Saya mulai saja dengan kata-kata asy-Syibli (945 M) yang sekilas tidak ortodoks. “Api neraka tidak akan menyentuhku, dan dengan mudah aku bisa memadamkannya,” demikian Abu Bakar asy-Syibli, nama lengkapnya, berucap via Ruzbihan Baqli (1128-1209 M).
Asy-Syibli adalah sufi yang sezaman dengan al-Hallaj (858-922 M), sufi syahid, namun usia hidupnya lebih panjang. Asy-Syibli boleh jadi cerminan al-Hallaj, namun yang mengalami moderasi. Asy-Syibli adalah orang yang menyaksikan langsung al-Hallaj.
Di saat al-Hallaj yang terbelenggu digiring para penjaga menuju tiang gantungan di saat yang sama sang sufi itu harus menerima juga lemparan batu dari orang-orang terhadapnya. Tuduhan sebagai zindiq, kafir, penista agama, murtad, termarka di diri al-Hallaj.
Namun, saat orang-orang melemparkan bebatuan, asy-Syibli justru melemparkan mawar merah. Lemparan yang disebut al-Hallaj lebih menyakitkan tinimbang bebatu keras yang menghantami dirinya.
Asy-Syibli menegaskan juga bahwa api neraka tidak akan membakar selembar pun rambut di badannya. Apakah ini sebuah kesombongan, atau kejujuran, atau malah kebenaran? Kalau dikatakan kesombongan, kiranya hal yang musykil, sebab sebagai salah satu wali sufi, asy-Syibli tentu sangat sadar tentang penyakit hati, lebih-lebih kesombongan.
Dalam riwayat hidupnya sendiri, asy-Syibli nyaris selalu berada dalam kefaqiran. Apa yang mau disombongkan? Di dalam tasawuf, kesombongan justru termasuk penyakit hati utama yang harus disingkirkan sebab ia adalah mahkota kebanggaan Iblis, namun sejatinya hak ilahi.
Salah satu alasan mendasar mengapa kaum sufi kerap kali kelihatan lusuh, kotor, tampak tak berpendidikan, atau minimal tampil seadanya adalah demi mengusir rasa sombong yang menelusup tak terasa ke sanubari.
Api neraka yang tak sanggup membakar tubuh asy-Syibli, menurut Baqli adalah karena adanya iltibas, yakni terlindungnya manusia dalam cahaya pra keabadian: cahaya ilahi yang bukan ciptaan itu terlalu kuat bagi api ciptaan di Neraka. Mengapa?
Sebab, menurut sebuah hadits yang amat digemari para sufi, Neraka mengatakan kepada seorang beriman sejati: “Cahayamu telah memadamkan apiku.”
Apakah ini hal yang mungkin? Mungkin-mungkin saja toh. Kita ingat dengan kisah Nabi Ibrahim. Seringkali di masa kecil kita dikisahkan tentang Nabi Ibrahim AS yang dibakar oleh rakyat Raja Namrud (Nimrod). Kekesalan rakyat Babylon terjadi karena Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah.
Setelah diadili di pengadilan setempat dan dinyatakan bersalah, Ibrahim dilemparkan dari atas bukit ke kobaran besar api yang menyala-nyala tepat di bawahnya. Tak ada kemungkinan untuk selamat bagi Ibrahim. Namun, api tak sanggup menghanguskan sang Khalilullah. Peristiwa hilangnya kekuatan api untuk membakar ini diceritakan al-Quran, “Kami berfirman, ‘hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’.” (QS Al-Anbiyaa [21]: 69).
Baiklah, itu kisah nabi Ibrahim, adakah kisah yang bukan nabi?
Hampir seabad lalu, seorang raja di Irak, King Faisal I (1885-1933), mendapat mimpi dari seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Sahabat nabi ini bernama Hudzaifah al-Yamani.
Dalam mimpi tersebut, sang sahabat nabi yang memegang ilmu-ilmu rahasia ini berkata:
“Wahai Raja! Pindahkan Jabir Ibnu Abdullah dan saya dari tepi sungai Tigris dan kuburkan kami di tempat lain yang lebih baik karena kubur saya sudah terendam air, sementara kubur Jabir ibn Abdullah mulai terendam jua.”
Menarik dicatat, bahwa sahabat Hudzaifah lebih mendahulukan yang lain daripada dirinya sendiri. Mimpi sang raja ini terulang kembali di malam berikutnya. Namun sayang, terabaikan karena sang raja lebih sibuk mengurus persoalan politik kenegaraan. Pada malam ketiga Hudzaifah memperlihatkan diri di dalam mimpi Mufti Agung Irak.
Ia berkata pada sang Mufti:
“Aku sudah minta pada raja dua malam lalu untuk memindah jasad kami tapi dia tidak perhatian. Beritahukan padanya dengan lemah-lembut untuk mengatur pemindahan kuburan kami!”
King Faisal, Perdana Menteri dan Mufti Agung memutuskan mengerjakan pemindahan ini setelah sebelumnya berembuk. Ditetapkan bahwa Mufti Agung mengeluarkan fatwa tentang peristiwa yang Raja dan Mufti alami dan Perdana Menteri akan mengeluarkan pernyataan pada pihak pers, sehingga masyarakat umum bisa mengetahui peristiwa akbar ini. Dinyatakan bahwa pada 10 Zulhijjah setelah shalat Zuhur kuburan kedua Sahabat akan dibuka dan jasad suci mereka akan dipindahkan ke tempat lain.
Demikianlah kuburan Hudzaifah al-Yamani dan Jabir ibn Abdullah dipindahkan dan dimakamkan di tempat yang lebih baik, di kompleks kuburan sahabat nabi lainnya, Salman al-Farisi, Salman Park. Beberapa sumber menyebut tentang peristiwa ini, namun musti saya sebutkan bahwa sandaran saya adalah pada situs www.rightfulreligion.com, 04/04/2010.
Terkait fenomena Iltibas ini, sepertinya kaum Wahabi menolak untuk melihatnya sebagai kuasa atawa misteri ilahi. Muasalnya memang panjang, membentang hingga berabad-abad lalu.
Saat kaum Wahabi baru menduduki daerah Mekkah pada sekitar dua abad lebih silam, mereka meruntuhkan makam sahabat nabi Zaid bin Khattab. Demi mendapati di dalam makam tersebut jasad sang sahabat abadi, mereka berteriak-teriak ketakutan, menganggap bahwa ini perbuatan Iblis. Luar biasa bukan? Apakah ini hal yang mengada-ada?
Tidak. Pandangan tentang jasad abadi sebagai musuh Tuhan ini bisa ditemui di situs www.ahlalhdeeth.com/vbe di bawah judul How does Islaam interpret the “incorruptibility” of the bodies of non-Muslims? Apakah Wahabi tidak percaya pada hadis Abu Dawud “Allah SWT melarang bumi memakan jasad para Nabi”?
Entahlah, yang jelas mereka kebingungan memaknai fenomena jasad abadi orang suci Islam, lebih-lebih orang suci di luar Islam.
Apakah hanya sahabat nabi yang jasadnya abadi? Tidak. Simak cerita berikut. Habib Luthfi bin Yahya (Allah yarham), menceritakan tentang pengalamannya saat masih nyantri di Kedung Paruk Purwokerto.
Di daerah tersebut, dikenal seorang tukang kuli angkut bernama Darjo yang kala masih hidup bekerja serabutan. Setelah salat Subuh, ia biasa tidur sebentar, lalu sekitar jam tujuhan keluar kerja ke pasar.
Satu hari Darjo wafat dan dimakamkan. Sembilan tahun kemudian, cucunya wafat. Oleh orang tuanya, mayat si cucu hendak dimakamkan berdampingan dengan makam sang kakek.
Maka, dibongkarlah makam Pak Darjo. Setelah penggalian sekitar satu setengah meter, didapati hal ajaib, bambunya masih hijau, kain kafan masih utuh, wangi luar biasa seperti baru dimakamkan beberapa
jam. Setelah kejadian itu, Habib Luthfi berniat menghadap ke gurunya, Mbah Kiai Abdul Malik, bermaksud laporan peristiwa. Mbah Kiai Abdul Malik yang saat itu sedang duduk santai di depan rumah, tersenyum melihat kedatangan Habib Luthfi. Mbah Malik langsung menyambar dalam bahasa Jawa yang artinya,
“Gimana, mayatnya Darjo masih utuh?” Belum Habib Luthfi bicara, maksudnya sudah diketahui. Mbah Malik lantas menjelaskan, Darjo itu orang ahli selawat. Tidak pernah ketinggalan selawat. Tiap malam sebelum tidur ia membaca ribuan kali shalawat. Ia orang yang istiqamah, ia selalu membaca selawat sebanyak 16.000 sebelum tidurnya (lihat http://www.habiblutfi.net/show/story/420/berkah-shalawat-darjo-kuli-kasar-yang-utuh-jasadnya.html).
Dari peristiwa Pak Darjo ini, menurut Habib Luthfi, cukup 300 kali saja sebelum tidur sudah cukup bagi kita yang awam ini.
Iltibas adalah sebuah paradoks. Paradoks yang unik, seunik bila kita menyebut Masjidil Haram. Kenapa disebut masjid tapi ada haramnya? Semestinya masjidil halal kan, toh tidak. Kalau penganut pemahaman literalis atawa harfiah boleh jadi ia harus memakai akal untuk menafsirkan kata ini. Istilah Masjidil Haram adalah sebuah hal yang gampang dijawab oleh kaidah Ushul Fiqh tentang mafhum mukhalafah. Sebuah kaidah yang berbicara mengenai penalaran hukum secara tersirat. Artinya, Masjidil Haram bukan berarti masjid itu haram, tetapi malah mesjid yang suci.