
Lagu legendaris besutan Queen ini pertama kali berseliweran di telinga saya, setelah tigabelas tahun beredar di belantika musik dunia. Saya yang baru saja duduk di bangku SD kelas 1, mendapatkan kemewahan audial itu dari bibi kami yang berprofesi sebagai wartawan surat kabar ternama di Medan. Sebagai bocah kentir yang baru mulai melek dunia, saya hanya bisa termangu kala mendengar lagu itu menggelegar di seantero rumah nenek. Sebelum benar-benar paham siapa Freddie cs, saya hanya bisa mengaosiasikan mereka dengan sebuah poster dari sampul A Night at The Opera (31/10/1975) yang imajinatif.
Satu lagi, empat potong wajah yang disusun bertingkat dalam video klip Queen, rupanya tetap menjadi yang terbaik hingga saat ini. Karya mereka terlampau jauh melintasi zaman. Hasil dari perpaduan sempurna antara Freddie Mercury yang jenius, dengan Brian May yang astrofisikawan. Tak tanggung-tanggung, sebagai penghargaan atas jasanya, sebuah asteroid dinamai 26668 Brianmay oleh kalangan ilmiah dunia. Kini, setelah selama setengah abad lagu itu mengudara, saya terpanggil merayakannya untuk dipersembahkan kepada para pencari kesejatian diri.
Dari dentingan piano pertama yang menyayat hingga ledakan gitar yang mengguncang langit-langit kesadaran, Bohemian Rhapsody adalah pertapaan sonik—ruang di mana Freddie mengukir pergulatan jiwa manusia dengan pahat melodi. Lagu ini bukan sekadar komposisi, melainkan peta buta yang menuntun kita menyusuri labirin gelap-terang eksistensi. Dalam perspektif Scientia Sacra (Ilmu Suci), ia adalah cermin yang memantulkan jalinan mistik antara yang fana dan yang kekal, dirajut dalam notasi rock yang memikat.
Dalam Bohemian Rhapsody, Freddie Mercury mengubah Faust menjadi alter egonya sendiri—seorang seniman yang menjual fragmen jiwanya demi kebebasan kreatif, hanya untuk menemukan bahwa kebebasan itu adalah sangkar emas. Kisah Faust bukan sekadar dongeng Jerman abad ke-19. Ia adalah alegori abadi tentang jiwa manusia yang terjepit antara hasrat untuk menguasai dunia dan kerinduan untuk menyatu dengan Yang Tak Terbatas.
Ketika Freddie menulis, “Mama, just killed a man“, ia sedang memenggal versi lamanya: Farrokh Bulsara, nama aslinya, seorang pemuda Parsi pendiam yang terbelenggu tradisi dan rasa malu. Pembunuhan ini adalah ritual simbolik alkemi: membakar “timah” identitas usang untuk menempa “emas” persona Freddie Mercury—sang ikon androgini yang berani. Tapi seperti Faust yang menandatangani kontrak dengan darah, Freddie pun harus membayar mahal. Mephistopheles, si iblis dalam cerita Goethe, tak datang dengan tanduk dan ekor. Ia menyamar sebagai bayangan Mercury sendiri: gemuruh jutaan tepuk tangan penonton yang adiktif, gemerlap panggung yang mengikis batas antara realita dan ilusi, bahkan bisikan paranoid, “Apakah mereka mencintaiku, atau hanya persona ini?”
Di sini, Mephistopheles adalah suara yang merayapi relung gelap jiwa. Ia bukan entitas di luar diri, melainkan nafsu lawamah—nafsu yang menggoda dalam terminologi Sufi. Saat Freddie melengkingkan “Put a gun against his head, pulled my trigger, now he’s dead“, itu bukan adegan kriminal, tapi pengakuan bahwa ia telah “menembak” keraguan, rasa tidak layak, dan keterikatan pada masa lalu. Tapi seperti Faust yang seketika menyesal setelah menandatangani kontrak dengan Iblis, Freddie pun terperangkap dalam lingkaran setan: persona barunya yang flamboyan justru menjadi topeng yang mengasingkannya dari hakikat diri.
Solo gitar Brian May di tengah lagu adalah monolog jiwa yang terbelah. Setiap not yang diciptakan dari senar gitarnya seperti kilatan pedang Zulfikar—memotong ilusi, mengajak Freddie (dan pendengar) untuk bertanya: “Haruskah aku terus berlari dalam topeng ini, atau berani menghadapi bayang-bayangku sendiri?” Nada-nada itu bergerak spiral, naik-turun seperti tangga Yakub dalam mimpi alkitabiah: kadang mendekati pencerahan (“Is this the real life?”), kadang terjungkal ke jurang keraguan (“I sometimes wish I’d never been born at all“).
Tapi Mephistopheles tak pernah tidur. Dalam adegan opera yang kacau, Iblis itu menyelinap lewat harmoni vokal yang saling bertabrakan. Teriakan “Scaramouche, Scaramouche!” adalah ejekannya—Scaramouche, tokoh pengecut dalam komedia Italia, menjadi simbol alter ego Freddie yang rapuh. Sementara bisik-bisik “I’m just a poor boy, nobody loves me” adalah racun keraguan yang diteteskan Iblis ke telinga manusia, dan bersarang di dada.
Namun, di puncak kegelapan, muncul seruan dari langit: “Bismillah!”. Dalam konteks Faust, ini adalah lonceng gereja yang menghentikannya dari bunuh diri—suara Ilahi yang memanggil jiwa untuk pulang. Bagi Freddie, Bismillah adalah penolakan final terhadap perjanjian dengan Mephistopheles. Ia memilih untuk tidak jadi tuhan panggung yang kesepian, tapi manusia yang rapuh namun otentik.
Adegan ini mengingatkan pada dialog antara Rumi dan Syams Tabrizi:
“Apa yang lebih berbahaya: Iblis atau nafsu?”
“Nafsu. Karena Iblis bisa kauusir dengan Bismillah, tapi nafsu adalah iblis yang bersemayam dalam nadimu sendiri.”
Freddie, seperti Faust, akhirnya sadar bahwa Mephistopheles bukan musuh di luar—tapi bayangan yang harus dieluk-elukkan. Kematian simboliknya dalam lagu bukan akhir, melainkan kelahiran kembali: dari Farrokh yang terbelenggu, menjadi Freddie Mercury yang merdeka, lalu akhirnya menjadi Fana—jiwa yang melebur dalam keabadian musik.
Di sini, Bohemian Rhapsody adalah panggung bayangannya Jacques Lacan dalam bentuk sonik: saat Freddie (dan kita semua) becermin pada lagu ini, yang terlihat bukan wajah, melainkan pergulatan antara persona dan diri sejati. Seperti kata Goethe di akhir Faust: “Jiwa yang selalu berjuang, akan kami selamatkan.” Freddie berjuang lewat musik—dan dalam perjuangan itulah, ia seolah menemukan penebusan.
Enam Gerbang Suara: Dari Doa ke Penyerahan
Struktur lagu Bohemian Rhapsody yang terpecah enam bagian adalah ritual inisiasi. Bagian a cappella pembuka bagai zikir tanpa kata, mengajak pendengar masuk ke ruang sakral. Lalu piano Freddie mengalun, mengisahkan ratapan anak manusia yang kehilangan arah. Di bagian opera, kekacauan mencapai puncak: teriakan “Bismillah!” (Demi nama Allah) bertabrakan dengan ejekan Iblis, “So you think you can love me and leave me to die?”. Di sini, semua agama bertemu: seruan (Arab) Bismillah berpadu dengan figur Mephistopheles dari Kristiani, sementara harmoni vokal Queen menyerupai koor Gregorian. Ini bukan kebetulan—Freddie, dengan darah Parsi-Zoroastrian-nya, sedang merajut benang-benang iman manusia menjadi satu permadani universal.
Ketika kata “Bismillah!” meledak, ia adalah kilatan terang di tengah malam. Dalam tradisi Islam, frasa ini adalah perisai spiritual, pengingat bahwa segala sesuatu bermula dari nama Ilahi. Tapi bagi Freddie, ini juga tamparan pada Mephistopheles: penolakan untuk menyerahkan jiwa. Bagian opera yang kacau-balau setelahnya adalah perang kosmis—drum Roger Taylor yang menggema seperti genderang perang malaikat, sementara cabikan bass John Deacon membahana bagai nafas semesta yang terus-menerus berhembus.
Saat Freddie menyebut “Figaro, Magnifico”, ia tak hanya menghormati Mozart dan Bach. Ini adalah lelucon sakral: simbol bahwa seni tinggi (opera, klasik, rock) adalah bahasa universal untuk menyentuh Yang Ilahi. Figaro, tokoh pelayan cerdik dalam opera Mozart, adalah metafora jiwa manusia yang licik tapi polos. Sementara Magnifico (yang agung) merujuk pada pujian Bunda Maria dalam tradisi Katolik—dua kutub yang disatukan dalam satu helaan napas.
Di bagian akhir, semua ledakan mereda. Freddie berbisik “Any way the wind blows…”, seperti daun yang menyerah pada angin takdir. Tapi ini bukan kekalahan. Dalam Ilmu Suci, penyerahan diri (taslim) adalah puncak kebijaksanaan. Angin yang ia sebut adalah Ruh al-Quds (Ruh Kudus), kekuatan Ilahi yang menggerakkan semesta. Kematian simbolik Freddie dalam lagu adalah fana—peleburan diri ke dalam keabadian.
Lima puluh tahun sudah, Bohemian Rhapsody tetap lestari karena ia adalah cermin retak yang memantulkan pergulatan batin setiap manusia: perang melawan diri sendiri, pencarian cahaya dalam kegelapan, dan kerinduan akan makna. Setiap kali kita mendengar lagu ini, kita seperti ikut serta dalam ibadah agung—ritual di mana gitar adalah dupa, vokal adalah mantra, dan hentakan drum adalah detak jantung kosmos.
Seperti kata Rumi, “Dengarkan suara buluh seruling, yang mengeluh karena telah tercerabut dari akarnya.” Freddie adalah buluh itu. Melalui Bohemian Rhapsody, ia membunyikan keluh kesah jiwa yang terpisah dari Sang Sumber—sebagaimana suara kita semua yang mengembara dalam keabadian Tuhan. Itulah gita semesta yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang mendengar. Demikianlah pesan tersirat yang hendak disampaikan al-Qur’an. []