Pada 9-10 Maret 2019 lalu di Martapura, Kalimantan Selatan berlangsung acara haul Abah Guru Sekumpul yang ke-14. Bila tahun lalu disebut-sebut jumlah jamaah mencapai satu jutaan, tahun ini diasumsikan mencapai satu setengah sampai dua jutaan jamaah.
Tahun ini adalah tahun kedua saya berkesempatan ikut hadir di acara haul Abah Guru Sekumpul Martapura, Kalimantan Selatan. Nama lengkap Guru Sekumpul adalah Kyai Haji Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (1942-2005). Sejatinya yang lebih tepat untuk menyebut beliau adalah “Tuan Guru” sebagai pengganti sebutan Kiai.
Apa pasal? Sebutan “guru” dan “tuan guru” adalah sebutan yang khas di tanah Banjar, Kalimantan Selatan (saya mesti cantumkan Kalimantan Selatan lantaran baru-baru ini Munas Alim Ulama dan Konbes NU juga berlangsung di Kota Banjar, tapi di Jawa Barat). Sebutan guru setara dengan “ustaz”, sementara sebutan tuan guru mengisyaratkan level keilmuan yang lebih mumpuni.
Penyematan sebutan Abah yang berarti ayah atau bapak adalah juga khas Banjar (meskipun ya gak khas-khas amat). Sebutan ini untuk memunculkan nuansa hubungan kekerabatan. Dalam bahasa Banjar praktik ini disebut badangsanakan atau persaudaraan.
Baca juga:
- Budaya Populer: Catatan Seputar Haul Guru Sekumpul
- Kisah Guru Sekumpul Mencari Jodoh
- Ziarah: Kisah Orang-Orang Banjar
Ada satu tradisi yang unik di Banjar, yakni ba’angkatan dangsanak (mengangkat seseorang yang tak sedarah sebagai saudara kandung) atau pun ba’angkatan kuwitan (mengangkat seseorang yang juga tak sedarah sebagai orang tua). Tradisi ini dilakukan dengan tujuan agar hubungan kekerabatan semakin erat. Itulah alasan sebutan Abah dilekatkan kepada Guru Sekumpul yang bermakna ayah atau bapak guru Sekumpul.
Dalam acara rangkaian Haul ini, sebenarnya ada tiga hari pelaksanaan. Hari pertama, haul diselenggarakan di rumah Guru Sekumpul, hari kedua dilangsungkan di Kubah beliau, dan hari ketiga sebagai puncaknya dipusatkan di musala Ar-Raudhah.
Dua tahun belakangan para peziarah semakin membludak. Bila tahun lalu perjalanan pulang normal dari Martapura ke Tanjung Tabalong adalah 16 belas jam, tahun ini bertambah menjadi 24 jam. Bandingkan waktu tempuh biasanya yang hanya memakan waktu lebih kurang 5-6 jam saja. Padahal jarak resmi dari Martapura ke Tanjung adalah hanya 192 Km (Banjarmasin-Tanjung: 232 Km).
Semasa kecil, Guru Sekumpul dikenal dengan panggilan Qusyairi. Para peminat tasawuf tentu mudah menghubungkan nama ini dengan al-Imam Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (986/987-1072/1073 M), penulis kitab tasawuf yang padat dan masyhur Risalah al-Qusyairiyah. Menariknya, panggilan ini seakan sebuah déjà vu.
Al-Imam al-Qusyairi dalam perjalanan keilmuannya di masa silam, pernah terusir bahkan dituduh sesat. Demikian pula dalam perjalanan hidupnya, Guru Sekumpul juga pernah terusir, difitnah, majelisnya dilempari tinja bahkan dituduh mengajarkan aliran sesat.
Namun, itulah, tak ada emas yang berkilau dan padat tanpa dibakar. Ujian, cobaan dan fitnah tentu tak lain dari gemblengan untuk memunculkan hakikat emas seseorang.
Sebelum dikenal dengan nama Sekumpul, daerah di mana Guru Zaini mengajar dikenal dengan nama jalannya, jalan Sungai Kacang. Semenjak beliau pindah mengajar dari wilayah Kelurahan Keraton, Martapura, ke daerah Sungai Kacang, beliau mempopulerkan sebutan untuk daerah ini sebagai “Sekumpul”.
Spiritualitas
Menarik untuk dicatat bahwa menjelang acara haul Abah Guru Sekumpul di Martapura, banyak langgar dan masjid sepanjang jalan dari Martapura sampai Tanjung Tabalong yang berbenah dan berhias diri. Beberapa memasang lampu hias yang bersinar indah di kala malam hari.
Selain itu, yang terpenting adalah tidak sedikit tempat ibadah tersebut yang menyediakan makanan dan minuman gratis bagi Jamaah Haul yang dalam perjalanan. Kami sendiri yang beberapa kali singgah untuk sekedar beristirahat praktis tidak keluar biaya sama sekali untuk makan dan minum.
Di dalam media sosial, ada postingan tentang seorang Bapak yang berjalan untuk acara Haul dari Palangka Raya ke Martapura (221,2 Km). Menariknya, saat ditawari untuk menumpang dia menolak dan tetap memilih berjalan kaki. Beberapa memberinya uang yang lantas diberikannya lagi kepada orang lain.
Dalam rangkaian acara haul ini pula, saya sempat berbincang dengan seorang Bapak bernama Akbar (usia 50-an)yang bekerja sebagai petugas Satpol PP. Beliau bercerita pengalaman spiritualnya. Dulu dia berkawan dengan seorang Habib bernama Muhammad Nur. Satu hari beliau meninggal.
Setelah selesai dikuburkan, malam itu sang Habib hadir dalam mimpi pak Akbar. Pak Akbar diminta menggali ulang kuburnya untuk memastikan apakah jasad sang Habib masih ada. Esok siangnya ditemani Juru Talqin dan sejumlah orang lain, kubur Habib Muhammad Nur pun digali. Saat galian sampai di tabala (keranda mayat) sebilah potongan kayu diambil oleh Pak Akbar. Bau semerbak pun serta-merta menguar-uar memenuhi udara. Pak Akbar memandang ke dalam tabala dan ia tidak melihat sama sekali jenazah sang Habib.
Penasaran, tangannya merogoh ke dalam, dan hanya meraih udara hampa. Setelah itu, kubur itu pun diuruk lagi. Namun, kali ini dibikin rata dengan tanah, tidak nyembul.
Kejadian itu seturut Pak Akbar terjadi saat dia masih bermukim di Banjarmasin. Saya membatin, mungkin ini yang disebut wafat atau kalau dalam tradisi Hindu-Budha dikenal dengan moksa. Wafat tentu berbeda dengan iltibas.
Post-Factum Haul
Saya ingin mengemukakan dua catatan pengalaman saya pasca acara Haul Abah Guru Sekumpul ke-14 lalu.
Ihwal pertama, persoalan infrastruktur. Jamaah Haul tahun ini secara faktual lebih banyak ketimbang tahun lalu. Volume jamaah yang lebih banyak inilah yang bikin kemacetan mencapai hingga 100 KM lebih. Namun, faktor penyebabnya sejatinya bukan hanya karena jumlah jamaah yang membludak.
Bisa dikatakan faktor utamanya bersumber dari ketidaktertiban pengendara mobil di mana badan jalan yang sebenarnya hanya cukup untuk dua buah mobil berpapasan dipaksakan menjadi tiga lajur. Sebagai jalan propinsi, tentu pemerintah propinsi seyogianya memikirkan bagaimana ke depan menambah kapasitas tampung jalan raya untuk mengantisipasi kemacetan. Bukan tidak mungkin jumlah jamaah tahun depan akan lebih banyak lagi.
Ihwal kedua, terkait langsung dengan salah satu poin rekomendasi adalah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Kota Banjar, Jawa Barat pada awal Maret lalu. Poin penting yang terkait di sini adalah rekomendasi pentingnya penanganan sampah plastik. Seperti disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj, Indonesia sudah menjadi negara terbesar kedua penyumbang sampah plastik setelah Cina. Sampah plastik ini disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya masyarakat menyadari bahaya sampah plastik.
Pasca acara Haul ini, hampir sepanjang jalan pulang dari Martapura ke Tanjung saya menyaksikan di kiri dan kanan sepanjang jalan bertebaran plastik-plastik kresek dan yang lebih dominan adalah plastik bekas gelas air minum kemasan. Di lain pihak, saat ke sungai untuk keperluan buang hajat, di depan mata saya seorang kakek yang membawa ember dengan santainya menumpahkan ke sungai isi embernya yang ternyata sebagian besar adalah sampah plastik. Tak pelak, saya hanya bisa termangu.
Tentu banyaknya sampah plastik ini layak menjadi keprihatinan kita bersama. Publik mungkin masih ingat pada Nopember tahun lalu, di perairan Wakatobi ada seekor Paus Sperma (Sperm Whale) mati terdampar. Di perutnya ditemukan hampir 6 Kg sampah plastik yang terdiri dari penutup galon, plastik, sandal, botol parfum, bungkus mi instan, gelas minuman, tali rafia, karung terpal, kantong plastik, dan lainnya. Besar kemungkinan sampah-sampah plastik ini yang menjadi penyebab kematiannya karena plastik tak bisa dicerna dan beracun.
Baru-baru ini di pesisir Filipina, seekor Paus mati juga. Yang mengejutkan ditemukan 40 Kg sampah plastik di perutnya. Berkali-kali lipat dari kejadian Wakatobi lalu. Jumlah ini tentu betul-betul menyedihkan. Perlu penanganan yang optimal baik dari masyarakat maupun negara terhadap sampah plastik. Karena itulah, pernyataan Koordinator Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah LBM PBNU Asnawi Ridwan terkait dengan hukum membuang sampah sembarangan perlu didukung.
Beliau menyatakan bahwa hukum membuang sampah sembarangan adalah makruh bila kemungkinan kecil membahayakan. Sebaliknya hukumnya haram apabila nyata-nyata atau diduga membahayakan. Atas dasar inilah Komisinya setuju pemerintah menerapkan sanksi kepada oknum yang membuang sampah sembarangan. Wallahu a’lam bi al-sawab.