Sedang Membaca
Ngaji kepada Gus Baha: Logika Nubuwwah
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Ngaji kepada Gus Baha: Logika Nubuwwah

Dalam beberapa pengajian, Gus Baha seringkali menyampaikan tentang logika “Nubuwwah”. Secara sederhana logika Nubuwwah adalah cara berpikir khas para nabi agar tidak salah dalam menyembah Allah dan tidak salah dalam menjalani kehidupan. Mengapa logika Nubuwwah ini penting?

Karena para nabi mendapatkan bimbingan Allah, maka logika Nubuwwah merupakan cara menggunakan akal sehat yang kebenarannya mutlak. Tidak mungkin salah. Meskipun terkadang bagi orang awam logika nubuwwah ini tampak kurang tepat.

Gus Baha memang tak pernah menjelaskan secara langsung pengertian logika Nubuwwah. Beliau hanya seringkali memberikan contoh ketika para nabi berargumen dalam menghadapi umatnya. Alhasil, para sahabat dan orang kafir selalu kalah dalam berdebat.

Logika Nubuwwah para utusan Allah bisa dilihat dari Alquran dan hadis. Selain itu logika Nubuwwah juga bisa dipelajari dari para ulama yang mengikuti cara berpikir Rasulullah. Orang awam bisa meniru logika nubuwwah asalkan hati dan akalnya bersih dari keinginan duniawi. Bukan logika orang yang cinta dunia.

Baca juga:

Di zaman ini, Gus Baha merupakan salah satu orang yang menerapkan dan mengajarkan logika Nubuwwah kepada para santrinya.

Meskipun tidak pernah memberikan pengertian logika Nubuwwah, Gus Baha sering memberikan contoh melalui kisah-kisah para nabi. Misalnya argumentasi Kanjeng Nabi Musa ketika berdebat dengan Firaun mengenai Tuhan. Ketika Firaun bertanya, “Siapa Tuhanmu, Hei Musa?”

Baca juga:  Sjahrir : Politik adalah Pengabdian Kepada Kemanusiaan

“Tuhanku adalah yang tuhanmu dan Tuhannya nenek moyangmu,” Jawab Nabi Musa.

Jawaban ini tampak sederhana namun jawaban ini secara telak mematahkan pendapat Firaun yang merasa dirinya menjadi tuhan. Sebab, jika Firaun mengaku tuhan, maka seharusnya dulu ada tuhan lain sebab tak mungkin nenek moyang Firaun (sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Musa) menyembah Firaun karena dia belum lahir di dunia. Dengan demikian argumen Firaun yang mengaku tuhan pun salah besar. Mendengar jawaban Musa  yang sederhana namun rasional itu, banyak pengikut Firaun yang beriman.

Gus Baha lebih sering menceritakan logika Nubuwwah Kanjeng Nabi Muhammad. Misalnya logika Kanjeng Nabi dalam menyikapi kehidupan dan kematian. Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha mengisahkan bahwa Kanjeng Nabi pernah ditanya oleh sahabat,

“Ya Rasulallah mengapa panjenengan tidak menyiapkan makanan untuk besok?”

“Bagaimana saya membayangkan makanan untuk besok. Saya saja tak tahu apakah besok masih hidup apa tidak,” jawab Nabi.

Cara berpikir nabi seperti ini sulit dipahami oleh orang yang memiliki pikiran bahwa hidupnya masih lama sehingga merasa perlu punya banyak uang, perlu punya kendaraan, perlu punya rumah mewah dan seterusnya.

Secara tidak sadar hidup orang yang merasa hidupnya panjang menjadi lebih rumit tidak sesederhana nabi dalam menjalani kehidupan. Maka orang yang merasa hidupnya panjang, sebetulnya tidak sesuai dengan sunnah nabi.

Baca juga:  Sadio Mane dan Auman Nianthio

Dengan pola hidup seperti ini pernah suatu ketika Kanjeng Nabi bertanya, “Ya Aisyah, apakah ada makanan pagi ini?”

Mboten wonten, Ya Nabi. Tidak ada,” jawab Aisyah halus.

“Ya sudah kalau begitu hari ini saya puasa,” Kanjeng Nabi merespon dengan santai.

Dua kisah ini memberikan gambaran selain hati yang harus beriman. Logika manusia juga harus beriman. Logika orang beriman adalah logika orang yang selalu mengharap rida Allah dalam setiap detik yang dilewatinya. Bukan rida orang lain.

Dalam kesempatan lain Gus Baha juga menceritakan tentang logika Nubuwwah dalam menghadapi kematian sebagaimana yang dipraktikkan oleh Bilal. Bilal ketika mau meninggal, anak-anaknya menangis. Beliau pun bertanya:

“Mengapa kalian menangis?”

“Kami sedih karena bapak mau meninggal,” jawab anak-anak Bilal.

“Loh saya malah bahagia mau meninggal karena mau bertemu Rasulullah. Jadi mengapa kamu bersedih karena kebahagiaanku?”

***

Lalu bagaimana agar bisa mengikuti logika Nubuwwah?

“Kita bisa memaksa diri untuk mengikuti logika Nubuwwah. Caranya dengan berpikir yang sederhana. Hidup kita hanya ditujukan untuk mencari rida Allah. Bukan rida orang lain. bukan rida atasan, bukan rida anak dan lainnya. Selama dia mencari rida Allah maka jalan hidupnya akan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Dengan logika Nubuwwah nabi tidak pernah kecewa kepada orang lain.”

Bahkan kata Gus Baha, seseorang tak perlu berharap yang berlebihan kepada istri. “Ndak perlu punya standar macam-macam. Istri itu yang penting masih Islam, masih salat menghadap kiblat dan masih mau puasa. Tak perlu berharap punya istri yang selalu masak makanan lezat, selalu membuatkan kopi, selalu berdandan cantik. Tidak perlu. Jadi standarnya yang sederhana,” kata Gus Baha.

Baca juga:  Ngaji Kepada Gus Baha: Ayat Alquran yang Bikin Janggal Orang Jawa

Dalam semua hal logika Nubuwwah harus dipakai agar dalam hidup yang penuh masalah, orang sadar bahwa setiap masalah adalah pemberian Allah. Jika sudah memiliki pola pikir demikian maka semua hal yang menimpa seseorang baik menyenangkan ataupun menyedihkan, tidak menjadi masalah penting asalkan semuanya bisa membuat orang menjadi lebih dekat dengan Allah dan mendapat rida Allah.

Pola berpikir seperti ini sebenarnya termasuk sunah. Kata Gus Baha, justru pola pikir dan budi pekerti inilah sunah Rasulullah yang banyak disebutkan di dalam riwayat hadis. Meskipun sunah ini lebih sulit daripada sunah yang berkaitan dengan penampilan.

“Surbanan memang sunah nabi. Tapi sunah yang seharga surban. Jadi mudah diwujudkan. Dibandingkan dengan sunah nabi berupa kecerdasan beliau. Saya tak pakai surban tapi saya hafal Alquran. Saya mengakui memakai surban itu sunah tapi sunah yang tak dijawab Siti Aisyah dalam sebuah hadis ketika ada yang bertanya seperti apa Rasulullah itu. Sebaliknya ketika Aisyah ditanyai mengenai Kanjeng Nabi, beliau selalu menjawab dengan akhlaknya dan kebaikannya kepada orang lain.” Kata Gus Baha.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
4
Terhibur
2
Terinspirasi
14
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top