Kehidupan manusia modern dinilai sudah semakin jauh dari nilai-nilai ilahiah atau ketuhanan. Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah KH Fathurrahman Kamal menjelaskan bahwa kehidupan manusia modern, setidaknya ditandai dengan tiga keadaan.
“Pertama, manusia modern tidak lagi mendudukkan secara harmonis antara aspek-aspek duniawiah dan ukhrawiah. Selalu saja kehidupan dunia kita saat ini dipisahkan dari orientasi yang bersifat ukhrawiah,” tutur Kiai Fathurrahman dalam Pengajian Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Kamis (27/5).
Kedua, lanjutnya, manusia di era modern saat ini tidak lagi merasakan suatu makna spiritualitas di dalam berbagai macam kehidupan. Ia mencontohkan, seorang karyawan yang memiliki profesi dan kedudukan haruslah berorientasi sebagai manifestasi dari fungsi kehambaan dan kekhalifahan yang diamanahi Allah.
“Karena itu, tidak ada suatu aspek kehidupan kita yang keluar dari makna yang bersifat rohaniah. Jadi kita selalu memiliki dimensi spiritual. Demikian pula di dalam pekerjaan kita, apa pun profesi dan fakta kenyataan hidup kita,” tutur Kiai Fathurrahman.
Keadaan kehidupan manusia modern yang ketiga adalah memiliki kecenderungan kontradiktif ketika memandang segala sesuatu. Seolah-olah tidak bisa dipadukan dan diharmonikan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya, kata Kiai Fathurrahman, pandangan-pandangan yang selalu kontradiktif saat memandang sesuatu itu telah jauh-jauh hari dikritik oleh Allah bahwa manusia selalu saja hanya mengetahui sesuatu yang tampak dalam kehidupan. Namun, tidak mengetahui hakikat kehidupan yang sesungguhnya tentang akhirat.
Ahli Tafsir Ibnu Asyur dalam kitab At-Tahrir wa Tanrir mengatakan, tentu bukanlah sesuatu yang tercela ketika seorang beriman meraih kebahagiaan di dunia. Namun, saat seorang beriman meraih prestasi-prestasi dunia seraya tidak pernah lalai pada orientasi ukhrawiah.
“Nah dunia modern saat ini selalu menjebak kita untuk tidak bisa menyinergikan dan mengharmonisasi antara berbagai macam persoalan di dalam kehidupan kita. Selalu dipertentangkan, misalnya, antara kebaikan yang bersifat pribadi dengan kebaikan sosial. Begitu sebaliknya,” ujar Kiai Fathurrahman.
Dalam konteks inilah, imbuhnya, manusia mesti bersyukur ketika Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 164. Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa, dan mengajarkan Al-Kitab serta Al-Hikmah.
Sebab di saat manusia saat ini tidak lagi memiliki pegangan-pegangan yang bersifat fundamental sehingga kehidupan berjalan begitu saja sebagaimana orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap akhirat, tetapi Allah menggambarkan sebuah pegangan dalam ayat tersebut dengan sangat baik.
“Imam Ibnu Katsir menyatakan, betapa indahnya ketika seorang rasul yang diutus oleh Allah berasal dari kita, jenis manusia. Karena dengan itu, beliau sanggup menyampaikan berbagai ayat-ayat Allah,” terang Kiai Fathurrahman.
Dijelaskan, Rasulullah adalah orang yang pernah menderita maka menjadi teladan bagi orang-orang yang menderita. Rasulullah, seorang yang pernah berkuasa maka menjadi teladan bagi para penguasa. Rasulullah adalah pebisnis dan menjadi teladan bagi orang-orang yang berbisnis. Rasulullah, seorang panglima militer dan menjadi teladan bagi orang-orang militer. Rasulullah juga seorang penegak hukum, maka menjadi teladan bagi seorang yudikatif.
“Tugas dan fungsi Rasulullah adalah mengajarkan kita Al-Qur’an dan tentang Al-Hikmah yang oleh banyak ulama kita ditafsirkan sebagai As-Sunnah yaitu ajaran-ajaran yang datang dari Rasulullah. Karena itu, ketika Rasulullah datang kepada kita dengan membawa Al-Qur’an,” jelasnya.
Atas dasar itu, Allah kemudian berfirman dalam surat Asyura ayat 7 dan dinyatakan bahwa Al-Qur’an dijadikan-Nya sebagai ruh bagi orang-orang beriman. Hal tersebut bermakna bahwa kehidupan manusia, sekalipun di dunia modern, haruslah menyertakan Al-Qur’an sebagai ruh.
“Ketika Allah menyatakan itu, maka bermakna bahwa kehidupan kita jika tanpa Al-Qur’an itu ibarat jasad-jasad yang tidak memiliki ruh,” pungkas Kiai Fathurrahman.