Sedang Membaca
Menyigi Takdir dan Kebebasan: Dari Teologi Islam hingga Neurosains
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Menyigi Takdir dan Kebebasan: Dari Teologi Islam hingga Neurosains

Imam Syafi'i Ulama

Perdebatan mengenai hubungan antara takdir (qadar/takaran) dan kehendak bebas (ikhtiyar), telah berlangsung ratusan tahun dalam cakrawala filsafat dan teologi Islam. Para cendekiawan Muslim klasik, sedari Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, hingga Mulla Shadra, mengajukan berbagai pendekatan demi memahami bagaimana kehendak manusia beroperasi dalam batasan takdir yang ditentukan oleh Tuhan.

Al-Farabi, misalnya, menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, tetapi dalam cakupan yang telah disusun oleh hukum-hukum kausalitas yang ditetapkan oleh Tuhan. Ibn Sina membangun gagasan tentang determinisme Ilahi yang tetap menyisakan ruang bagi kehendak manusia, di mana manusia bertindak berdasarkan kehendak yang tertanam dalam jiwanya, tetapi dalam kerangka hukum universal Tuhan.

Sementara Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, mengkritik determinisme mutlak yang diyakini sebagian filsuf Muslim. Ia berpendapat bahwa meskipun Tuhan mengetahui segala sesuatu, manusia tetap diberi tanggung jawab moral atas perbuatannya. Ibn ‘Arabi lantas  menambahkan dimensi metafisik dalam pembahasan ini dengan konsep Wahdat al-Wujud-nya, di mana kehendak manusia merupakan refleksi dari kehendak Ilahi yang lebih tinggi. Takdir, menurutnya, bukan sekadar keterpaksaan, melainkan suatu realitas yang telah tergambar dalam ilmu Tuhan sejak sebelum waktu bermula.

Mulla Sadra melalui konsep harakat al-jawhariyyah, menunjukkan bahwa pergerakan dasar alam semesta merupakan perwujudan kehendak Tuhan, meski manusia memiliki kapasitas untuk memilih dan berinovasi dalam batas-batas yang telah ditetapkan.

Dari sudut pandang teologi Islam klasik, kita melihat dua kubu utama dalam memahami takdir: golongan Jabariyah yang menekankan predestinasi absolut, dan barisan Qadariyah yang menegaskan kebebasan manusia secara canggung. Posisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti yang dirumuskan oleh Al-Maturidi dan Al-Ash’ariy, mencoba menengahi kedua ekstrem ini dengan konsep kasb (perolehan), di mana Tuhan menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia memiliki peran dalam mengakuisisi dan memilih tindakannya.

Namun, bagaimana kita memahami konsep ini dalam cahaya perkembangan ilmu pengetahuan kiwari? Dengan hadirnya penelitian dalam bidang neurosains, seperti yang dilakukan oleh Benjamin Libet, serta pandangan metafisik yang ditawarkan oleh Fritjof Schuon (Syeikh Isa Nuruddin), kita semakin melihat bahwa takdir dan kehendak bebas bukanlah hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari realitas yang lebih dalam.

Neurosains dan Ilusi Kebebasan

Penelitian Benjamin Libet dalam bidang neurosains kognitif pada medio 1980-an, mengungkapkan bahwa, sebelum seseorang menyadari suatu keputusan, otaknya telah terlebih dahulu membuat keputusan tersebut. Studi Libet menunjukkan adanya readiness potential (potensial kesiapan) di dalam otak yang muncul sekitar 350-500 milidetik sebelum seseorang secara sadar memilih tindakan tertentu. Hal ini menimbulkan polemik mendalam yang kian pelik: apakah kehendak bebas hanya ilusi? Jika otak telah memutuskan sebelum kita sadar, apakah kita benar-benar memilih?

Baca juga:  Tadarus Rumi Bareng Haidar Bagir

Namun, dalam refleksi lebih lanjut, penelitian ini tidak serta-merta membatalkan konsep kehendak bebas. Libet sendiri menemukan bahwa manusia memiliki “waktu veto”—sebuah interval pendek setelah keputusan otak terbentuk tetapi sebelum tindakan dilakukan, di mana kesadaran dapat membatalkan tindakan tersebut. Ini berarti bahwa meskipun banyak keputusan terjadi secara tidak sadar, kesadaran masih memainkan peran dalam penyaringan keputusan akhir.

Lebih jauh lagi, perdebatan seputar kehendak bebas tidak hanya bersandar pada mekanisme biologis, tetapi juga melibatkan dimensi filosofis dan etis. Kesadaran manusia, dengan kapasitas reflektifnya, memungkinkan adanya ruang untuk menimbang, mempertanyakan, dan pada akhirnya merevisi dorongan-dorongan impulsif yang muncul. Dalam hal ini, kehendak bebas dapat dipahami sebagai sebuah proses berlapis yang melibatkan interaksi kompleks antara determinasi biologis dan kapasitas sadar untuk mengarahkan tindakan.

Meskipun penelitian Libet membuka wawasan baru tentang keterbatasan kehendak bebas, ia juga memperlihatkan bahwa kebebasan manusia tidak sepenuhnya lenyap. Justru, pemahaman ini menempatkan kesadaran sebagai penjaga gerbang antara dorongan bawah sadar dan tindakan nyata, memperkuat pandangan bahwa kebebasan manusia, meskipun terbatas, tetap memiliki peranan signifikan dalam membentuk pilihan-pilihan hidup.

Perspektif Sophia Perennis tentang Takdir

Syeikh Isa Nuruddin, seorang tradisionalis cum penjelajah metafisika asal Swiss, yang juga murid kinasih Syeikh Muhammad ibn al-Habib dari Tarekat Syadziliyah-Darqawiyah di Maroko, menyodorkan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana predestinasi dan kehendak bebas dapat dipahami secara harmonis. Dalam manifes spiritualnya, Transcendence Unity of Religions (1948), ia menyatakan:

“Contoh lain dari keterbatasan akal manusia ketika hanya mengandalkan dirinya sendiri adalah, persoalan takdir. Gagasan tentang takdir sebenarnya hanyalah cara manusia yang tidak mengetahui hakikat Tuhan dalam menjelaskan Pengetahuan Ilahi—di mana segala kemungkinan telah terangkum secara sempurna dan serentak, tanpa batasan apa pun.

Dengan kata lain, jika Tuhan Maha Mengetahui, maka Dia sudah mengetahui semua kejadian di masa depan—atau lebih tepatnya, kejadian-kejadian yang tampak sebagai masa depan bagi makhluk yang terikat oleh waktu. Jika Tuhan tidak mengetahui hal-hal ini, maka Ia tidak bisa disebut Maha Mengetahui. Namun, begitu Tuhan mengetahui kilasan kejadian itu, maka dari sudut pandang manusia, rangkaian kejadian tersebut tampak seperti sudah ditentukan sebelumnya.

Kehendak bebas manusia tetap ada selama ia memiliki realitas. Jika manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan, maka keberadaannya pun kehilangan makna. Namun dibandingkan dengan Kebebasan Mutlak Tuhan, kebebasan manusia tidaklah nyata—atau lebih tepatnya, sama sekali tidak ada.”

Baca juga:  KH. Bisri Syansuri, Pejuang Gender di Pesantren 

Dalam pengertian ini, Syeikh Isa mengajukan bahwa kebebasan individu hanyalah relatif terkait hubungannya dengan kebebasan mutlak Tuhan. Kehendak manusia ada dan nyata, tetapi ia merupakan pantulan dari kebebasan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, tindakan manusia adalah realisasi bertahap dari segala kemungkinan yang telah ada dalam Ilmu Tuhan. Tak berhenti sampai di situ, ia juga melebarkan gagasannya terkait predestinasi demi memuaskan hasrat keingintahuan manusia.

“Dari sudut pandang manusia sebagai individu, kehendak bebas itu nyata sejauh ia mengambil bagian dalam Kebebasan Ilahi. Kebebasan individu mendapatkan seluruh realitasnya dari Kebebasan Ilahi, karena ada hubungan sebab-akibat di antara keduanya. Maka, kebebasan—seperti semua kualitas positif lainnya—pada hakikatnya bersifat Ilahi. Namun, dalam diri manusia, kebebasan menjadi sesuatu yang terbatas, karena tidak sepenuhnya mencerminkan hakikatnya sendiri. Ini mirip seperti pantulan matahari di permukaan air: pantulan itu sama dengan matahari, bukan sebagai pantulan, melainkan sebagai cahaya—sebab cahaya pada dasarnya satu dan tak terbagi.”

Selain menggunakan analogi cahaya matahari dan air tersebut, Syeikh Isa juga menggambarkan hubungan antara kehendak bebas dan takdir dengan permisalan cairan yang mengisi cetakan:

Hubungan metafisik antara predestinasi dan kebebasan dapat diilustrasikan dengan membandingkan kebebasan dengan cairan yang mengalir dan mengisi setiap lekukan sebuah cetakan, di mana cetakan itu mewakili predestinasi. Dalam hal ini, pergerakan cairan setara dengan pelaksanaan kehendak kita secara bebas.”

Keagungan Tuhan yang tak Tercandra

Keberadaan manusia dan seluruh perjalanan hidup kita, sebenarnya merupakan bagian utuh dari pikiran Ilahi. Artinya, hidup kita adalah kemungkinan yang telah ditetapkan, yang ada hanya sebagai dirinya sendiri. Kemungkinan ini merupakan ungkapan dari keharusan mutlak keberadaan segalanya, sehingga setiap kemungkinan adalah bagian dari satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Menyatakan bahwa siklus hidup individu termuat dalam Akal Ilahi, sama artinya dengan mengatakan bahwa setiap kemungkinan termasuk dalam totalitas kemungkinan. Inilah jawaban tegas atas persoalan predestinasi.

Kehendak individu muncul sebagai proses yang secara bertahap mewujudkan keterkaitan antara berbagai kemungkinan awal. Dengan kata lain, hidup kita adalah rangkaian pengejawantahan dari semua kemungkinan yang menyertainya. Melalui kehendak, kita secara bertahap menampilkan manifestasi kosmik yang sudah ada secara bersamaan—individu menelusuri kembali kemungkinan awal yang menyusun dirinya, yang menempati posisi penting dalam hierarki kemungkinan. Semua itu didasarkan pada keharusan mutlak dari segala kemungkinan yang berasal dari Tuhan.

Baca juga:  Islam Memuliakan Perempuan, Berikut Penafsiran Al-Qur'an, Hadis, dan Pendapat Para Ulama

Dalam pandangan ini, kehidupan seorang manusia tidak hanya merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi secara mekanistik, melainkan sebuah siklus yang utuh di mana setiap kemungkinan dan pengejawantahan terhubung dalam satu tatanan kosmis. Setiap tindakan dan keputusan, meskipun dipengaruhi oleh mekanisme otak yang telah “diprogram,” juga merupakan partisipasi relatif kita dalam purwarupa universal kebebasan. Dengan kata lain, kita hidup dalam ruang di mana takdir—yang telah ditetapkan oleh aturan Ilahi—dan kehendak bebas kita, sebagai ekspresi dari partisipasi itu, bersinergi untuk menciptakan manifestasi kehidupan yang sempurna sekaligus dinamis.

Meski eksperimen Libet menyiratkan bahwa keputusan telah “ditulis” secara biologis sebelum kita sadar, esensi kebebasan memilih tetap berdenyar. Takdir, menurut Syeikh Isa, menyediakan kerangka yang memastikan alam semesta berjalan sesuai aturan Ilahi, sementara kehendak bebas memberi kita kesempatan untuk menanggapi dan menafsirkan aturan tersebut dengan kreativitas serta inisiatif. Dibalik setiap mekanisme otak yang “diprogram,” terdapat ruang bagi jiwa untuk menemukan cahaya dalam kegelapan.

Perjalanan hidup ini mengajarkan bahwa takdir dan kehendak bebas bukanlah perkara yang kisruh, namun merupakan pasangan dalam satu simfoni yang memesona. Ilmu pengetahuan dan spiritualitas sejatinya bersinergi, mengajak kita untuk mengenal diri dan menyelaraskan setiap tindakan dengan tatanan Ilahi yang lebih agung.

Takdir bukanlah rantai yang membelenggu, tetapi kanvas besar tempat kita melukiskan perjalanan hidup dalam keabadian Tuhan. Kehendak bebas bukanlah mitos, melainkan kemampuan kita untuk menyelaraskan diri dengan harmoni agung yang telah ditetapkan oleh Hyang Maha Mengetahui. Dengan memahami kedua aspek ini secara lebih mendalam, kita bisa menjalani hidup dengan lebih bijaksana—memafhumi bahwa kita memiliki pilihan, tetapi pilihan itu harus kita arahkan sesuai dengan cahaya kebijaksanaan yang paripurna.

Kita memang bergerak dalam batasan yang telah ditentukan, tetapi dalam batasan itu, kita masih memiliki ruang untuk memilih dan menentukan jalan hidup sendiri. Sebagaimana yang digaungkan Al-Qur’an kepada umat manusia, pasca pentransmisiannya di Makkah dan Madinah selama 23 tahun era kenabian terakhir di bumi. []

Maka sesiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan sesiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. al-Kahfi [18]: 29).

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Matahari [91]: 8)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top