Di dalam ‘Iqdul Farid, tsabat alias catatan matarantai keilmuan yang disusun oleh Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, terdapat satu nama yang mencorong. Ulama di jalur transmisi pengajaran Shahih Bukhari yang diterima Syekh Yasin semua laki-laki, tapi dia sendirian. Dia perempuan, namanya Syaikhah Fatimah binti Abdusshamad al-Falimbani. Ya, nama ini ada di urutan ke-lima dari bawah.
Persisnya, (1) Syaikh Yasin Al-Fadani mendapatkan sanad Shahih Bukhari dari (2). Syaikh Abdul Karim bin Ahmad Khatib bin Abdil Lathif bin Muhammad Ali bin Ahmad Al-Minangkabawi; beliau menerima dari: (3). Al-Allamah As-Syaikh Ahmad bin Abdil Latif Al-Khatib Al-Minangkabawi; dimana beliau belajar kepada: (4). Syaikh Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi.
Mahaguru ulama Nusantara ini menerima dari: (5.) Syaikhah Fathimah binti Abdusshamad Al-Falimbani; beliau menerima dari ayahnya, yaitu (6). Syaikh Abdusshamad bin Abdirrahman Al-Falimbani; beliau menerima dari: (7). As-Syaikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far Al-Falimbani; beliau menerima dari gurunya, dimana gurunya juga menerima sanad ini dari gurunya dan seterusnya hingga ke Imam Bukhari.
Transmisi ilmu ini penting. Sangat penting. Karena itu setiap ulama biasanya mencatat matarantai keilmuan yang dia terima. Agar jelas gurunya, bersambung kepada gurunya, hingga ke penulis kitab.
Sanad seperti ini memegang peranan penting karena sanad adalah semacam jaminan bahwa keilmuan kita didapatkan dari pemegang otoritas agama itu sendiri. Bukan suatu yang didapatkan secara sembarangan. Inilah yang membedakan antara ajaran Islam dengan keilmuan yang lain.
Hebatnya, nama perempuan ini menyembul di antara nama para jawara di bidang hadits. Nisbat daerahnya bukan al-Bashri (Irak), al-Ashfihani (Persia), Al-Makki (Hijaz), atau az-Zabidi (Yaman), melainkan al-Falimbani alias Palembang. Ini membuktikan kepercayaan dirinya sebagai seorang perempuan yang mau berusaha keras mendalami keilmuan hadits, serta didukung oleh ayahnya, Syekh Abdusshamad al-Falimbani, seorang mujahid, mursyid, sufi, dan penulis produktif.
Meski kultur patriarkhis sangat kuat, namun Fathimah yang hidup di abad ke 19 enggan menolak konstruksi sosial budaya ini. Dia dididik oleh ayahnya, dan mewarisi kekayaan intelektual yang dia peroleh dengan kerja keras hingga mendapat gelar prestisius, Syaikhah, alias guru besar perempuan.
Saya juga kagum dengan para ulama yang enggan mengurung anaknya di ruang belakang dengan alasan “perempuan hanya konco wingking”. Syekh Abdusshamad al-Falimbani memang pengecualian itu. Beliau mendidik putrinya dengan caranya sendiri di tengah budaya Arab (karena beliau hidup di Mekkah) yang sangat kuat cengkraman patriarkhisnya.
Saya jadi ingat dengan penjelasan Ustadz Ahmad Ginanjar Sya’ban dalam Sekolah Islam Nusantara, April 2018 silam di Pesantren Alif Lam Mim, Surabaya, tentang ulama perempuan di dunia Islam.
Filolog muda ini menjelaskan apabila pada abad keempat belas Hijriyah atau abad ke sembilan belas Masehi, ulama perempuan ahli hadits di dunia Islam itu hanya tiga.
Pertama, Syaikhah Ummatullah binti ‘Abd al-Ghani al-Dahlawi, Delhi, India. Kedua, Syaikhah Fathimah binti Ya’qub al-Makki dari Mekkah. Dan ,ketiga, tentu saja Syaikhah Fathimah binti Abdusshamad al-Shamad al-Falimbani.
Selain Syaikhah Fathimah binti Abdusshamad ini, ada juga Syaikhah Khairiyah binti Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama terakhir ini bermukim lama di Mekkah, mendirikan madrasah khusus cewek, kemudian pada tahun 1950-an kembali ke tanah air, karena kecintaannya terhadap kampung halamannya di Jombang.
Di sini jelas, ulama sekaliber Syekh Abdusshamad al-Falimbani dan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari mendorong putrinya agar setara di bidang keilmuan dengan kaum laki-laki. Setara di hadapan pengetahuan dan tidak ada perbedaan kelamin dalam kontribusi menyebarkan ilmu.
Sekilas poin yang saya sampaikan dalam Sekolah Islam Gender (SIG) yang diselenggarakan oleh Kopri PMII Fak Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Jember, Jumat, 5 Maret 2020/11 Rajab 1441 H.
Wallahu A’lam.