Sedang Membaca
Arab Dibawa, Jawa Dibawa
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Arab Dibawa, Jawa Dibawa

Duduk sareng Mang Ojos di pedestrian Jalan Pungkur, Bandung, menerbitkan kesan khusus dalam diriku. Lelaki paruh baya ini, seorang pedagang warung klontong. Senyumnya renyah. Ia wujud perpaduan kebudayaan bangsa Arya dengan dunia kiwari (kita tidak perlu bicara Agnez Mo yang sebetulnya hanya ingin pamer rambut)

Persis seperti Raden Mas Panji Sosrokartono yang semasa hidupnya mukim di rumah–yang kami tongkrongi dan kini telah beralih menjadi apotik. Tokoh kita ini, adalah “Putra Indonesia yang Besar,” demikian tahbis Bung Karno. Ia berhasil mempertahankan khazanah kebudayaan dalam dirinya, tanpa kehilangan spirit zaman yang sedang ia lalui. Berbanding terbalik dengan orang masa kini yang kadung kecanduan heroin bernama internet dan ponsel pintar.

Kota Priyangan sore itu dingin menyejukkan. Di jalan raya yang lebar, sesekali tampak olehku dokar melintas membawa satu-dua orang Belanda totok. Beradu cepat dengan sebuah kereta trem. Beberapa warga setempat sedang berjalan tergopoh, memikul hasil bumi yang akan mereka jajakan di pasar Pondok Kelapa.

Rumah Darussalam yang kusambangi itu, belum lama dibuka oleh seorang Pangeran Jawa yang Tampan. Ia baru saja kembali dari pengelanaannya di Eropa selama 28 tahun. Di balai pengobatan ini, orang jamak mengenalnya dengan panggilan Eyang Sosro, Pak Klungsu, atau Mandor Klungsu. Perawakannya kurus tinggi langsing. Dandanannya khas Jawa. Blangkon, surjan, jarik, dan selop kulit.

Setelah diperkenan masuk, aku mengapurancang di hadapan Eyang. Berharap kaweruh begja yang mungkin akan meluncur dari kedua bibirnya yang tipis. Benar saja, beliau bertitah seperti ini.

“Ngger, zaman rudin begini, loba jalema ingkang kekendelen, ngluwihi kekuwatan. Banyak orang terlampau berani, melebihi batas dan kekuatan. Padahal mestine kabeh wong iku harus anteping ati, kencenging pikir, boboting kekuatan. Mantab hati. Kuat pikiran. Besar kekuatan. Kowe ojo koyok ngunu kuwi yo…”

Baca juga:  Santri sebagai Komunitas yang Terbayang

Demi mendengar pituah demikian, tertunduk pula kepalaku. Segera kuperbaiki posisi duduk menjadi swastikasana. Di hadapanku, Eyang Sosro mencangkung di kursinya, sembari memegang sebilah tongkat lurus. Sekira satu setengah meter panjangnya.

“Setelah kamu bisa deling. Kendel lan eling dengan prinsip bares, wani, manteb iku, jadilah pring podo pring, weruh podo weruh, eling tanpo nyanding. Sama-sama bambu, sama-sama melihat, ingat meski tidak dekat. Kabeh menungso kuwi seduluran. Semua manusia itu bersaudara. Mulailah bertirakat. Anglaras batos soho raos. Seimbangkan bathin dan rasamu. Ngoten.”

“Inggih, Eyang. Sendiko dawuh,” jawabku dalam lirih.

Sejenak kemudian, datang tiga orang menghadap Eyang Sosro. Dua di antaranya sedang memapah seseorang yang kuduga mengidap lumpuh total. Tanpa banyak bicara, ia mencelupkan jari telunjuknya ke dalam air yang mereka bawa dalam botol. Lalu meminumkannya pada orang malang itu. Demi jagat dewa Batara, si pesakitan berangsur pulih. Pelan dan pasti, ia mulai berdiri. Menggamit tangan Eyang. Menguluk sembah.

Kali ini aku sungguh benar membuktikan kabar angin yang kencang berhembus terkait Eyang Sosro. Ia terbukti penyembuh derita ribuan manusia. Kusaksikan itu dengan mata kepala sendiri. Usai menuntaskan tanggung jawab, ia menghampiriku lagi. Kali ini dalam posisi berdiri. Aku masih merunduk takzim. Tak berani berkata sepatah pun jua.

“Ngger, urip iku kudu ikhlas marang apa sing wis kelakon. Trimah apa kang dilakoni. Pasrah marang apa kang bakal ana. Ikhlaskan yang berlalu. Terima apa yang dijalani. Pasrahkan apa yang kan terjadi.”

Dalam hati aku membathin, bagaimana Eyang bisa tahu apa yang bergejolak dalam diriku…

Masih dalam berdiri. Eyang Sosro melanjutkan bicara. Sosoknya kian menawan dengan sikap demikian.
“Pada September 1899 dulu, semasa masih jadi mahasiswa semester pertama di Leiden, aku diundang bicara dalam kongres bahasa Belanda ke-25 di Gent, Belgia. Dalam forum terhormat itu, kusampaikan pada seluruh hadirin: selama matahari & rembulan masih bersinar, aku kan terus menantang dan jadi musuh siapa pun; dari bangsa-etnik apa pun, yang hendak membuat bangsa Nusantara jadi orang Eropa atau setengahnya, serta menginjak, menistakan, dan merendahkan tradisi-budaya kita yang luhur nan suci.”

Baca juga:  KH. Mas Mansur, Sapu Kawat dari Jawa Timur

Apa yang disampaikan Eyang itu, persis benar dialami muslim Indonesia masa kini yang kearaban. Ternyata dulu pernah terjadi hal yang nyaris sama.

“Ilingno, Ngger. Dadi wong Islam kuwi ora pati angel. Arabe diwoco. Jowone digowo. Ingat itu, Nak. Jadi orang Islam itu tak terlalu suli. Arabnya dibawa. Jawanya dibawa.”

Lagi-lagi Eyang tahu apa yang tebersit dalam pikiranku. Duh…

“Sungguh jauh dari maksudku untuk menjadikanmu orang Barat atau Arab. Pertama, sadarilah bahwa kamu itu orang Jawa. Tetap orang Jawi. Ti hiyang jawaita. Orang yang mukim di pulau nan berbahagia. Kamu bisa saja menguasai kemajuan orang Eropa, tanpa mengorbankan kepribadian & segala sifatmu. Kuasai bahasamu dan bahasa bangsa lain, bukan untuk menggantinya, tetapi memperkaya.”

“Saya mafhum dan mengerti, Eyang.”

“Apik. Tanaman membutuhkan air dan udara untuk tumbuh. Ia tidak berubah menjadi air atau udara, kerana ia tetap mengikuti arah pertumbuhannya semata.”

Sembari menuntaskan kalimat tersebut, Eyang menggamit sebuah bidak di papan catur yang sedang tergelar–dengan pembukaan gambit. Lawan mainnya, seorang pemuda perbawa berparas kembang. Eyang menyebutnya, Karno.

Pemuda Karno duduk di kursi beranyam rotan. Peci hitam yang ia kenakan, pas betul di kepalanya. Meski terlihat agak miring, tapi rupanya malah menambah kharisma. Kini ia mulai terlibat dalam permainan catur dengan Eyang Sosro. Suasana seketika hening.

Baca juga:  Empat Pantangan bagi Cerdik Pandai

Tak berapa lama, Eyang ngendika lagi. Tapi tanpa menatap ke arahku, pun ke pemuda itu. Seperti bicara sendiri.

“Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang. Belajarlah ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”

Dahiku pun mengernyit.

“Tansah anglampahi dados muriding agesang. Selalulah jadi murid kehidupan, sesama hidup. Kehidupan itulah sang guru, karena kehidupan juga mengajari kita.

Manakala Eyang Sosro dan pemuda Karno tengah asyik bermain catur, mataku merayapi seisi ruangan. Di dinding bagian atas ruang tengah, persis di ambang batas ruang depan dengan bagian belakang, terpasang sulaman huruf alif warna hitam dan biru muda.

Dua foto legendaris nan misterius berlatar gunung dan tergolong fenomenal–yang selama ini kucari, terpampang di tembok. Dijepret Eyang saat ia sudah kembali dari pengelanaannya di Eropa selama hampir tiga dekade. Ikhwal pernah menjadi wartawan perang dengan gaji termahal di bawah The New York Herald Tribune, Eyang masih sempat menulis semacam laporan perjalanan di Hindia tuk dimuat di media papan atas Amerika itu.

Ada yang ajaib dari dua foto tersebut. Eyang mengambilnya pada medio akhir 1920an. Belum ada helikopter–apalagi drone. Barangkali fotografer kampiun zaman kiwari sekalipun takkan sanggup menghasilkan foto macam begitu–kendati dilengkapi perabotan paling canggih. Pertanyaannya, bagaimanakah cara foto gasal tersebut bisa tercipta?

Setelah puas memandangi foto itu, kesadaranku kembali ke pesarean Eyang Sosro di Desa Sedomukti, Kudus. Suasana di pemakaman para trah raja Jawa dari Jepara ini, lampus belaka. Kebesaran anak manusia, purna jadi kenangan kebijaksanaan yang diperas waktu. Kendati begitu, hidup memang tak pernah benar-benar selesai tuk dimafhumi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top