Nama ini tidak banyak dikenal, apalagi nasional, di Surabaya saja, di mana dia berjuang, namanya tidak banyak dikenal. Saya sowan sana sini untuk mencari tahu lebih dalam, hasilnya masih dangkal. Karena itulah, catatan saya ini teramat pendek, untuk sosok yang sanad ilmu dan jejaring sosialnya cukup kuat. Siapakah dia?
KH. A. Wahab Turcham, namanya. Abdul Wahab dari Surabaya, putra dari Kiai Turcham. Jika Abdul Wahab dari Jombang, putra Kiai Chasbullah, kita sudah banyak mengenalnya.
Di deretan foto di atas, wajahnya saya lingkari. Ia tokoh NU di Surabaya, rumahnya banyak dihampiri, tempat makan, tempat menginap, saat ulama atau tokoh nasional datang ke Surabaya. Wahab Turcham gigih dalam dunia pendidikan. Untuk pendidikan Islam Surabaya, tidak hanya pesantren, tapi juga sekolah, ia salah satu pentolan. Pilih tanding tekadnya. Di Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial Khadijah, Surabaya, ia salah satu muasis.
Ini adalah foto Ittihad As-Syubban, yang bernaung di bawah NU wilayah Wonorejo Surabaya, 1931. Beliau bergabung di organisasi ini di usia belia, 16 tahun.
Kelak, Kiai Wahab Turcham dikader oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah di Nahdlatul Wathan, lalu digembleng oleh Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari di Tebuireng, sekaligus berkenalan dan bersahabat dengan Kiai Abdul Wahid Hasyim. Nama terakhir inilah yang banyak memengaruhinya terkait gagasan pembaruan pendidikan Islam.
Persentuhannya dengan Kiai Wahid membuatnya tertarik mendirikan Madrasah Muallimat, sekolah khusus kaum hawa, pada 2 Dzulhijjah 1372 H/ 1 Agustus 1954. Di kemudian hari, lembaga ini berkembang pesat dan setelah beberapa kali mengalami perubahan nama, pada akhirnya menjadi Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial Khadijah. Selingan: Jika orang Muhammadiyah berdakwah dengan nama Aisyah, maka NU mengabadikan Khodijah dalam perjuangannya.
Ketika Yayasan Khadijah Surabaya dipindah dari Kawatan ke Wonokromo tahun 1960-an, suasana politik memanas. PKI via Pemuda Rakyat menyerobot tanah milik Muslimat NU yang diperuntukkan bagi Yayasan Khadijah. Tanah ini dikapling, dikasih patok, dan diberi bendera Palu Arit. Mottonya, serobot dulu, urusan belakangan (jangan ada lagilah motto begini).
Nggak terima, Banser mencopoti patok, mencabut bendera Palu Arit, dan menggantinya dengan bendera NU. Bentrok terjadi. Banser memukul mundur Pamuda Rakyat dan BTI. Mottonya, pukul dulu urusan belakangan (jangan ada lagilah motto begini).
Agar aman, Banser siap siaga berjaga siang malam. Mengamankan aset tanah milik Muslimat NU tersebut.
Di tanah inilah sampai sekarang gedung dan pesantren putri yang dikelola Yayasan Khadijah awet berdiri. Demikian, sangat singkat. Semoga pada masa yang akan datang kita dapat menemukan informasi-informasi tentang beliau yang lebih mendalam lagi. Tentu saja ini tugas anakmuda.
Alfatihah untuk Kiai Wahab Turcham, Penggerak Pendidikan Perempuan Surabaya.