Cemburu merupakan sikap yang manusiawi. Siapa pun berpeluang dihinggapi rasa cemburu. Termasuk istri-istri Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Ada banyak hadis yang meriwayatkan tentang kecemburuan istri-istri nabi.
Di dalam kitab Shahih Muslim dituturkan, suatu malam Kanjeng Nabi keluar dari rumah dan mendatangi istrinya. Padahal malam itu giliran Aisyah. Setelah itu, Kanjeng Nabi mendatangi Aisyah. Namun Aisyah menampakkan muka cemberut tanda tak suka.
“Apakah engkau cemburu?” tanya Kanjeng Nabi.
“Injih. Mana mungkin aku tak cemburu kepadamu?” jawab Aisyah.
“Hati-hati, setan telah datang kepadamu!” ucap Kanjeng Nabi tegas.
“Apakah setan bersamaku, Kanjeng Nabi?” tanya Aisyah.
“Iya. Tidak seorang pun yang tidak ditemani setan.”
“Apakah engkau juga ditemani setan?” tanya Aisyah.
“Ya. Akan tetapi Allah menolongku sehingga ia kalah dan aku selamat.”
Kecemburuan Aisyah sebagaimana kisah yang tersebut di atas dianggap sudah berlebihan. Oleh sebab itu. Padahal sebetulnya cemburu dibolehkan asal harus didasari pada alasan yang rasional.
Tidak boleh cemburu tanpa alasan yang kuat. Jika hanya khawatir, boleh. Namun bukan berarti mencurigai hingga menuduh tanpa ada bukti. Sehingga menjerumuskan pada fitnah. Kecemburuan tanpa ada alasan termasuk suuzan.
Dalam hadis lain dikisahkan bahwa salah seorang istri Kanjeng Nabi Saw pernah cemburu. Dia adalah Hafshah putri Umar bin Khathab. Suatu ketika ia minta izin kepada Kanjeng Nabi untuk pergi ke rumah ayahnya. Untuk sementara waktu, Rasulullah Saw yang menjaga rumah.
Hafshah kemudian pergi dan Kanjeng Nabi di rumah sendirian. Tetapi tiba-tiba di depan rumah, Maria, istri nabi yang lain sedang melintas. Melihat Nabi Saw berada di dalam rumah, maka singgahlah Maria.
Tak lama kemudian Hafshah kembali. Ia sangat terperanjat ketika melihat Maria sedang di rumahnya bersama Rasulullah. Sebagai seorang perempuan, tentu hati Hafshah merasa cemburu melihat suaminya bersama perempuan lain. Walaupun perempuan itu adalah istri suaminya yang lain.
Maka Maria menyadari dan keluar rumah meninggalkan mereka.
“Kanjeng Nabi! Mengapa Maria berada di rumahku? Enak betul engkau berduaan selagi aku pergi? Ini kan giliranku?” ujar Hafshah.
Dalam hal ini Kanjeng Nabi memaklumi kecemburuan Hafshah kepada Maria. Sebab saat itu memang giliran Nabi berada di rumah Hafshah.
Meskipun antara Hafshah dan Maria sama-sama istri nabi, tetapi yang berhak bersama nabi adalah Hafshah. Karenanya kecemburuan Hafshah dianggap wajar dan masuk akal. Kecemburuan Hafshah bukan karena ia benci kepada nabi tetapi lebih karena mencintai Nabi Saw sebagai suaminya.
Untuk mengantisipasi agar tidak cemburu buta, maka seorang istri hendaknya selalu menahan diri. Diusahakan agar tidak lepas kendali yang menyebabkan salah paham dan muncul pertengkaran. Suami bisa marah jika ia tidak berbuat buruk tetapi istrinya menuduh yang bukan-bukan. Maka, hal ini perlu dihindari.