- Niat meminta ilmu Syathariah
نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
- Mandi bersuci, niatnya:
نَوَيْتُ غُسْلاً لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
- Berpuasa tiga hari berturut-turut (paling sedikit)
Puasa pada hari ketiga menghadap guru yang berhak dan sah menunjukkan ilmu untuk memohon ijinnya.
Waktu pemberian petunjuk tentang ilmu ini biasanya sehabis shalat ‘Ashar.
Niat puasanya sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
- Latihan mukaddimahnya ilmu Syathâriah
Yakni zikir tujuh macam yang disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Pemahaman dan latihan mukaddimahnya ilmu ini biasanya dilakukan oleh pimpinan cabang atau perwakilan cabang warga yang membawa warga baru untuk dapatnya memperoleh ilmu ini dan akan dilatih lagi di pusat sebelum menghadap guru.
- Membayar kifarat
Penjelasan yang langsung dari guru-guru (dengan lisan) yang dilakukan secara bergilir dan tidak pernah putus sejak Nabi Muhammad Sawhingga kini, kifarat ini adalah menebus dosanya sendiri.
Adapun besarnya kifarat adalah sesuai dengan kemampuan (layaknya sebesar biaya untuk kematian dirinya) dan diserahkan kepada yang berhak dan sah sebagai pelanjut guru wâsithah (yang kemudian ditasharrufkan pada berbagai kegiatan pendidikan, dakwah, sosial, pembangunan sarana dan prasarananya).
Seorang guru wâsithah yang berhak dan sah (atas izin dan kehendak-Nya) dipusakai dengan empat martabat:
- Martabat Mursyidûn
Memperoleh pelimpahan wewenang dan izin untuk menunjukkan ilmu tentang Dzat yang al-ghaib, yang Allah asma-Nya, serta jalan lurus-Nya supaya dapat selamat sampai kepada-Nya dari guru yang silsilahnya berantai tidak pernah putus (gilir gumantinya) sampai kepada Sayyidinâ ‘Âli bin Abû Thalib As. hingga Nabi Muhammad Saw.
Dan memberi petunjuk atas berbagai tingkat temuan si murid (yang berkehendak bertemu Tuhannya) agar tidak menjadi hambatan dan rintangan terhadap tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai yaitu ma’rifat billah.
- Martabat Murabbiyûn
Tidak jemu-jemu mengingatkan dan membimbing si murid supaya mempunyai kesabaran (ketahan mental, tahan ujian dalam memberlakukan jihâd al-nafs terhadap dirinya sendiri). Mengingat bahwa proses diri untuk mendekat kepada-Nya adalah semua hal yang tidak disukai oleh nafsu.
Ini adalah perjalanan yang pelik sekali, banyak pengorbanan dan besar gangguannya. Ini adalah proses yang suci dan kesucian itu yang akan dicapai. Keluhuran dan kesempurnaan tauhid (muwahid) yang akan dicapai.
- Martabat Nashihûn
Memberi nasehat, dan isi nasehatnya sama sekali tidak akan bertentangan dengan firman-firman Allah SWT. dan tidak akan bertentangan dengan Hadis-Hadis Nabi. Sebab keduanya adalah saksi nyata kebenaran al-Haqq-Nya (kebenaran kelangsungan tugas dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad Saw)
Karena itu, apabila segala nasehatnya dita’ati, maka buah dan manfaat yang diterima serta sampainya dengan selamat bertemu dengan-Nya, sama persis seandainya langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw sendiri.
- Martabat Kâmilûn
Sempurna dan menyempurnakan (kâmil-mukammil). Sebab hakikat guru ini adalah Tuhan sendiri. Maka dari itu, jasad yang kebetulan diberi tugas dan disebut dengan ahl al-dzkr (ahli mengingat-ingat-Nya dalam hati nurani, ruh dan rasa yang selalu menghayati diri-Nya sehingga dengan seyakin-yakinnya telah mengenal Dia, Dzat yang al-ghaib dan Allah Asma’-Nya).
Sama sekali tidak akan berani mengaku dan merasa menjadi guru. Ahl al-dzikr takutnya luar biasa, seandainya muncul watak berani menyekutukan Allah Swt. Sebab, dia sendiri yang diwujudkan jasad sebagai manusia biasa, juga berusaha keras bagaimana seharusnya mengamalkan seluruh petunjuk dan perintah dari guru yang memberi tugas kepada dirinya.
Dan menyempurnakan (mukammil). Maksudnya bagi murid yang taat sepenuh hati kepadanya, ia juga akan sempurna. Selamat dan bahagia bertemu dengan Dzat Yang Maha Sempurna.
- Senang mujâhadah, melaksanakan amal perbuatan yang mudah dikerjakan oleh gerak tingkah lakunya jasad, seperti memperbanyak shalat, puasa, membaca Alquran, serta amal ibadah lain yang besar faedahnya baik untuk diri sendiri mupun untuk orang lain. Sebagaimana yang banyak disabdakan oleh Hadis-Hadis Nabi Muhammad Saw, termasuk perbuatan yang kebanyakan orang menganggap sepele. Seperti halnya menyingkirkan duri dari jalan.
- Senang melakukan mujahadah yang harus disertai dengan:
- Budi pekerti yang baik (bi tahsîn al-akhlâq). Ahlak yang baik ini terbentuk dari seseorang yang ilmunya bermanfaat. Yaitu seseorang yang dengan ilmunya itu selalu mengetahui terhadap aib dirinya sendiri. Dengan demikian akan Allah Swt akan menjadikan seorang hamba pandai untuk dipandaikan mengadili dirinya sendiri.
Sadar bahwa ternyata aibnya selalu menyertai perbuatan salah dan dosa, yang selanjutnya perbuatan salah dan dosa itu akan ditutupi dengan perbuatan-perbuatan baik. Itulah sebabnya orang yang baik budi pekertinya maka ia tidak akan mementingkan dirinya sendiri, dengan rela hati meringankan beban orang lain serta gemar menolong atas derita sesama.
- Sucinya jiwa raga (tazkiyah al-nafs), adalah hamba Allah Swt yang sangat berhati-hati agar apa yang dimakan, dipakai dan ditempati berasal dari hasil yang benar-benar terjamin kehalalannya. Memenuhi wasiat guru kepada segenap muridnya yaitu:
“Urip ing ndunyo iki mosok angel, sauger gelem ukril ya gempil. Sing angel iku sejatine, yen ora merkuleh pitulungane Gusti Allah yaiku olehe tansah gelem merangi nafsune dewe supaya patuh lan tunduk didadekake tunggangane atinurani, roh lan rasa bali maring Allah hingga tumeka”.
Hidup di dunia ini tidaklah sulit, asal ada kemauan untuk bekerja (kreatif) ya jadi mudah. Yang sulit adalah berusaha mendapatkan pertolongan Allah Swt. Yaitu, kemauan untuk memerangi hawa nafsunya sendiri agar dapat patuh dan tunduk untuk dijadikan kendaraan hati nurani, ruh dan rasa pulang kembali kepada Allah hingga sampai kepada-Nya.
- Beningnya hati (tashfiyah al-qalb). Hati yang bening adalah hati yang dilatih dan dididik agar tidak digunakan bagi munculnya angan-angan dan gagasan (hiyal wahmi) yang terjadi karena mengikuti kehendak watak manusia. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar hati ini terlatih hanya untuk mengingat-ingat hal-hal yang diridhai oleh Tuhan.
- Senang melakukan hal-hal bagi syi’arnya agama Allah Swt. Seperti membangun sumber-sumber pendidikan bagi penyiapan generasi yang ‘ârif billâh yang didukung oleh pendayagunaan sarana dan prasarana terhadap kesiapan dayanya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
- Senang bersama-sama sesama saudara setujuan dan secita-cita untuk membuktikan rasa cintanya kepada Allah Swt supaya menjadi al-Syaththâr. Yakni hamba yang ditarik fadhal dan rahmat-Nya telah dapat mengeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia.
Hingga yang tetap dalam hatinya hanyalah Diri-Nya Tuhan Dzat Yang al-Ghaib dan wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya. Ini adalah satu-satunya jalan yang tetap bagi selamatnya mati dan sekaligus memenuhi wasiat Nabi Muhammad SAW.. “Mûtû qabla an tamûtû”.