Sedang Membaca
Inilah Bekal Imam Ghazali saat Uzlah dan Menulis Kitab
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Inilah Bekal Imam Ghazali saat Uzlah dan Menulis Kitab

Puncak karir akademik Imam Al-Ghazali adalah menjadi rektor Madrasah Nizhamiyah, Irak. Dengan pencapaian itu, tentu saja istrinya bangga. Apalagi yang mengangkatnya menjadi rektor adalah seorang raja. Kalau sekarang, dilantik langsung oleh presiden. Betapa bangganya.

Uniknya, setelah beberapa waktu menjadi rektor, Imam Ghazali malah berkata, “Wah. Saya ini bagaimana? Aku menjadi orang alim tujuannya untuk mengajarkan ilmuku sehingga dapat pahala dari gusti Allah. Lha kok saya malah menjadi rektor dengan fasilitas yang mewah dan diberi gaji ini dan itu. Bukankah ini nanti malah membuat jatah pahalaku di akhirat akan berkurang?” kira-kira begitulah apa yang diucapkan Imam Ghazali.

Karena kurang sreg dengan jabatan rektor, Imam Ghazali pamit lalu minggat ke Palestina. Tentunya setelah mendapat izin dari istri dan membekali istri dengan nafkah yang cukup. Bahkan lebih dari cukup.

Waktu Imam Ghazali dihabiskan untuk i’tikaf di masjid Al-Aqsha. Saat itu, nama Imam Ghazali sudah terkenal di banyak negara Islam sebab dia adalah murid Imam Haramain yang paling cemerlang. Kemasyhuran Imam Ghazali pun sampai ke Palestina.

Suatu ketikaada ustadz yang mengajar di masjid tempat uzlah yang sering mengutarakan pikiran-pikiran Imam Ghazali. Beberapa kali dia bilang, “Imam Ghazali berpendapat demikian… Imam Ghazali mengatakan demikian…”

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (1): Kita adalah Bola Lampu yang Menyala, dan Al-Ghazali Adalah Pijarnya

Imam Ghazali mendengar ustadz tersebut. Beliau pun merasa terganggu dengan kejadian yang ditemuinya tersebut.

Karena merasa khawatir keberadaannya di Masjid Al-Aqsha akan ketahuan sehingga bisa menganggu waktunya menyendiri, Imam Ghazali pun pergi ke tempat yang lebih sepi. Barangkali di sebuah hutan dengan membawa ember air, alat tulis, jarum dan benang.

“Mengapa waktu di hutan membawa ember, Syekh?” tanya salah seorang muridnya sepulang Imam Ghazali dari proses uzlah.

“Ya jelas to, Kang. Kan saya butuh air untuk minum, wudhu dan mandi. Saya perlu ember untuk mencari air.” jawab Imam Ghazali.

“Lha terus mengapa panjenengan membawa jarum dan benang, Syekh?” tanya muridnya lagi.

“Soalnya waktu di hutan saya hanya membawa satu pasang pakaian. Kalau nanti pakaianku sobek, saya bisa menjahitnya sendiri.” jawab Imam Ghazali.

Di dalam hutan itu lah Imam Ghazali konsentrasi menulis banyak buku. Salah satunya Minhajul Abidin.

Jadi begitulah kiranya. Untuk menulis memang butuh konsentrasi. Apalagi untuk menghasilkan karya-karya besar. Kadang sampai ekstrim seperti Imam Ghazali. Yakni dengan menyendiri di hutan meninggalkan istrinya. Tapi bukan berarti istrinya tidak dikasih nafkah. Sebelum pergi mencari tempat sendiri, istrinya sudah dikasih nafkah yang cukup. Bahkan lebih dari cukup sebab Imam Ghazali termasuk orang kaya. Dan istrinya merupakan sosok yang pengertian membiarkan suami untuk mengabdikan waktunya untuk ilmu. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top