Seorang lelaki bernama Dzi’lib al-Yamani bertanya pada Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu:
“Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amirul Mukminin?”
Imam Ali RA pun menjawab.
“Mungkinkah aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” cecar Dzi’lib.
“Dia takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh matahati yang sarat hakikat keimanan. Dia dekat dari segalanya tanpa sentuhah. Jauh tan jarak. Berbicara tanpa berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi tak teraih. Melihat tapi tak bersifat indrawi. Maha-penyayang tapi tak bersifat lunak. Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetar karena ketakutan terhadap-Nya. Dia yang Manunggal, telah melukiskan Diri-Nya Sendiri. Dia ada sebelum segala sesuatu tanpa permulaan. Dia akan tetap ada setelah segala sesuatu, dan akan berada tanpa akhir. Dia terlampau amat Besar untuk membiarkan keilahian-Nya dibuktikan dengan hati atau mata yang meliput.”
Uraian tersebut berhenti begitu saja. Imam Ali bin Abi Thalib RA, dalam Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan), tak melanjutkan penjabarannya pada Dzi’lib terkait apa yang ia tanyakan. Sejatinya, pertanyaan itu juga masih menggelayuti alam pikiran orang-orang beragama hingga detik ini. Termasuk diri kita sendiri.
Paling tidak, sebelum Dzi’lib, sudah ada tiga orang nabiyullah yang tercatat sejarah pernah berupaya melakukannya. Mereka adala Nabi Idris AS (yang kemudian mukim di Surga dan tidak wafat di dunia), Nabi Ibrahim AS, serta Nabi Musa AS. Riwayat para nabi besar itu takkan kami sertakan dalam tulisan sederhana ini, sebab bukan itu tujuan utama yang ingin kami ketengahkan.
Dalam Alquran, ada sebuah petunjuk khusus terkait subjek kajian ini. Kami hanya menukil satu ayat saja dari sekian banyak lainnya yang memberi peta jalan rahasia bagi mereka yang menahbiskan diri sebagai anak-anak waktu.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, dan Dia bersamamu di mana saja engkau berada, dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al Hadid [57]: 4)
Agama yang kita warisi hari ini, tereduksi sedemikian parah. Berhenti pada hafalan; katanya; ancaman; dosa (rugi); pahala (untung); klaim tunggal kebenaran; saling menyalahkan; pengafiran; dan penyesatan. Lebih ajaib lagi, semua itu dilakukan tanpa pemeriksaan mendalam pada dogma dan doktrin agama. Kita bahkan sama sekali tak peduli soal bagaimana keimanan itu bisa diterbitkan dari keyakinan—bukan kerana keturunan belaka.
Perilaku demikian tak ubahnya seperti seorang pemuda yang tergila-gila pada identitas Layla tapi tiada pernah menyawang wajahnya, tak tahu di mana kediamannya, anak siapakah ia, dan atribut apa saja yang menempel pada diri si pemilik nama—termasuk jenis kelaminnya. Pemuda kita, malah muntab bila kawan-kawannya mencibir pujaan hatinya itu. Bahkan, ia sanggup memutus tali silaturahim dengan saudara kandung sendiri.
Bagi pemuda kita, hanya Layla saja yang pantas baginya. Semua nama lain tak ada dalam benaknya. Bahkan ia menganggap, Layla belaka satu-satunya pusat dari segala hasrat dan impian berbahagia. Ia bahkan tak tertarik mencari keberadaan Layla. Sampai suatu saat, pemuda malang ini tumpas oleh waktu. Orang-orang datang bertakziah untuk jenazahnya, dan mereka saling membicarakan Layla. Namun apa lacur, yang ditunggu tak jua hadir. Layla tak pernah ada, atau sejatinya memang ada.
Mereka semua yang hadir, tak tahu jawabannya. Tentu, termasuk pemuda nestapa itu. Tamsil ini memang tak terlampau tepat dinisbahkan pada Allah. Tapi setidaknya, begitulah gambaran umum orang beragama pada zaman edan ini. Mereka yang beragama atau tidak, yang bertuhan atau antituhan, nyaris tak ada bedanya. Agama, tinggal jadi artefak dari masa lalu yang terus menerus diperkosa, dikebiri, dilanun, dinistakan hingga ke titik nadir peradaban. []
9 Juli 2018