepada kehinaan. Kesombongan, riya’ dan merendahkan orang lain akan mudah merasuki diri sehingga jabatan bukan menjadi sarana untuk melayani masyarakat. Sebaliknya menjadi orang yang menzalimi masyarakat. Naudzubillah.