Tarekat Ghazaliyah dinisbatkan kepada Abu Hamid Muhammad aL-Ghazali (lahir 450 H./ 1111 M.) Mujaddid abad ke-5 Hijriyah. Ghazaliyah merupakan tarekat yang terbesar pada masanya dari ahlu sunnah wa al-jamaah. Tarekat ini menyerap kelebihan-kelebihan dari tarekat pendahulunya serta memberikan corak yang jelas terhadap tarekat-tarekat sesudahnya, sampai sekarang (al-Adab al-Shufî fi al-Maghrab wa al-Andalus, halaman: 52).
Hamid Muhammad aL-Ghazali dilahirkan di kota Tunis, satu kota di Khurasan (450 H./ 1111 M). Orang tuanya pedagang yang bertakwa, memiliki toko yang menjual hasil tenunan sendiri di kota Khurasan. Orang tuanya sering menghadiri majlis fuqahâ’, majlis wu’azh (nasihat) untuk mengikuti pengajian, dan selesai pengajian selalu berdoa agar diberi anak yang ahli fikih dan ahli nasihat.
Kesungguhan orang tua Imam Ghazâli berbuah manis yaitu diberi rizki oleh Allah SWT dua orang anak laki-laki;
1). Ahmad Abu Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazâli, yang dijuluki sebagai mujtahid madzhab Syafii. Beliau terkenal sebagai penasihat yang tampan wajahnya, pemilik beberapa karamah dan ahli memberikan isyarat. Beliau menggantikan saudaranya (Imam Ghazâli) mengajar, ketika Imam Ghazâli meninggalkan Nidhamiyah karena melaksanakan zuhud. Beliau meninggal tahun 520 H di Baqzawin (al-Ghazâli, Ihyâ’ Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).
2) Muhammad Imam Ghazali yang menjadi mujtahid madzhab Syafii (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383 dan al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).
Imam al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dan Alquran dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani di kota Thusi, kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr al-Isma’ili dan menulis buku al-Ta’liqât. Kemudian pulang ke Thusi, (al-Subki, Thabaqât al-Syafiiyah, juz 6, halaman: 195. dan Muhammad abu yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383. dan al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8. dan Insklopedi Islâm, jilid 2, Jakarta: 1993, halaman: 25)
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fiqih mazhab Syafii dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang berbeda pendapat dengannya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu al-Juwaini.
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazâli ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para `ulamâ’ dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana.
Maka pada tahun 484 H., beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah an-Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Di sinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal dan mencapai kedudukan yang sangat tinggi. Pengajian Imam Ghazâli dihadiri 300 ulama dan 100 pimpinan pemerintah Baghdad.
Penduduk kota Baghdad takjub dan mengagungkan Imam Ghazâli, sehingga Imam Ghazâli menjadi ulama dalam berbagai bidang keilmuan yang sangat berpengaruh di kota Baghdad dan Khurasan. Ia menjadi tokoh terkemuka di zamannya baik dalam bidang keilmuan, pemikiran, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 385).
Setelah kemasyhuran diperoleh, maka datanglah ujian dan cobaan dari Allah SWT berupa keragu-raguan yang mendalam. Beliau meragukan kebenaran yang ditangkap oleh panca indera dan akalnya, beliau berusaha mengobati dengan potensi keilmuan dan akalnya, tapi tidak sembuh bahkan menjadi semakian kuat keraguannya.
Hatinya terserang badai dalih yang tidak terselamatkan, kecuali dengan pertolongan al-Ilahiyyah. Penyakit ini berlangsung dua bulan, sampai Allah SWT memberi kesembuhan dengan nur Ilahi (cahaya Tuhan) yang dipancarkan ke hatinya, dan nur ilahi itu menjadi kunci pokok beberapa pengetahuan.
Imam Ghazâli mengomentari tentang kesembuhannya, “Barang siapa yang menyangka keterbukanya hati hanya dengan sebuah dalil, maka dia mempersempit rahmat Allah SWT, padahal rahmat Allah SWT sangat luas”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Ketika menjawab pertanyaan sahabat tentang Firman Allah SWT:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَآءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿١٢٥﴾ [الأنعام: 125]
Maka Nabi SAW Menjawab: “Pembuka itu adalah nur yang ditancapkan kedalam hati”, sedangkan tanda-tandanya adalah; menjauh dari tipu daya dunia dan kembali ke kehidupan akhirat. Dan akhirnya Imam Ghazâli keluar dari gelapnya keraguan menuju ke cahaya keyakinan dan tenggelam dalam cahaya Ilahi selamanya.
Kemudian Imam Ghazâli pindah menuju negara Syam dan menetap selama dua tahun, dan beliau melakukan `uzlah, khalwat, riyadhah, mujahadah dan membersihkan hati dengan memperbanyak zikir kepada Allah SWT
Kemudian Beliau bertempat di menara masjid Damaskus, dan menutup pintunya agar beliau bisa menyepi dengan Tuhannya, menutup pintu hatinya untuk melaksanakan zikir dan bertasbih dengan ruh di alam malakut bersama dengan Allah SWT Kejadian itu terjadi selama perjalanan ke Baitul Muqaddas, setiap hari masuk di kubah batu dan menutup pintu kubah agar bisa beribadah, munajat, tafakkur, musyahadah dan menghabiskan waktunya untuk Allah SWT pada kondisi seperti itu Imam Ghazâli mengarang kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddin.
Imam Nawawi mengomentari Kitab Ihyâ’ ‘Uumuddin bahwa Ihyâ’ Ulumuddin hampir-hampir seperti Alquran. Syaikh Abu Hasan al-Syadzili memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membaca kitab Ihyâ’ Ulumuddin, dan beliau berkata, “Kitab Ihyâ’ ‘Ulumuddin bisa memberimu keilmuan”, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 387-389).
Karya-karya Imam Ghazâli :
1). Ihyâ’ ‘Ulumuddin, 2). Tahâfat al-Falâsafah, 3. al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, 4. al-Munqidz min al-Dhalâl, 5. Jawâhir Alquran, 6. Mîzân al-‘Amal, 7. al-Muqshid al-Usna fi Mâ’anî Asma’ Allah al-Husna, 8. Faishal al-Tafarruqah baina al-Islâmi wa al-Zindiqah, 9. al-Qisthâs al-Mustaqîm, 10. al-Mustadzharâ, 11. Hujjah al-Haq, 12. Mufshil al-Khilâf fi Ushûl al-Dîn, 13. Kîmiyâ’ al-Sa’âdah, 14. al-Basîth, 15. al-Wasîth, 16. al-Wajîz, 17. Khulâshah al-Mukhtashar, 18. Yâqut al-Ta’wîl fi Tafsîr al-Tanzîl, 19. al-Mustashfa, 20. al-Mankhûl, 21. al-Muntahil fi ‘Ilmi al-Jadal, 22. Mi’yâr al-‘Ilmi, 23. al-Maqâshid, 24. al-Madhnûn bih ‘ala Ghairi Ahlih, 25. Misykât al-Anwâr, 26. Mahk al-Nadzor, 27. Asrâru ‘Ilmi al-Dîn, 28. Minhâj al-‘âbidîn, 29. al-DaRAr al-Fâkhirah fi Kasyf ‘Ulûmi al-Akhirah, 30. al-Anîs fi al-Wahdah, 31. al-Qurbah ila Allah ‘Azza Wajalla, 32. Akhlâq al-Abrâr wa al-Najâh min al-Asyrâr, 33. Bidâyah al-Hidâyah, 34. al-Arba’în fi Ushûl al-Dîn, 35. al-Dzarî’ah ila Makârim as-Syarî’ah, 36. al-Mabâdi’ wa al-Ghâyât, 37. Talbîs Iblîs, 38. Nashihah al-Mulûk, 39. Syifâ’ al-‘Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta’lîl, 40. Iljâm al-‘Awâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, 41. al-Intishâr, 42. al-‘Ulûm al-Dunniyyah, 43. al-Risâlah al-Qudsiyyah, 44. Itsbât al-Nadzor, 45. al-Ma’khat, 46. al-Qaul al-Jamîl fi al-Radd ‘ala min Ghairi al-Injîl, 47. al-Amâlî, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 23).