Di dalam Ihya Ulumiddin dan Kimiya al-Sa’adah, Imam Ghazali menyatakan bahwa mengumpat (ghibah) merupakan kejahatan lidah yang terbesar. Untuk memperkuat pendapatnya, beliau mengutip hadis yang mengatakan bahwa perbuatan mengumpat itu lebih berat dosanya dari tiga puluh kali perbuatan zina. Mengapa? Karena dosa mengumpat hanya diampuni jika mau meminta maaf kepada orang yang diumpat.
Mengumpat atau menggunjing atau ngerasani menurut Al-Ghazali ialah seseorang menceritakan kekurangan orang lain, yang kemungkinan orang yang dibicarakan tersebut tidak suka jika mengetahui atau mendengarkan bahwa kekurangannya dibeberkan kepada orang lain. Meskipun apa yang dikatakan tersebut sungguh benar adanya. Adapun jika mengatakan kekurangan orang lain yang tidak sesuai dengan kenyataan orang yang dibicarakan disebut dengan fitnah (buhtan) bukan mengumpat atau ghibah.
Kekurangan orang boleh jadi terletak pada tubuh, keturunan, akhlak, pekerjaan, bicara, urusan agama, pakaian, rumah, perhiasan dan seterusnya. Kekurangsempurnaan tubuh seperti pendeknya, tinggi atau sifat apa saja yang tidak ingin dibicarakan. Cacat keturunan seperti bapak orang yang berbuat dosa atau jahat. Kejelekan akhlak atau sifat tercela seperti kebakhilan dan sifat pengecut.
Cacat dalam urusan agama seperti mencuri, sujud salat yang salah dan lain-lain. Keburukan mengenai pakaian seperti kotor, kurang rapi dan sebagainya. Cacat dalam urusan dunia, contohnya kekasaran dalam bersikap atau makan terlalu banyak.
Umpatan tidak terbatas pada lisan saja, menyatakan kekurangan orang bisa dengan dengan berbagai cara, seperti tulisan, meniru-nirukan, isyarat dengan tangan, menggerakkan alis mata dan sebagainya. Menyebutkan kekurangan orang dengan menuliskannya dalam buku juga termasuk umpatan. Termasuk menuliskannya di status Facebook, di status Whatsapp, di story Instagram, dan sosial media lainnya. Umpatan seperti ini tidak diperbolehkan kepada siapa saja. Meskipun orangnya sudah meningggal.
Percaya kepada apa yang dikatakan si pengumpat terhitung mengumpat pula. Berdiam diri terhadap perbuatan mengumpat berarti turut ambil bagian, kecuali kalau tidak mampu mencegahnya atau meninggalkan tempat orang yang sedang mengumpat tersebut. Jika terpaksa berdiam diri tidak bisa meninggalkan, haruslah umpatan tersebut dibenci dalam batin. Tidak boleh rida pada umpatan orang.
Imam Ghazali juga membahas tentang umpatan dalam pikiran. Menurut beliau, mengumpat dengan pikiran ialah mempunyai sangkaan buruk (su’udzan) tentang seseorang. Buruk sangka kepada orang lain juga merupakan satu dosa. Menuduh orang lain buruk sebagaimana persangkaannya, bisa dibenarkan jika didasarkan atau diketahui dengan bukti yang jelas.
Satu akibat dari persangkaan buruk ialah orang akhirnya berhasrat memata-matai (tajassus) seseorang untuk mencocokkan dengan informasi yang telah diterima. Perbuatan ini menurut Imam Al-Ghazali juga merupakan dosa karena ada upaya untuk mengetahui apa yang dirahasiakan Allah tentang makhluk-Nya. Apalagi yang ingin diketahui adalah aibnya.
Mengatakan keburukan orang tertentu memang tidak salah, jika ini dilakukan untuk maksud yang baik. Misalnya untuk mencari keadilan atau bantuan seorang yang berwewenang, untuk menghilangkan kejahatan dengan memberitahukan orang-orang yang dapat menghapuskannya, untuk minta pendapat hukum dari seorang hakim mengenai hal itu, dan untuk membuat orang lain berhati-hati terhadap kejahatan itu. Menyebut seseorang dengan nama panggilan yang dikenal punya kekurangan orang itu bukanlah mengumpat.
Juga tidak termasuk mengumpat kalau mengatakan keburukan seseorang yang telah berbuat buruk, hanya sebatas yang telah diumumkannya sendiri, karena hal ini tidak menyakitinya, tambahan lagi orang semacam itu tidak layak mendapat penghargaan dari orang lain.
Mengumpat dapat disembuhkan dengan dua cara, satu di antaranya terdiri dari ilmu dan amal. Dengan ilmu berarti mengetahui dampak buruk mengumpat bagi kehidupan di akhirat. Dengan amal bisa dilakukan dengan menyelidiki kekurangan diri sendiri.
Kalau sudah menemukan kekurangan diri maka orang akan merasa malu dan tidak pantas menyalahkan orang lain. Dengan mempersalahkan diri sendiri bisa menyadarkan seseorang bahwa tidak ada seorang pun yang bisa bebas dari kekurangan.
Akhirnya, kadang kala seseorang berkata buruk tentang orang lain untuk membenarkan kejahatan yang ada pada dirinya sendiri. Tanpa disadari, membiasakan diri dengan kebiasaan jahat adalah hal yang menggelikan.
Melaknat
Dunia maya kini seolah menjadi media yang bisa mempermudah orang untuk melaknat orang lain yang tidak sepemikiran atau beda dukungan. Ironisnya, pelaknat dilakukan bukan hanya oleh orang yang tak berpendidikan. Orang yang berpendidikan tinggi pun melaknat orang lain dengan tulisan atau kata-katanya. Seolah perbuatannya tersebut benar dan diperbolehkan agama. Padahal Islam sangat melarangnya. Bagaimana pandangan Imam Ghazali dalam hal pelaknatan?
Menurut Imam Ghazali, melaknat apa pun yang diciptakan Allah merupakan perbuatan lidah yang buruk. Melaknat sesuatu berarti menganggap hal yang dilaknat seolah jauh dari Allah. Padahal Allah selalu melimpahkan rahmat kepada setiap makhluk-Nya. Sebab, melaknat makhluk, merupakan hak Allah. Manusia tidak bisa ikut campur tangan di dalamnya.
Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumiddin juz tiga menegaskan agar orang berhati-hati dalam urusan laknat-melaknat. Beliau menyarankan agar orang tidak melaknat meskipun apa yang dikatakannya memang benar, karena tidak ada manfaat yang ditimbulkannya. Lidah seharusnya dibuat sibuk memuji Allah. Lidah juga sebaiknya dicegah dari berdoa kepada Allah untuk mencelakakan seseorang, walaupun ia seorang penindas.
Pertanyaan: ada orang suka melakukan kejahatan sehingga orang banyak mengumpat dan menggunjing. Kemudian datang hidayah orang itu jadi baik. Tapi banyak orang yang tidak tahu perubahan sikap orang itu? Apakah boleh menggunjing?
Mengumpat dan menggunjing itu berbeda, yang dimaksud alGhazali di situ menggunjing. Liht KBBI
Reques selanjutnya memanggil dengan sebutan/ laqob pak rizal .yang di panggil pun juga suka jika di panggil dengan laqob.terima kasih pak barokalloh