Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Dinasti Fatimiyah dan Kemajuan Pengetahuan

dinasti fatimiyah

Fatimiyah adalah dinasti yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi (297-322). Orang-orang Fatimy juga disebut juga kaum Alawy, yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Talib.

Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fathimah binti Rasulillah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Isma’il Ibn Ja’far al¬ Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Sejarah peradaban Islam telah menuliskan bahwa dinasti Fatimiyah sebagai salah satu dinasti Islam pada abad X telah membuat prestasi yang gemilang dalam sejarah peradaban di dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far al-Shidiq ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Imam Ja’far al-Shadiq.

Khalifah al-Hakim mendirikan sebuah akademi yang sejajar dengan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain. Pada tahun 1005 M, akademi ini diberikan nama Dar al-Hikmah. Khalifah juga mengeluarkan banyak biaya untuk memelihara akademi ini dan pengembangannya, termasuk menyediakan buku-buku katalog. Dar al-Hikmah menyatu dengan rumahnya sendiri, merangkap perpustakaan dan aula. Selain ilmu-ilmu keislaman, juga diajarkan ilmu astronomi, astrologi, kedokteran, kedokteran mata, kimia, filsafat, dan sebagainya. Mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam.

Baca juga:  Sentimentalitas Ramadan dan Penundaan Konferensi Islam Asia Afrika

Dia sendiri adalah seorang ahli astronomi terkemuka dan di istananya berkumpul ilmuan-ilmuan terkenal pada masa itu seperti Ali ibn Yunus ahli astronomi, yang memperbaharui kalender, Abu al-Hasan ibn al-Hasim ahli kedokteran, matematika, ilmu nuzum, filsafat, dan kedokteran yang diperkirakan menulis 100 buah buku. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah kitab al-Manazir, buku kedokteran tentang mata. Amr ibn Alimenulis buku tentang kedokteran mata yang berjudul al-Muntakhafi ‘lilaj an-‘Ain.

Puncak Kemajuan

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini di sebabkan dengan berkembangnya penterjemahan dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing, seperti bahasa Yunani, Persia dan India kedalam bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, Sultan dan Umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra.

Di antara tempat berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa dinasti Fatimiyah adalah dengan berdirinya masjid dan istana yang kemudian dijadikan sebagai tempat basis ilmu pengetahuan, diceritakan salah seorang wazir Dinasti ini Ya’qub ibn Yusuf Ibn Killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni .

Pada masa dinasti ini masjid menjadi tempat berkumpulya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim, mereka berkumpul membuat buku tentang mazhab Syi’ah yang akan diajarkan kepada masyarakat, di antara tokoh yang membuat buku itu ialah Ya’kub ibn Killis, dan fungsi dari perkumpulan tersebut untuk memutuskan perkara yang timbul dalam peroses pembelajaran mazhab Syi’ah. Nampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi tempat penyebaran ideologi mereka.

Kemudian pada masa Dinasti ini perpustakaan juga mempunyai peran yang tidak kecil dibandingkan dengan masjid untuk itu para khalifah dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Dan perpustakaan ini di kenal dengan nama Dar al-Ulum digabungkan dengan Dar al-Hikmah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan sehingga melahirkan sejumlah ulama, pada masa ini muncul sejumlah ulama diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli Fisika dan kedokteran), Al-Kindi (sejarah dan filsafat), Al-Nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yusuf (w. 1009) seorang astronomi paling hebat yang dilahirkan di Mesir; Abu Ali al-Hasan (bahasa latin, alhazen) dan Ibn al-Haitsam yang meruapakn peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ibn al-Haitsam menulis tidak kurang seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya monumentalnya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu optik; Ammar Ibn Ali al-Maushili dengan karya al-Muntakhab fi ‘ilaj al-‘Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata).

Baca juga:  Desa Mawa Carita Buntu (1): Membaca Desa Buntu dari Leluhur

Pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-’Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran syi’ah ekstrem. Untuk membangun institusi ini al-Hakim menggelontorlan dana 257 dinar yang digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan. Kurikulumnya meliputi kajian tentag ilmu keislaman, astronomi dan kedokteran. Meskipun pada tahun 1119 ditutup oleh al-Malik al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bid’ah.

Berdirinya Universitas Al-Azhar

Kehadiran Universitas Al-Azhar Kairo Mesir merupakan salah satu bukti nyata khazanah islam Syiah (Fatimiyah). Pasalnya, Al-Azhar berasal dari sebuah masjid bernama Al-Azhar yang dibangun Panglima Besar Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Shaqaly, 359 H sebagai tempat ibadah semata. Baru setelah enam tahun berfungsi sebagai tempat ibadah didirikanlah bangun tempat kegiatan belajar dan majelis ilmu pengetahuan bermazhab Syi’ah Ismailiyah.

Siapa pun tak menyangka bila hasil karya mantan budak yang kemudian menjadi Panglima Besar Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Shaqaly, abadi hingga kini. Salah satunya adalah sebuah perguruan tinggi Islam terbesar di dunia yang ada di Kairo, yakni Al-Azhar.

Jauhar membangun perguruan ini berawal dari sebuah masjid yang bernama Al-Azhar yang dibangun oleh Jauhar As-Shaqaly (Panglima Besar Dinasti Fatimiyah) pada tanggal 24 Jumadil Ula tahun 359 H April, 970 M. Kegiatan pembangunan ini baru selesai enam tahun kemudian atau tepatnya pada 365 H/976 M.

Baca juga:  Sejarah Nahdlatul Ulama: Majalah Swara Nahdhatoel Oelama dan Laporan Keuangan Publik

Pada tahun itu pula dimulai kegiatan belajar mengajar dengan majelis ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. Sehingga 12 tahun kemudian 378 H/988 M. Pengaruh pemikiran Syi’ah baru berakhir pada 1178 M atau bersamaan dengan meredupnya pengaruh pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah. Keberadaan pemerintahan ini kemudian diganti dengan Kekhalifahan Ayyubiyah yang berorientasi kepada ajaran ahlussunah wa-jamaah (Sunni).

Bahkan pada tahun 922 H/1517 M ketika Mesir berada di dalam kekuasaan Turki Utsmani, Al-Azhar pun senantiasa menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan. Begitu pula keadaannya hingga memasuki era Turki Utsmani kegemilangan perguruan tinggi ini tetap terjaga.

Bahkan pada saat itu Al-Azhar memperbaharui sistem pendidikannya dengan membentuk sistem masyekhakh yang pertama, pada tahun 1101 H/1690 M. Sistem ini pun terus berlangsung sampai kini. Jadi inilah salah satu peninggalan panglima tentara bayaran yang merupakan bekas budak Romawi keturunan Yunani Sisilia, Jauhar As-Shaqaly.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
3
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
5
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top