Tarekat Idrisiyah dinisbatkan kepada nama Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1172–1253 H./1758-1837 M). Ada beberapa nama diberikan kepada aliran tarekat ini. Terkadang disebut al-Idrisiyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut al-Khidiriyah, yang dikaitkan kepada Nabi Khidir a.s.
Bahkan, Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi dalam kitabnya al-Manhalu aI-Râwî al-Râ’iq fî al-Sânîd al-‘Ulûm wa Ushûli al-Tharîq menyebut tarekat ini dengan al-Muhammadiyah juga, ada pula catatan yang menyebut tarekat ini Ahmadiyah, nama yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Idris.
Beliau dilahirkan di Naisabur, salah satu desa Kota Fas Maroko pada tahun (1173H./1760M). Nasab beliau sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau berasal dari keluarga yang taat beragama dan tumbuh di wilayah yang menjadi salah satu pusat kajian agama di Wilayah maghribi (Maroko).
Ini terbukti sejak kecil beliau sudah didik dengan pelajaran dan keilmuan agama, Fiqih, Tafsir, Hadis, Aqidah, dan berbagai macam ilmu lahir. Syaikh Ahmad bin Idrîs terkenal sangat cerdas sehingga guru-guru beliau memberikan perintah utuk mengajarkan semua ilmu yang telah dipelajari.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin Idris berguru ilmu tasawuf (tarekat) kepada Syaikh Abdul Wahab al-Tazi (w. 1131 H.) yang menjadi penerus Tarekat Qadiriyah, yang merupakan murid Syaikh Abdul Aziz, Biografinya disebutkan di kitab al-Ibriz karangan Ibnu al-Mubarak.
Pada tahun 1214 H. tepat umur 41 tahun Syaikh Ahmad bin Idrîs pindah ke Makkah dan pada tahun 1246 H. Beliau pindah ke Yaman dan menetap di daerah Shabyan sampai beliau wafat pada tahun 1253 H.
Menurut Syaikh Yûsuf al-Nabhani dalam kitabnya Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, secara umum beliau memadukan ilmu lahir (ilmu syari`at) dan ilmu batin (ilmu tasawuf), sehingga beliau sangat terkenal kemahiran yang sempurna dalam bidang ilmu Al-Qur’an, Hadis, riwayat, dan dirayat.
Syaikh Ahmad bin Idrîs mampu menyingkap tabir keilmuan dan menyatakannya secara umum dan khusus (Jâmi` Karâmât al-Auliyâ`, juz 1 halaman: 460-461 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 8).
Diantara para ulama agung yang bertemu dan berguru kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs adalah; Syaikh Sayyid Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal (seorang mufti yang berpengaruh di zamannya dan mempunyai pengaruh keilmuan dan amaliyah yang besar di kota Mesir), Syaikh Muhammad Abid al-Sanadi (seorang ulama besar dari kota Madinah al-Munawarah), dan Syaikh al-Arabi al-Darqawi.
Selain itu juga Syaikh Abu Abbas Ahmad al-Tijani (1737-1815 M), Syaikh Muhammad Sanusi (pendiri Tarekat Sanusiyah), Syaikh Muhammad al-Madani (ulama kota Madinah), Syaikh Muhammad al-Majdzub al-Sawakini (Wali dari Sudan), Syaikh Ibrahim al-Rasyid dan lain lain (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 463-464 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 9).
Syaikh Ahmad bin Idrîs juga menerima awrad (wirid) tarekat Syadzîliyah, dan tarekat Taslikiyah yang diterima langsung dari Nabi Muhammad saw. secara yaqdhah (pertemuan secara nyata dan fisik setelah Nabi Muhammad saw. wafat, bukan pertemuan dalam mimpi). Hal ini merupakan keistimewaan yang diberikan Allah Swt. kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs.
Syaikh Ahmad bin Idrîs berkata: ”Aku berjumpa dengan Nabi Muhammad swa. yang sedang bersama dengan Nabi Khidir a.s. dengan pertemuan nyata. Lalu Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada Nabi Khidir a.s. untuk mengajariku zikir-zikir Tarekat Syadziliyah.
Kemudan Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Nabi Khidir a.s.: “Wahai Khidir ajarkan kepadanya (Syaikh Ahmad bin Idrîs) untuk mengajarkan suatu amalan yang menggabungkan segala macam zikir, shalwat, dan istighfar”. Lalu Nabi khidir As. bertanya kepada Nabi Muhammad saw, “Bacaan apa itu wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad saw. Bersabda: Ucapkanlah:
لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ
Kemudian Nabi Khidir a.s. menirukannya dan aku menirukannya setelah beliau berdua. Rasulullah mengulanginya sampai 3 kali. Nabi saw. bersabda sampai akhir Salawat al-‘Azhimiyah: Wahai khidir ucapkanlah:
اَللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِي لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، غَفَّارَ الذُّنُوْبِ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.
Kemudian Nabi Muhammad saw. bersabda kepadaku: ”Wahai Ahmad, aku telah memberimu kunci langit dan bumi yaitu zikir yang khusus, shalawat al-`Azhimiyyah, dan istighfâr al-Kabîr, membacanya sekali beratnya sama dengan isi dunia dan akhirat secara berlipat ganda”, (al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 10).
Pada kesempatan lain aku berjumpa dengan Nabi Muhammad saw dan beliau memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan zikir tersebut (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 464).
Aurad dan Zikir
Kebiasaan zikir yang biasa dilakukan oleh jama’ah Tarekat Idrîsiyah adalah di setiap ba’da Maghrib hingga isya dan ba`da subuh hingga isyraq. Pelaksanaan zikir di tarekat ini dilakukan dengan jahr (suara keras), diiringi lantunan shalawat (terkadang dalam moment tertentu dengan menggunakan musik).
Kitab panduan awrad zikirnya bernama “Hadiqatur Riyahin” yang merupakan khulashah (ringkasan) berbagai macam awrad (wiridan/amalan) Syaikh Ahmad bin Idris dan Sadatut Tarekat lainnya. Awrad wajib harian bagi seorang salik Idrisiyah adalah:
- Membaca Al-Qur’an 1 juz
- Membaca Itighfâr Shagîr 100x
- Membaca Zikir Makhshûsh;
لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ ….. ×300
- Membaca Shalawat Ummiyyah 100x
- Membaca Yâ Hayyu Yâ Qayyûm 1000x
- Membaca Zikir Mulkiyyah;
لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ….. ×100
- Memelihara Ketakwaan.
Aurad tambahan untuk taqârrub kepada Allah Swt. adalah menunaikan shalat tahajud dan membaca Saalawat `Azhimiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba`da subuh hingga terbit fajar.
Gelar Pemimpin Tarekat Idrisiyah
Pemimpin Tarekat Idrisiyah ini mendapat gelar dari Rasulullah saw. (secara ruhani) yaitu: Syekh al-Akbar, kemudian pada masa kepemimpinan Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan r.a. mendapatkan tambahan muhyiddin dari Beliau saw. begitu pula pelimpahan mandat kekhalifahan Tarekat Idrisiyah selalu diinformasikan secara ruhaniyyah, dengan wasilah petunjuk Rasulullah saw. melalui guru mursyid sebelumnya.
Pengertian Muhyiddin
Istilah Muhyiddin dalam kepemimpinan Tarekat Idrisiyah ini diberikan oleh Rasulullah saw. melalui Nabi Khidhir a.s. Bahkan semua `Ulama’ yang dimasyhurkan namanya karena memperjuangkan nilai-nilai sunnah diberikan gelar itu dari Beliau saw.
Penyematan gelar itu ditandai dengan kondisi umat yang semakin jauh dari sunnah Nabi saw, yang dibawa oleh para pewarisnya. Ketika sunnah sudah dianggap asing dan aneh, maka muncullah sosok muhyiddin yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah tersebut.
Petikan Ungkapan al-Syaikh al-Akbar
Di antara petikan ungkapan Syaikh al-Akbar adalah bahwa Rasulullah saw. hanya diperintahkan menyampaikan ajaran Islâm, tetapi tidak bersifat memaksa orang untuk mengikuti ajarannya, karena petunjuk (hidayah) itu hanya milik Allah Swt.
Orang kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya, dan orang yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya. Umat Islam tidak boleh egois dengan keislâmannya, karena dinul Islam bukan diperuntukkan buat umat Islam saja, tapi untuk seluruh umat.
Syaikh al-Akbar memandang perlunya pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis. Tafsir-tafsir ulama yang dahulu tidak cukup untuk mengatasi problem dunia saat ini, ia mengakui bahwa orang seperti Imam Syafi’i adalah manusia brilian di zamannya, tetapi zaman yang kita hadapi sekarang berbeda dengan zamannya.
Seorang muslim mesti membawa karakter dan perilaku agama yang dibawanya, yakni Islâm. Arti Islâm adalah keselamatan. Maka, orang Islâm mesti membawa nilai-nilai keselamatan dalam berbagai aspek kehidupannya. Islâm menghendaki keselamatan diri dan orang lain.
Inilah yang dinamakan konsep rahmatan lil alamîn. Islam membawa rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluk alam. Jika seorang muslim membawa kecelakaan atau kebinasaan orang lain tanpa hak, maka tidak pantas istilah muslim itu disandarkan atas dirinya.