Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Soekarno, Peci Hitam, dan Sunan Giri

PENDIRI negara besar Indonesia ini, punya cara unik menyelami Islam yang ia anut sejak kecil. Keberislamannya memang tidak tumbuh dalam suasana pendidikan Islam tradisional–seperti pesantren. Namun pergulatan batinnya menembus jauh ke relung terdalam Islam. Kronik berikut ini adalah salah satu dari cara Soekarno menyelami agama rahmat bagi kehidupan.

Jelang lebaran, Bung Karno menemui mantan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani. Niatnya mau ngutang uang. “Cak, tilpuno Anang Tayib. Kondo-o nek aku gak duwe duwik (Cak, teleponen Anang Tayib. Kasih tahu bahwa aku tak punya uang),” dawuh Bung Karno, yang ganteng, pinter, nyecis, ternyata tak punya duit. 

Perihal orang paling populer di Indonesia ini, teramat sering ia tak punya uang barang sepeser. Itu sudah jadi kebiasaannya sejak masih berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah. Ada pun Anang yang dimaksud Bung Besar adalah keponakan Ruslan, tinggal di Gresik, pengusaha peci merk Kuda Mas yang sering dikenakan Sukarno. 

“Beri aku satu peci bekasmu. Saya akan lelang,” kata Ruslan.  

“Bisa laku berapa, Cak?” tanya Soekarno, bersiasat.

“Wis tah, serahno ae soal iku nang aku. Sing penting rak beres tah (Sudahlah, serahkan saja soal itu pada saya. Pokoknya kan beres),” tukas Ruslan.

Baca juga:  Agustus, Nasionalisme, dan Kemerdekaan

Mantan menteri itu lalu menyerahkan kepada Anang satu peci, bekas dipakai Soekarno. Ketika menyadari peserta lelang yang membludak, Ruslan terhenyak. Semuanya pengusaha asal Gresik dan Surabaya. Tapi yang membuatnya sangat terkejut, ternyata Anang melelang tiga peci. 

“Saudara-saudara,” kata Anang. “Sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai Bung Karno. Tetapi saya tidak tahu lagi mana yang asli. Ikhlas atau tidak?”

“Ikhlas..!” seru para peserta lelang.

“Alhamdulillah,” sahut Anang.

Singkat cerita, terkumpul uang sepuluh juta rupiah. Semua diserahkan Anang kepada Ruslan. 

“Asline rak siji se (Aslinya kan hanya satu),” kata Ruslan.

“Ya. Sebenarnya dua peci lain akan saya berikan untuk Bung Karno,” kata Anang.

“Tapi kedua peci itu jelek.”

“Memang sengaja saya buat jelek. Saya ludahi, saya basahi, saya kasih minyak, supaya kelihatan bekas dipakai.”

“Kurang ajar kamu, Nang. Kamu menipu banyak orang.”

“Kalau ndak begitu mana mungkin bisa dapat banyak uang.”

Alhasil Ruslan kemudian menyerahkan semua uang hasil lelang kepada Soekarno.

“Cak, kok banyak banget uangnya,” ujar Soekarno terperangah

“Itu semua akal-akalan Anang,“ jelas Ruslan. Maka ia pun menceritakan bagaimana cara ponakannya menggandakan peci.

“Kurang ajar Anang. Kalau begitu yang berdosa saya atau Anang?” tanya Soekarno.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (5): Demi Ilmu, Ikhlas Jomblo

“Yo Anang. Lah uang begitu banyak akan dipakai untuk apa tah?”

“Untuk zakat fitrahku. Bawalah semua uang ini ke makam Sunan Giri. Bagikan untuk orang melarat di sana,” perintah Soekarno. 

“Kenapa tidak diserahkan ke pengurus mesjid saja?” Ruslan coba menyela.

Soekarno menjawab tangkas, “Jangan. Banyak pengurus masjid yang korupsi.”

Sepenggal kisah sarat makna tersebut, kami nukil dari buku Suka Duka Fatmawati Sukarno (2008), yang dirawikan kepada Kadjat Adra’i. Bagi kita sekarang, paling tidak ada dua pesan moral yang bisa dipetik. 

Pertama. Bentuk ketakziman Bung Karno pada Kanjeng Sunan Giri, penghulu Giri Kedaton. Salah seorang tokoh raja-filosof sebagaimana dikenalkan Plato dua ribuan tahun silam. Di Giri Kedaton, beliau jumeneng dan manggon, bersamaan dengan berjalannya pemerintahan Keraton Majapahit.

Sekadar pranala. Keraton adalah pengejawantahan dari sistem keratuan. Sementara kedaton adalah menifestasi kedatuan. Posisi ratu, masih di bawah datu, atau datuk dalam terma yang kita kenal hari ini. Ratu dalam konsep Nusantara, bukan queen seperti di Barat sana. Ratu itu bisa lelaki atau perempuan. Chri Ratu Sanjaya misalnya, penggede Mataram kuno.

Pesan moral kedua. Bung Karno yang padahal sudah jelas tak punya uang, malah tak pernah kehabisan cara untuk terus memperhatikan rakyatnya. Jabatan presiden yang ia sandang, tak membuatnya lupa diri bahwa ia tetaplah Sukarno. Putra Sang Fajar, yang dilahirkan untuk meruwat duka nestapa umat manusia. Bukan hanya rakyat Indonesia, tapi juga masyarakat dunia yang kala itu sedang sekarat.

Baca juga:  Belajar Hidup Rukun dari Masyarakat Suku Baduy

Bung Karno pasti mafhum bahwa Islam dan Muslim harus menjadi rahmat bagi semesta alam. Ia telah rampung dengan urusan pribadinya sendiri. Maka tak ayal, bila kemudian ia pun tak henti memikirkan nasib banyak orang. Panduannya sudah terang. Islam adalah agama kemanusiaan. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top