Di Indonesia, ada tiga orang penyelamat dokumen-arsip alias dokumentator yang saya kagumi.
Pertama, Des Alwi. Anak didik Bung Hatta dan Sutan Sjahrir ini dikenal gigih mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah bangsa Indonesia, khususnya saat era revolusi fisik. Selain menjadi pelaku sejarah, ketekunannya mengumpulkan dokumentasi (foto, rekaman suara, dan rekaman gambar), maupun mendokumentasikan aspek-aspek yang bagi orang lain remeh, membuat pria kelahiran Banda Neira ini menjadi salah satu referensi terpercaya bagi peneliti dan pengkaji sejarah.
Kedua, HB Jassin. Paus sastra Indonesia ini dengan tekun menyimpan karya-karya sastrawan Indonesia era Hindia Belanda hingga era Orde Baru. Baik yang sudah berbentuk buku, kliping media massa, bahkan sekadar catatan-catatan tulisan tangan yang berserak. Pusat Dokumentasi HB Jassin di Jakarta adalah bukti ketekunannya. Sayang, minimnya perhatian pemerintah terhadap “harta karun intelektual” yang ia tinggalkan ini membuat nasih ratusan ribu dokumen-arsip merana, persis nasib perpustakaan Bung Hatta!
Ketiga, KH. Abdul Aziz Masyhuri. Kegigihan Pengasuh PP. Al-Aziziyyah Denanyar Jombang ini dalam mendokumentasikan arsip NU dan banomnya pantas diapresiasi. Beliau dengan tekun mengumpulkan hasil Bahtsul Masail NU saat Munas, Konbes maupun Muktamar NU dari masa ke masa hingga terbit menjadi buku Ahkamul Fuqaha: Hasil Keputusan Munas, Konbes, dan Muktamar NU sejak tahun 1926 hingga muktamar paling mutakhir setebal hampir 1000 halaman.
Begitu pula yang beliau lakukan dengan menghimpun hasil bahtsul masail Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah dari Muktamar ke Muktamar dengan judul al-Fuyudlat ar-Rabbaniyyah. Kedua buku di atas diterbitkan Khalista. Ini belum mencermati keuletan beliau yang dengan tekun menulis buku dengan beragam topik. Setidaknya, lebih dari 150 judul buku yang telah beliau himpun, sunting, tulis, atau diterjemahkan. Penerbit Imtiyaz yang saya kelola mendapatkan kehormatan menerbitkan salah satu karya ulama kelahiran Tuban ini, “Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf” (2015).
Bagi beliau tiada hari tanpa menulis. Saat sowan bersama sahabat saya, Ahsanul Fuad ( Jati Mulyo Jombang ) menjelang muktamar NU 2015 silam, beliau bercerita apabila zaman dulu proses kepenulisannya diawali dengan cara manual: menulis tangan. Kemudian saat ada mesin ketik beliau pun memanfaatkannya.
Saat menulis KH. Bisri Sjansuri: Cita Cita dan Pengabdiannya (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), beliau masih ingat apabila mengetik naskah buku ini secara langsung di kantor percetakan di Surabaya selama beberapa hari. “Saya ngetik di situ, ya tidur di situ sampai selesai tulisan buku tersebut,” kata Kiai Aziz sambil terkekeh mengingat momen puluhan tahun silam itu. Kiai Aziz sengaja ngebut menulis biografi gurunya tersebut atas perintah Ny. Hj. Solihah Wahid Hasyim (ibunda Gus Dur) semata-mata mengejar momentum 1000 hari wafatnya Kiai Bisri Sjansuri, 1983, sebab buku bersampul coklat tersebut dibagikan di acara peringatan kematian besan KH. M. Hasyim Asyari itu.
Pada saat sowan itu, beliau juga menunjukkan fotokopian sebuah kitab tipis berjudul An-Nushush al-Islamiyyah fi Radd al-Wahhabiyyah karya Wakil Rais Akbar NU, KH. Faqih Maskumambang, Gresik. Kitab ini terbitan salah satu penerbit di Kairo, 1922, dan sempat lama tidak terdeteksi keberadaannya hingga kemudian Kiai Aziz menemukannya. Sebelum merekomendasikan agar kitab ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang beserta teks aslinya, Kiai Aziz melakukan “izin” terlebih dulu kepada Kiai Faqih Maskumambang dengan menziarahi makamnya.
Gus Abdul Muiz Aziz, putra beliau, melalui WA mengirimkan sebuah foto saat Kiai Aziz duduk membaca tahlil di sebuah makam sederhana yang terkepung ilalang dan nyaris tanpa perawatan memadai. Itulah makam ulama besar yang polemiknya dengan Kiai Hasyim Asyari mengenai hukum kentongan juga diabadikan secara kreatif melalui kitab.
Atas rekomendasi Kiai Aziz, terjemahan kitab an-Nushush al-Islamiyah fi Radd al-Wahhabiyyah ini kemudian diterbitkan oleh Penerbit Sahifa dengan judul “Menolak Wahabi, Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi; dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir At-Tilmisani” (2015).
Kiai Aziz Masyhuri dan Kiai Bisri Sjansuri
Ustadz Aziz Ja’far, seorang santri Kiai Aziz bercerita, apabila gurunya tersebut punya kebiasaan menulis di ruangan pribadinya. Para santrinya juga paham, apabila lampu kamar masih menyala berarti di situ gurunya sedang menulis. Ketika kesehatan Kiai Aziz mulai terganggu, beliau kembali menulis tangan, lalu ada santri yang kebagian mengetiknya di komputer/laptop dan hasilnya tinggal ditashihkan kepadanya. Tak heran jika sampai akhir hayatnya, Kiai Aziz telah menulis lebih dari 150 karya dalam berbagai bentuk: karya orisinal, terjemahan, saduran, dan ringkasan. Ciri khas lainnya, beliau selalu menyertakan teks asli yang berbahasa Arab di setiap buku yang beliau terjemahkan.
“Jika ada tamu istimewa yang datang ke Pondok Denanyar, biasanya kegiatan ngaji di asrama diliburkan. Para santri kemudian dihadirkan di masjid induk untuk menyambut dan mendengarkan ceramahnya. Kadang ada syaikh dari al-Azhar Kairo, guru besar dari Sudan, ulama/habib dari Yaman, para menteri dari Jakarta dan tokoh-tokoh lainnya. Di situlah Kiai Aziz Masyhuri mendampingi,” tulis A Afif Amrullah, santri Kiai Aziz lainnya, dalam status facabooknya.
Juli 2014 silam, saya ditelepon Kiai Aziz agar menghadap beliau. Saya sowan dan diminta mencari karya beliau yang masih ketikan lama di tengah tumpukan berbagai buku di perpustakaan pribadi Kiai Aziz yang tersedia di samping ndalem. Terus terang saya kebingungan karena harus mencari naskah di tengah beberapa manuskrip yang berceceran di meja maupun berjejalan di dalam rak. Ketemulah naskah berjudul “Ensiklopedi Tokoh Tarekat”. Sebuah naskah berisi biografi para sufi agung dari masa ke masa yang di-layout dengan sederhana. Beliau memasrahkan ke saya agar mengetik ulang naskah tersebut, dan jika memungkinkan, sekaligus menerbitkannya.
Saat sowan itu pula Kiai Aziz bercerita mengenai KH. Bisri Sjansuri, guru sekaligus kakek dari istrinya, Ny. Hj. Azizah Aziz Bisri Sjansuri.
Tahun 1979, Kiai Aziz mendampingi Kiai Bisri saat Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang. Di sana, banyak tamu luar negeri yang disamping ikut menyaksikan berlangsungnya muktamar juga menemui Mbah Bisri. Banyak tamu yang mengagumi keberhasilan Mbah Bisri dalam memimpin NU meskipun usia pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur itu sudah senja.
Di antara sekian banyak tamu, terdapat seorang guru besar Masjidil Haram bernama Syekh Zakariya bin Syekh Abdillah Billah yang mengikuti rombongan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani Makkah. Syekh Zakariya punya beberapa karya tulis, di antaranya berjudul al-Jawahirul Hisan yang saat itu belum selesai dia tulis. Dalam karya tersebut, Syekh Zakariya ingin memasukkan biografi Mbah Bisri. Untuk keperluan itu, Kiai Aziz Masyhuri, yang merupakan cucu menantu Mbah Bisri, diwawancarai oleh Syekh Zakariya. Di antara pertanyaannya adalah mengenai karya tulis Mbah Bisri yang sudah dicetak. ”KH. Bisri Sjansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku,” jawab Kiai Aziz.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar ini memaklumi pertanyaan tersebut, sebab untuk mengukur kebesaran seseorang kadang-kadang dinilai dari banyaknya buku dibuat. Namun, melihat kiprah Mbah Bisri, jelas penilaian di atas kurang tepat. Sebab, karya monumental Mbah Bisri bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama serta orang-orang besar yang dibimbing Mbah Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain.
Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan. Adapun perkara minim dan nihilnya pendokumentasian gagasan dan buah pemikiran Mbah Bisri ini juga dapat dimaklumi karena selama beliau hidup tidak memiliki seorang sekretaris maupun asisten pribadi yang bertugas mencatat pemikirannya. Jadual yang sangat padat dan aktivitasnya sebagai pemimpin umat, sejak muda hingga menjelang kewafatan pada usia kurang lebih 96 tahun, ternyata dirasa cukup kurang untuk bisa memiliki waktu luang menulis buku.
Sebaliknya, dalam kurun 70 tahun, waktunya digunakan untuk membina umat, mengasuh pesantren, menemani kalangan ulama, berdiskusi dengan politisi dan kelompok pergerakan, berjuang di era perang kemerdekaan, dan menyediakan diri sebagai nahkoda NU.
Benar, Mbah Bisri memang tidak sempat menulis buku beraksara A, B, C maupun Alif, Ba, Ta dan seterusnya, tapi beliau telah menulis dalam jiwa para santri, kader, dan masyakat melalui keteladanan selama hidupnya. Jadi, Mbah Bisri tidak menulis buku, karena hidupnya adalah teks terbuka yang bisa dibaca oleh siapapun.
Multitalenta
Selain menulis di berbagai tema: fiqh, tasawuf, tafsir, hadits, tarikh, ushul fiqh, ilmu kalam, balaghah, menyusun mahfudzat, maupun menerjemahkan berbagai karya ulama, yang pantas dikagumi dari Kiai Aziz adalah kemauan kuatnya untuk menyebarluaskan karyanya meskipun harus difotokopi secara sederhana.
Saya masih ingat apabila dalam momentum Muktamar NU di Makassar, 2010, Kiai Aziz bersama putranya, Gus Abdul Muiz, menitipkan buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 3 karya beliau yang di-layout dan difotokopi secara sederhana dan dijilid manual kepada saya untuk dijualkan. Meski tidak habis seluruhnya, namun karya ini banyak diapresiasi oleh para muktamirin. Selain itu, Kiai Aziz juga membawa dan menitipkan beberapa puluh eksemplar terjemahan kitab Al-Inshaf fi Asbabil Ikhtilaf karya Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (dengan tetap menyertakan teks aslinya). Beberapa bulan kemudian, Pustaka Pesantren (LKiS Grup) menerbitkan karya ini dengan judul Beda Pendapat di Tengah Umat (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, Agustus 2010).
Ketika Muktamar Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah di Malang, 2012, Kiai Aziz juga menitipkan ke saya sebuah karya terjemahan sebuah kitab dengan tetap menyertakan teks aslinya. Kalau tidak salah ingat Is’aful Muslimin wal Muslimat karya M. Al-‘Arabi yang diterjemahkan menjadi Hadiah Pahala.
Terakhir kali mencium tangan beliau saat ada pertemuan para kiai di Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo, 13 Januari 2017, silam. Berpulangnya beliau adalah kehilangan besar bagi NU. Sebab, beliaulah yang selama ini dengan telaten mengumpulkan “remah remah” dokumentasi organisasi yang jarang diperhatikan atau setidaknya tidak dianggap penting bagi kebanyakan orang.
Bagi saya, ketiga orang di atas, khususnya Kiai Aziz Masyhuri, adalah pionir yang menjaga denyut nadi ingatan manusia agar terus berjuang melawan lupa. Dalam istilah Milan Kundera, perjuangan manusia adalah perjuangan melawan lupa. Sebab, sudah menjadi karakteristik dasar manusia, apabila terlampau sering melupakan hal-hal esensial yang penting namun tidak dianggap penting. Dan, para penyelamat ingatan inilah yang paring berperan dalam menjaga agar kita terus ingat dan tidak lupa mengenai kesejarahan kita.
Lagi pula, di kalangan NU, Kiai Aziz adalah dokumentator tangguh hal ihwal organisasi ini setelah era Kiai Umar Burhan, Gresik, santri KH. Hasyim Asyari, yang punya ketelatenan dan keistiqamahan di atas rata-rata dalam mengumpulkan dan merawat berbagai pernak pernik ke-NU-an. Tak heran juga apabila para peneliti asing seperti Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Mitsuo Nakamura, dan Ken Miichi, begitu menghormati pribadi dan keilmuan Kiai Aziz Masyhuri.
Upaya yang dilakoni para penjaga ingatan seperti Des Alwi, HB. Jassin dan almukarram KH. A. Aziz Masyhuri memang tidak mudah di tengah ketidakpedulian bangsa kita terhadap arsip-dokumentasi-manuskrip. Padahal ketiganya merupakan perekam dinamika zaman sekaligus penanda kemajuan intelektual dalam kurun tertentu!
Akhirnya, semoga jejak langkah beliau bertiga dalam “menjaga dan mewariskan ingatan” kepada bangsa ini menjadi amal jariyah di akherat, di mana pahalanya senantiasa mengalir bagi beliau bertiga.
Wallahu A’lam Bisshawab. (RM)
(Tulisan di atas sudah dimuat dalam “Kiai Kantong Bolong” (Cet. II, April 2018).