(L. 1916 – W. 1986)
Syahran dilahirkan di Desa Rangda, Rantau, tahun 1916. Ayahnya, H. Maki, sangat disiplin mendidik, terutama dalam hal menjalankan ibadah. Mengingat waktu itu di lingkungan sekitarnya banyak orang yang terjerumus kecanduan bermain judi, karena khawatir putranya ikut terpengaruh, Syahran dikirim ke Nagara (HSS) untuk belajar berbagai ilmu agama.
Di Nagara ia mengaji pada beberapa tuan guru yang cukup terkenal. Sekitar 3 tahun ia menuntut ilmu agama, meliputi masalah fiqih, tauhid, tasawuf, dan tata cara membaca Alquran. Setelah itu, Syahran melanjutkan mengaji di Dalam Pagar, Martapura. Selama di sana waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mempelajari kitab-kitab dan Alquran.
Begitu ilmu yang diperoleh dirasa cukup memadai, ia pun kembali ke Rantau. Di kampung halamannya ini mulai membuka pengajian. Syahran secara rutin member siraman rohani di Masjid Baiturrahman (Pasar Rantau), Masjid Mujahidin (Kupang), Langgar Taqwa (Jalan Pelita), dan Langgar Nurul Mubien (Mandarahan Simpang Paul). Adapun materi yang disampaikan adalah Kitab Bukhari.
Pada peringatan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi dan Isra Miraj, Tuan Guru Syahran hampir-hampir tidak ada di rumah lantaran padatnya jadualnya dalam memenuhi hajat masyarakat. Tak hanya di wilayah yang mudah dijangkau, di daerah-daerah pelosok dan pegunungan yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki pun ia tak segan-segan mendatangi. Dalam menyebarkan syiar Islam, Syahran tak pernah memilih-milih tempat. Niatnya semata ingin meraih keridhaan Allah SWT.
Setiap kali memberikan ceramah agama ia terbiasa bersama-sama dengan Tuan Guru Dungkul. Jadi, dilakukan dua babak. Keduanya secara bergiliran menyampaikan siraman rohani.
Karena dulu ia juga belajar mengenai tata cara membaca Alquran yang baik dan benar, Syahran di samping aktif berceramah ke mana-mana juga menjadi guru mengaji. Ketika Ir. H.M. Said menjabat sebagai Gubernur Kalsel, guru-guru Qur’an mendapat penghargaan. Mereka diundang menghadiri jamuan makan malam dan pulangnya diberi bingkisan. Dari Kabupaten Tapin, Tuan Guru Syahran dan H. Matali yang memperoleh kehormatan itu.
Demikian pula, ketika Komandan Resort Tapin dijabat oleh Letkol. Said Alwi, Syahran diminta mengajari para anggota kepolisian membaca Alquran. Atas jasa-jasanya itu, Syahran kemudian diangkat menjadi Lurah Rangda Malingkung.
Jauh sebelum itu, ketika baru pulang dari mengaji Dalam Pagar, Martapura, Syahran diminta untuk menjadi penghulu oleh pejabat KUA Tapin Utara. Pada masa itu tugas penghulu yang disebut dengan istilah P3NRT (Pegawai Pembantu Pencatat Nikah, Rujuk, dan Talak) bersifat rangkap, sehingga terasa cukup berat. Banyak pengalaman yang Syahran peroleh selama menjadi penghulu. Kadang ada warga yang datang pagi, siang, sore, bahkan tengah malam dengan penuh luapan emosi minta talak. Oleh penghulu Syahran, orang itu dinasihati dan diberi waktu seminggu lagi untuk memikirkan secara matang. Pada waktu yang ditentukan orang itu memang kembali datang, tapi menyatakan tak jadi bercerai. Bahkan, belakangan mereka hidup rukun, harmonis, dan sudah punya keturunan.
Profesi penghulu itu dijalaninya sampai tahun 1981. Sebab, waktu itu Tuan Guru Syahran diangkat jadi Lurah Rangda Malingkung, sementara peraturan mengharuskan tidak boleh memegang jabatan rangkap. Hanya tiga tahun, ia keburu pensiun. Soalnya, waktu diangkat jadi lurah itu usianya sudah di atas 50 tahun. Menurut peraturan pemerintah, mereka yang bertugas sebagai PNS selama 3 tahun tidak akan dapat dana pensiun.
Di usianya yang sudah tua, Tuan Guru Syahran mulai sering sakit-sakitan dan mengurangi kegiatan pengajian pada masyarakat. Mungkin karena merasa hidupnya tak panjang lagi, ia minta diantar untuk berziarah ke makam guru-guru di Nagara yang pernah mengajarinya ilmu agama. Beberapa hari berselang, ia pun menghadap Sang Khalik pada tahun 1986.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.