Sedang Membaca
Bencana Kepandiran Manusia
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Bencana Kepandiran Manusia

Pebisnis sejati mendapatkan uang dengan mengatasi masalah orang lain. Dari banyak tantangan, saya rasa yang paling menantang itu adalah pendidikan. Bahkan sampai saat ini, universitas terbaik di dunia akan menghadapi hal yang sama. Karena semua yang kita ajarkan pada anak-anak adalah hal yang biasa selama dua dekade terakhir. Apa yang kita ajarkan pada mereka, akan dikerjakan juga dengan sangat baik oleh robot-robot.

Kita harus mengajarkan anak-anak untuk menang dari robot itu, maka mereka tidak akan terkalahkan. Ini adalah keyakinan saya. Robot hanya punya chip, tapi manusia memiliki hati! Jadi saya rasa kita harus mengubah sistem pendidikan kita. Di masa mendatang, ini bukan lagi soal kompetisi tentang ilmu siapa yang paling pintar, akan tetapi ini kompetisi imajinasi tentang siapa yang paling kreatif. Ini adalah kompetisi untuk belajar dan berpikir dengan merdeka. Karena jika Anda berpikir seperti menggunakan cara yang sama dengan mesin, masalah akan segera datang.

Dua dekade ini, kita membuat manusia berpikir seperti mesin. Dua puluh tahun mendatang, mesin akan mempunyai kemampuan seperti manusia. Jadi pada masa itu, bukan lagi ilmu yang menjadi penggerak, namun pengalaman.

Kisah di atas merupakan kegelisahan Jack Ma, CEO Alibaba yang saya nukil dari Harian South China Morning Post (http://www.scmp.com/). Nuansa dari catatan peradaban itu senyawa dengan masa depan umat manusia (homo deus). Seturut temuan riset Global Health Observatory Data Repository pada 2012, ada 56 juta orang mati di seantero dunia. 600 ribu di antaranya akibat kekerasan manusia (perang membunuh 120 ribu orang, dan kejahatan membunuh 500 ribu lainnya). Bandingkan dengan 800 ribu orang yang melakukan bunuh diri, dan 1,5 juta orang mati lantaran diabetes. Ternyata gula lebih “mematikan” ketimbang bubuk mesiu.

Baca juga:  Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?

Berdasar laporan Global Burden of Diseas, Injuries and Risk Factors Study, pada 2014, lebih dari 2,1 miliar orang kelebihan berat badan. Tiga juta di antaranya sudah padam pada 2010. Sementara ada 850 juta orang yang menderita gizi buruk. Sejuta dari mereka wafat mengenaskan. Anda mengerti sampai di sini? Diabetes menelan korban manusia lebih banyak daripada perpaduan gizi buruk dan kelaparan.

Artinya, manusia mengelola makanan-minuman sekelas sampah, untuk membunuh dirinya sendiri secara sengaja, demi merawat gengsi.

Inilah era di mana pengetahuan adalah kampiun peradaban. Kekuatan utama yang bisa mengubah logika jadi bom waktu dalam perangkat lunak data-informasi, dan sanggup mengobrak-abrik sebuah negara hanya dengan sekali tekan tombol. Dua puluh tahun silam, Rwanda terpaksa mencaplok coltan dari Kongo, yang memiliki delapan puluh persen cadangan logam bahan pembuat ponsel dan laptop itu. Hasil dari harta jarahan tersebut, Rwanda meraup untung $240 juta dollar setiap tahun.

Memasuki millenium ketiga, China tak perlu sekasar Rwanda demi meraih kejayaan ekonomi dan teknologi. Mereka tak perlu menduduki lembah silikon di California, USA. Sebaliknya, perusahaan teknologi informasi China cukup berdagang secara damai nan cerdas dengan Apple dan Microsoft. Lalu mereka menangguk untung yang sama dengan Rwanda, hanya dalam satu hari. Xiaomi, Vivo, Oppo, Lenovo, dan Huawei, telah membuktikannya.

Terorisme juga melakukan hal yang sama. Sejak 2012, aksi teror telah menelan korban 7.696 orang di seantero dunia. Sila Anda bandingkan sendiri dengan efek mematikan dari diabetes. Bagi rerata warga Amerika dan Eropa, McDonald atau Coca-Cola jauh lebih membahayakan ketimbang al Qaeda, pun ISIS. Para teroris tak ubah seperti lalat di warteg. Mereka masuk ke dalam telinga banteng dan alhasil, warteg pun bubrah. Aksi teror hanya melipatgandakan ketakutan manusia modern dengan menggunakan pengaruh media massa. Mereka seperti sedang membuat pertunjukkan kecil dengan skala luar biasa besar.

Baca juga:  Pengaruh Polemik Nasab terhadap Pilihan Teks Maulid

Senjakala Sekolah Kita

Sejak Paulo Freire (1921-1997) mengenalkan filsafat pendidikan pada masyarakat modern, tampaknya perubahan tak terlalu kentara di dunia ketiga. Negara berkembang kerap jadi bulan-bulanan Amerika dan anteknya di Eropa. Kolonialisme Abad ke-17 terus disalin rupa jadi liberalisme ekonomi. Kini kita mengenalnya dengan sebutan yang agak keren: pasar bebas! Di titik inilah petaka pendidikan kita bermuara.

Sekolah tak lagi berdaya guna bagi para siswanya. Universitas hanya sekadar kamuflase menjaring kelas pekerja. Mahasiswa berpredikat summa cum laude dari fakultas eksak sekali pun, kadang bernasib lebih tragis ketimbang rekan seangkatan mereka, yang indeks prestasinya di bawah angka dua.

Sebagian mahasiswa cerdas-jenius ini mati bunuh diri. Putus asa dengan dirinya yang jadi anomali di masyarakat. Bahkan sudah jadi pemahaman umum, seorang sarjana tak tahu cara menerapkan ilmunya dalam kehidupan. Mereka kehilangan arah sedari dalam diri sendiri.

Cara kita menganggit pengetahuan hari ini, berbeda jauh dengan para pendahulu. Hidup yang serba mudah, membuat kita sulit memahami bahwa segala sesuatu ada awal dan tujuannya. Anak-anak manusia yang lahir, jelas membutuhkan bekal bagi hidup mereka. Tak semua kita bakal jadi pemimpin. Tak semua kita harus jadi insinyur. Tak semua. Hidup yang pusparagam begini, tak bisa didekati dengan pola dan pendekatan seragam. Sekolah, harusnya menggunakan pemahaman begini dalam proses belajar-mengajarnya.

Anak-anak didik berperangai tak lazim, bisa serta-merta didepak dari sekolah lantaran dianggap mengganggu ketenangan belajar. Hanya segelintir pesantren yang masih mau menerima santri paling nakal, onar, dan banyak polah, lantas mengarahkan bakat mereka sedemikian rupa. Sekian belas tahun kemudian, ternyata mereka sudah mendirikan pesantren dan jadi kiai yang disegani.

Sekolah atau kampus yang gagal mengerti keunikan potensi manusia, baru menyadari kesalahannya beberapa tahun kemudian, pasca-menjatuhkan keputusan sepihak pada anak-anak jenius yang luar biasa sulit dikendalikan. Gus Dur, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg, para teladan terbaik dalam anekdot kita ini.

Pendidikan adalah harapan, perjuangan, dan perlawanan pada ketidaktahuan kita akan kondisi nyata kehidupan. Jika kita tahu apa yang sejatinya diketahui, maka hasilnya adalah pengetahuan. Belajar itu menembus batas. Bahkan tak berhenti sampai liang lahat. Semua kita tumbuh secara usia, kejiwaan, logika berpikir, keyakinan, dan spiritualitas. Pada puncak pencapaian itu, kita akan mengerti untuk apa semua ini diadakan tuhan.

Baca juga:  Bani Syarqawi: Sebuah Ruling Elite Berbasis Pesantren

Kedigdayaan sains dan industri modern menghadirkan revolusi baru dalam hubungan manusia dengan alamnya. Saat Revolusi Agrikultur, umat manusia membungkam binatang dan tetumbuhan, lalu mengubah opera besar semesta jadi sebuah dialog antara manusia dan tuhan. Kala Revolusi Saintifik, umat manusia malah membungkam tuhan juga. Dunia sekarang menjadi sebuah pentas tunggal manusia. Antroposen. Kita berdiri kesepian di panggung yang kosong, berbicara pada diri sendiri, lantas meraih kekuatan besar tanpa tanggung jawab apa pun. Setelah mengejawantahkan hukum bisu fisika, matematika, kimia, dan biologi, manusia kini memperlakukan semua di sekitarnya seenak jidat sendiri.

Sebagai pewaris sah kehidupan dunia kita hari ini, umat Islam jelas menanggung beban yang sama besar dengan penganut agama lain–dan siapa pun mereka yang tiada beragama, pun bertuhan. Jika harus menjadi rahmat bagi semesta alam, lantas apakah yang bisa kita lakukan? Bagaimanakah cara mewujudkan Islam agama perdamaian itu? []

29 Juni 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top