Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Apakah Keimananmu Cuma Topeng? Saatnya Menggali Kegelapan Diri

Agamaku dan Bedug

Mengetahui sisi gelapmu sendiri adalah cara terbaik untuk menghadapi sisi gelap orang lain.”

– Carl G. Jung

Setiap manusia membawa “bayang-bayang” di dalam dirinya—sisi gelap yang kadang memicu rasa takut, malu, atau bersalah. Dalam psikologi analitis yang digagas oleh Carl Gustav Jung, bayang-bayang merupakan kumpulan aspek diri yang kita tolak atau sembunyikan. Ironisnya, semakin kita menekan atau mengabaikan sisi tersebut, semakin kuat pula dampaknya pada perilaku dan cara pandang kita. Keberanian untuk menyingkap sisi gelap diri membuka jalan bagi empati, karena dengan memahami dan menerima kelemahan sendiri, kita menjadi lebih mampu menghargai perjuangan batin orang lain.

Konsep “mengenal diri” serta “mengolah kegelapan” ini tidak hanya hadir dalam ranah psikologi modern. Tradisi spiritual kuno telah lama menekankan pentingnya proses internal untuk menyingkap dan mentransformasi sisi negatif dalam diri, dan mengajak kita untuk menjalani proses introspeksi mendalam—di mana pengakuan terhadap kekurangan dan kelemahan diri menjadi langkah awal menuju pertumbuhan batin.

Dalam tradisi Islam, proses penyucian jiwa dikenal dengan istilah tazkiyatun nafs. Tujuannya adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit batin seperti iri, dengki, kesombongan, dan dorongan destruktif lainnya. Prinsip dasar penyucian jiwa menekankan bahwa manusia diciptakan dengan fitrah yang murni, namun juga memiliki potensi untuk berbuat kesalahan (dhanb). Oleh karena itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara harapan (raja’), takut (khauf), dan cinta (mahabbah) kepada Allah sebagai landasan dalam mengolah sisi gelap diri.

Selain itu, konsep muhasabah (introspeksi) ditekankan secara mendalam. Al-Qur’an mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18). Ayat ini mendorong evaluasi diri secara rutin, menimbang perbuatan serta niat, dan memperbaikinya demi mencapai keseimbangan batin. Dengan cara ini, kita belajar untuk mengenali “kegelapan” dalam diri—kesalahan, kekhilafan, atau sisi negatif—sekaligus menguatkan kepekaan terhadap perjuangan batin orang lain.

Memasuki ranah tradisi pemikiran Islam yang lebih luas, tokoh seperti Ibn Hazm telah memberikan sumbangsih yang signifikan dalam memahami dimensi emosi manusia. Dalam karya-karyanya, terutama bidang estetika dan psikologi, Ibn Hazm menekankan bahwa emosi—termasuk sisi gelap seperti kerapuhan, kecemburuan, dan kemarahan—merupakan bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia. Ia mengajarkan bahwa dengan mengakui dan meresapi emosi-emosi ini secara jujur, seseorang dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat dirinya. Pendekatan Ibn Hazm mengajak kita untuk tidak mengesampingkan atau mengutuk sisi gelap, melainkan untuk mengintegrasikannya sebagai bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan batin.

Baca juga:  Belajar Hakikat “Bucin” dari Jalaluddin Rumi

Perennialisme, atau pemikiran yang mengakui adanya kebenaran universal yang mendasari seluruh tradisi spiritual, memberikan sudut pandang yang harmonis dalam menghadapi sisi gelap diri. Perspektif ini menegaskan bahwa meskipun ajaran dan praktik mungkin berbeda-beda, esensi dari perjalanan spiritual selalu mengandung upaya untuk menyatukan dan mengintegrasikan aspek terang dan gelap dalam diri. Dengan menyadari bahwa setiap tradisi—baik psikologi kiwari ala Jung, penyucian jiwa dalam Islam, maupun ajaran Vedanta—menekankan pentingnya pengenalan dan penerimaan bayang-bayang, kita diajak untuk melihat kegelapan bukan sebagai musuh yang harus dilawan, melainkan sebagai cermin yang mengungkapkan potensi pertumbuhan dan kebijaksanaan.

Dengan mengenali kelemahan diri, kita menjadi lebih rendah hati dan sadar bahwa setiap orang sedang berjuang dengan nafs (dorongan-dorongan batin) masing-masing. Hal ini menumbuhkan empati dan mencegah kita untuk mudah menghakimi orang lain. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Muslim yang kuat bukanlah yang kuat fisiknya, tetapi yang mampu menahan diri ketika marah.” Hadits ini menekankan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan mengendalikan sisi gelap emosi—sesuatu yang hanya bisa dicapai melalui kesadaran dan latihan batin berkesinambungan.

Dalam tradisi Vedanta, inti ajarannya terletak pada realisasi Atman (diri sejati) yang pada hakikatnya satu dengan Brahman (Realitas Mutlak). Kegelapan atau sisi negatif manusia sering diidentikkan dengan avidya (ketidaktahuan) dan maya (tabir ilusi) yang menutupi pandangan kita terhadap kebenaran. Ketika seseorang terjebak dalam avidya, ia akan mudah dikuasai oleh dorongan ego, kemelekatan, dan sifat-sifat destruktif lainnya.

Proses menyingkap “kegelapan” dalam Vedanta diupayakan melalui jnana yoga (yoga pengetahuan), bhakti yoga (yoga cinta atau pengabdian), atau karma yoga (yoga tindakan tanpa pamrih). Dalam jnana yoga, seseorang diajak untuk terus bertanya, “Siapakah aku?”—sebuah pertanyaan mendasar yang menuntun kita pada penyadaran bahwa identitas sejati bukanlah ego atau pikiran yang berubah-ubah, melainkan kesadaran murni yang melampaui segala sifat dualitas.

Dalam konteks ini, sisi gelap—kemarahan, rasa iri, kebencian—diakui sebagai akibat dari identifikasi keliru dengan ego. Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya secara hakikat adalah Atman, ia memahami pula bahwa setiap makhluk memiliki percikan ketuhanan yang sama. Kesadaran ini memunculkan empati dan belas kasih, sebab kita menyadari bahwa “kegelapan” orang lain berakar dari kebingungan yang sama—avidya. Dengan memahami ini, kita terdorong untuk tidak menghakimi, melainkan menolong sesama melepas tirai kebodohan yang menutupi cahaya batin.

Menuju kesadaran dan empati yang lebih dalam

Melalui psikologi analitik Jung, Islam, Vedanta, maupun Perennialisme, ada satu benang merah yang bisa ditarik: pentingnya mengenali sisi gelap atau kelemahan diri sebelum kita bisa memahami orang lain. Jung berbicara tentang shadow—bagian diri yang tertolak. Islam menyebutnya nafs yang perlu disucikan melalui tazkiyah, sedangkan Vedanta menyebutnya avidya yang harus diterangi oleh pengetahuan sejati.

Baca juga:  Memahami Seluk-beluk Wahdatul Wujud

Dalam perspektif Perennialisme, benang merahnya juga menekankan bahwa pengakuan dan integrasi sisi gelap dalam diri adalah langkah penting menuju realisasi kebenaran universal. Perennialisme—yang mengungkap “filosofi abadi” dalam setiap tradisi spiritual—mengajarkan bahwa semua pengalaman, baik terang maupun gelap, merupakan bagian dari realitas tunggal yang mendasari segala sesuatu.

Alih-alih memandang sisi gelap sebagai sesuatu yang sepenuhnya harus dihilangkan, Perennialisme mengajak kita melihatnya sebagai cermin yang mengungkap ilusi keterpisahan. Dengan mengakui dan mengintegrasikan aspek-aspek tersebut, kita membuka jalan menuju kesatuan dengan Sumber Ilahi atau Realitas Sejati, yang melampaui dualitas dan perbedaan permukaan. Dengan demikian, perjalanan spiritual tidak hanya tentang menyucikan diri dari “kegelapan” melainkan juga tentang memahami dan mengatasi keterpisahan dalam diri, menuju kesadaran yang lebih holistik dan menyeluruh.

Semua sudut pandang ini sama-sama menekankan bahwa proses pengenalan diri tidaklah mudah. Ia memerlukan kejujuran, disiplin, dan kesediaan untuk berubah. Namun, ketika kita berhasil “menembus” kegelapan itu, kita menemukan cahaya berupa empati, cinta, dan kesadaran yang lebih luas. Kita tak lagi sekadar menuntut orang lain untuk berubah, tetapi memulai perubahan dari diri sendiri.

Sebagai Muslim, muhasabah bisa kita lakukan setelah sembahyang atau menjelang tidur. Bentuknya mungkin bisa dengan manekung, jika merujuk cara bangsa Nusantara. Renungkanlah perilaku, niat, dan emosi yang muncul sepanjang hari. Sementara dalam Vedanta, meditasi bisa menjadi sarana untuk mengamati pikiran dan menyingkap ilusi ego. Keduanya sejalan dengan gagasan Jung tentang perlunya refleksi diri untuk menyadari bayang-bayang.

Para Sufi menekankan dzikrullah (mengingat Allah) untuk mengendalikan nafs, sedangkan Vedanta menekankan sikap menyaksikan pikiran tanpa terikat padanya. Kedua hal itu membantu kita menahan reaksi impulsif yang sering muncul dari sisi gelap kita.

Dalam tradisi Islam, meskipun istilah “bayangan” tidak secara spesifik digunakan dalam konteks psikologis, Al-Qur’an menyisipkan gambaran yang sangat indah terkait subjek yang sedang kita bahas. Bacalah QS. Ar-Ra’d [13]: 15, yang begitu indah;

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayang mereka di waktu pagi dan petang hari.”

Ada satu ayat lagi dalam QS. An-Nahl [16]: 48, yang juga menggugah kesadaran bathin kita untuk merenunginya sedalam mungkin:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?

Baca juga:  Konflik di antara Sahabat Nabi: Ihwal Sayidina Muawiyah

Kedua ayat tersebut mengajak kita untuk merenungkan bahwa setiap unsur ciptaan, sekecil apa pun—bahkan bayang-bayang diri sekali pun—secara esensial mengakui dan tunduk kepada Sang Pencipta. Ini merupakan perwujudan dari kesatuan dan harmoni ciptaan, yang menunjukkan bahwa tak ada satu pun bagian dari alam yang terlepas dari tanda-tanda keagungan Allah—bahkan terpisah dari-Nya.

Dalam tafsiran sufistik, khususnya melalui cakrawala intelek Ibn ‘Arabi, ayat-ayat tersebut mendapat makna yang jauh lebih mendalam. Menurut Ibn ‘Arabi, semua ciptaan—baik yang nyata maupun yang tampak seperti bayangan—adalah pengejawantahan Realitas Ilahi. Bayang-bayang yang sujud bukan hanya sekadar fenomena fisik, melainkan simbol dari keadaan bathin yang menunjukkan bahwa setiap aspek keberadaan, meski tampak samar dan tersembunyi, sebenarnya terhubung langsung dengan sumber Ilahi. Pemahaman inilah yang mestinya membuat kita senantiasa berbahagia dengan bayangan masa lalu yang terus menggelayut dalam ingatan.

Ibn ‘Arabi mengajarkan bahwa bayang-bayang tersebut mencerminkan Wahdat al-Wujud (Kesatuan Keberadaan), di mana tidak ada yang terpisah dari esensi Tuhan. Dalam setiap sujud, terdapat pengakuan atas kehadiran-Nya yang meliputi segala sesuatu—termasuk sisi-sisi gelap yang sering kita sembunyikan. Dengan kata lain, bayang-bayang yang bersujud mengingatkan kita bahwa setiap bagian dari diri kita, termasuk yang tersembunyi dan kurang disukai, pada hakikatnya adalah cerminan dari cahaya Ilahi. Proses penyucian jiwa melalui muhasabah dan tazkiyah tidak hanya menyasar aspek negatif, tetapi juga mengajak kita untuk menyadari dan merangkul seluruh potensi bathin yang, ketika tersinergi, membawa kita lebih dekat kepada kesatuan dengan Tuhan.

Dengan menggabungkan perspektif dari psikologi analitis, tradisi penyucian jiwa dalam Islam, ajaran Vedanta, serta pandangan holistik dalam Perennialisme dan sufisme Ibn ‘Arabi, kita mendapatkan kerangka berpikir yang utuh mengenai perjalanan bathin manusia. Proses mengenal dan menerima sisi gelap diri—sebagaimana tecermin dalam bayang-bayang yang sujud kepada Allah—tidak hanya memperkuat karakter kita, tetapi juga membuka ruang bagi empati dan pemahaman mendalam terhadap orang lain. Semua ciptaan, baik yang nyata maupun bayangannya, mengajarkan bahwa kebenaran Ilahi hadir dalam setiap aspek eksistensi, mengajak kita untuk terus menyelami dan menyucikan diri sepanjang perjalanan menuju kesatuan dengan Sang Pencipta.

Dengan demikian, menyelami sisi gelap diri bukanlah tentang penolakan, melainkan tentang integrasi penuh menyeluruh dari segenap keberadaan. Bayang-bayang yang sujud adalah pengingat abadi bahwa setiap bagian dari diri kita—kendati tersembunyi—selalu terhubung dan tunduk pada Kebenaran Absolut (al-Haqq), dan cenderung mengajak kita untuk mencapai keseimbangan batin serta cinta yang universal. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top