Seni, adat, dan tradisi di Bali bukan begitu saja menjelma menjadi daya tarik wisata. Pada awalnya seni di Bali adalah sarana bagi para pelakunya untuk terhubung dengan alam dan penciptanya.
Kegiatan seni dan budaya dapat dikatakan berhenti seketika saat masa pandemi ini. Tak ada lagi pertunjukan seni dan budaya yang menjadi daya tarik bagi wisatawan dalam dan luar negeri.
Hal itu mendasari Titimangsa Foundation bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, untuk menggelar pementasan bertajuk ‘Taksu Ubud’, yang berfokus pada ekspresi seniman Ubud dalam menyampaikan perasaannya pada alam dan pencipta.
Pada perjalanannya selama kurang lebih empat bulan, karya ini menjadi kerja kolaborasi dengan banyak pihak, terutama seniman dan budayawan Ubud.
Pentas ‘Taksu Ubud’ telah direkam beberapa waktu lalu bertempat di Arma Museum, Ubud sebagai tuan rumah.
Masyarakat dapat menikmati pementasan ‘Taksu Ubud’ secara daring yang ditayangkan perdana pada Selasa, 6 Juli 2021 pukul 19.00 WIB di kanal Youtube Budaya Saya.
‘Taksu Ubud’ dapat disaksikan secara bebas selama satu minggu hingga tanggal 12 Juli 2021
Pementasan ini juga didukung oleh Deputi Bidang Produk Wisata Dan Penyelenggaraan Kegiatan (Events) Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, ARMA Museum & Resort, ISI Denpasar, Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Purnham Event Planner, Antida Music Production, Silubarong CO, Circle Lighting Indonesia, Tarra Healthcare, Suarti, Tulola, Cok Abi, CYN Bali, UBUD Performing Art, Napak Tuju, Swaradanta, dan Yayasan Janahita Mandala Ubud.
‘Taksu Ubud’ adalah sebuah pertunjukan seni drama, tari dan musik yang menampilkan Ubud sebagai penggawa adat Bali. Melalui kisah yang sederhana, ‘Taksu Ubud’ merupakan buah dari keinginan untuk menyatukan sebagian kecil dari keindahan seni Ubud.
Pertunjukan ini adalah sebuah inisiatif kecil untuk mengadakan kembali ruang bagi para pahlawan adat Ubud untuk membangun kembali suasana Ubud yang sarat akan adat dan tradisi Bali.
Ubud sebagai benteng pertahanan dalam pelaksanaan adat dan tradisi leluhur masyarakat Bali. Hampir seluruh masyarakat Ubud hidup dekat dengan adat dan tradisi. Pada siang hari mereka bekerja di antaranya sebagai petani, pedagang, dan pengajar.
Pada malam hari mereka hidup sebagai pelaku kesenian di Ubud. Pendapatan yang mereka hasilkan dari pekerjaan harian mereka, dikembalikan untuk pengembangan adat.
Berkisah tentang seorang pemuda Ubud, Umbara, yang sejak kecil tinggal jauh dari Ubud dan ibunya. Tiba saatnya sang Ibu meminta Umbara untuk pulang ke Ubud. Seketika Umbara berhadapan dengan dilema.
Haruskah kenyamanan dan kemudahan yang ia peroleh selama di perantauan ia tinggalkan demi cinta Ibu dan Ubud, sebuah tempat leluhur yang asing baginya?
Saksikan kisah perjalanan batin Umbara lewat ekspresi para seniman Ubud dalam menyampaikan perasaannya pada alam dan pencipta.
Garapan ‘Taksu Ubud’ menampilkan tarian, tetabuh dan mekidung yang melibatkan banyak kelompok penari dan penabuh, seperti Gamelan Yuganada, Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Kertha Art Performance, Sanggar Cudamani, Ubud Performing Art, Napak Tuju, Swaradanta dan Yayasan Janahita Mandala Ubud.
Selain itu, ‘Taksu Ubud’ juga menampilkan banyak seniman-seniman senior Bali yang telah berkarya puluhan tahun dengan penuh dedikasi pada seni dan pengembangan budaya seperti Agung Oka Dalem dan Cok Sri (seniman tari), Aryani Williems (aktor senior), Desak Nyoman Suarti (seniman motif tradisi) dan Made Sukadana Gender (seniman dalang).
Lebih dari itu, ‘Taksu Ubud’ juga menampilkan aktor-aktor Indonesia yang sudah tidak asing lagi namanya yaitu Reza Rahadian dan Christine Hakim.
‘Taksu Ubud’ melibatkan banyak penggiat seni yang memiliki integritas dan dedikasi pada profesi.
Dayu Ani sebagai Sutradara Gerak, I Wayan Sudirana sebagai Sutradara Tabuh, Kadek Purnami sebagai Pimpinan Produksi, Anom Darsana sebagai Penata Suara, Johan Didik sebagai Penata Cahaya, Rai Pendet dan Yosep Anggi Noen sebagai Sutradara Visual, Cok Bayu, Agung Iswara dan Dika Pratama sebagai Penata Artistik, Ayu Putri Anantha, Arsa Wijaya dan Dewa Ayu Eka Putri sebagai Koreografer sekaligus pementas.
Seniman-seniman yang telah tersebut ini adalah sebagian kecil saja dari banyaknya seniman-seniman penuh talenta yang ada di Bali.
Hilmar Farid selaku Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia menjelaskan dengan melakukan kesenian, masyarakat Ubud berhubungan dengan Tuhannya dan membina hubungan baik juga dengan sesama manusia.
Adat dan tradisi masyarakat Ubud ini yang juga menarik wisatawan lokal dan dunia untuk datang ke Ubud dan melihat serta merasakan taksu-nya Ubud.
“Berkesenian bagi masyarakat Bali, khususnya Ubud, bukan hanya menjadi kerja kebudayaan, tetapi juga berlaku sebagai ibadah kepada Tuhannya, sebuah identitas diri dan masyarakat, serta pengejawantahan dari taksu—jiwa—masyarakat Ubud itu sendiri,” ungkap Hilmar.
Happy Salma, founder Titimangsa Foundation yang menjadi produser pementasan menjelaskan bahwa Taksu Ubud’ terinspirasi dari alam, gerak, tutur dan rasa ikhlas yang tidak berputus asa dari teman-teman di Bali, khususnya Ubud yang memang dekat di hatinya secara pribadi.
Kesenian di Bali terutama selalu menjadi jendela keindahan Indonesia. Pada masa sekarang ini rasanya penting memberi ruang untuk para pelakunya mengekspresikan perasaannya. Upaya kecil tapi penting untuk dilakukan.
“Poin paling utama dalam proses kali ini adalah menyatukan energi kerja kolaborasi. Rasa yang menurut saya perlu dimiliki dalam situasi serba sulit seperti sekarang ini. Menyatukan perasaan kebersamaan dengan penuh tanggung jawab dan menghadirkan energi optimisme dan rasa saling mendukung untuk sebuah kerja kreatif yang datangnya dari hati karena bakti dan kecintaan pada seni, adat dan tradisi,” jelas Happy.
Ida Ayu Wayan Arya Satyani atau lebih dikenal dengan Dayu Ani, sebagai Sutradara Gerak mengungkapkan, pemetasan ini merupakan karya unik dan menantang dikarenakan buah kerja kolaborasi.
“Kita tidak menempatkan salah satu elemen sebagai penunjang elemen yang lainnya. Semua posisinya sama penting, ya musik, ya koreografi, ya teatrikalnya, ya setting-nya, dll. Tapi saya yakin, karya yang didedikasikan sebagai sebuah persembahan/doa/jantra/mantram, getaran itu jauh lebih penting daripada pemahaman. Pemahaman akan menyusul kemudian,” jelas Dayu Ani.
Sutradara Tabuh, I Wayan Sudirana, sependapat, bahwa proses pengerjaan komposisi pementasan menantang dan sekaligus menyenangkan ketika menyesuaikan dengan tema dan konsep yang tumbuh karena proses bersama.
“Contohnya seperti nomor musik ‘Orkestra Semesta’ yang menjadi pembuka pentas. Komposisinya memang panjang secara durasi karena di dalamnya ada siklus nada di sembilan arah mata angin.
Bayangan saya langsung mengarah pada nada-nada semesta, bagaimana nada-nada tersebut berada pada titik kardinalnya dan berinteraksi dengan nada-nada yang lain,” ungkap Sudi panggilan akrabnya.