Sedang Membaca
Sabilus Salikin (144): Fana’ dan Baqa’
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (144): Fana’ dan Baqa’

Tentang Tasawuf

Hakikat fana’ adalah hilangnya sifat-sifat yang hina, dan baqa’ adalah wujudnya sifat-sifat yang terpuji. Ketika seorang hamba (salik) mengganti sifat-sifatnya yang hina, maka tercapailah baginya fana’ dan baqa’.

Fana’ ada 2 macam; pertama, sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu dengan banyak riyadhah. Kedua, tidak adanya pengindraan terhadap alam malakut, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam keagungan Allah Sang Pencipta, dan musyahadah (melihat) kepada Allah Yang haq, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172, dan al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Macam-macam Fana’ dan Baqa’

Dalam ilmu tasawuf ada istilah fana’ yaitu hancur leburnya diri manusia dari sifat tercela. Fana’ ada dua macam yang pertama adalah dengan banyak melatih diri, dan yang kedua menenggelamkan diri dalam keagungan dzat Allah SWT

“Fana’ ada dua bagian: (pertama) sebagaimana telah dijelaskan yaitu dengan memperbanyak melatih diri, (kedua) tidak adanya pengindraan di dalam alam malaikat, yaitu menenggelamkan diri dalam keagungan dzat yang menciptakan makhluk dan mampu melihat Allah SWT dengan nyata, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172).

Perbedaan Hal dan Maqâm

Ahwal (hal) adalah pemberian (anugrah), dan maqâmat (maqâm) adalah usaha. Ahwal datang dari sifat kemurahan Allah SWT dan maqâm bisa diraih dengan mengerahkan segala kemampuan. Adapun orang yang mempunyai maqâm itu menempati pada posisinya, sedangkan orang yang mempunyai hal itu meningkat ahwal-nya, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 57).

Baca juga:  Baba Tahir, Sufi Penyambung Aspirasi Rakyat

Cara Mengatasi Hijab dan Cara Mujahadah

Seorang salik tidak bisa mencapai wushul karena adanya hijab yang menghalanginya. Hijab secara bahasa berarti tabir atau penghalang. Hijab ada 2 macam; hijab Nuraniyah dan hijab Dzulmaniyah. Hijab Nuraniyah adalah hijab cahaya, sedangkan hijab Dzulmaniyah adalah hijab kegelapan.

Agar seorang salik hatinya terbebas dari hijab-hijab tersebut, dia harus bermujahadah memersangi dan melawan hawa nafsunya, dan membebaskan dirinya dari segala kesenangan nafsunya. Hal ini disebabkan karena nafsu adalah musuh terbesar bagi diri salik yang menjadi hijab dirinya dari Allah SWT

Mujahadah pun beragam caranya yang masing-masing mujahadah tersebut tidak seluruhnya cocok/sesuai bagi seorang salik. Semua itu bergantung pada kadar kekuatan dan kelemahan diri salik, serta pemahamannya terhadap sesuatu yang lebih membeRatkan dengan melihat pada keadaan dan waktu pelaksanaan mujahadah.

Sebagai contoh, mujahadah puasa dan shalat akan terasa lebih berat bagi orang-orang kaya dan penguasa, daripada mujahadah dengan shadaqah dan memerdekakan hamba sahaya. Sebaliknya, mujahadah dengan shadaqah itu lebih berat bagi orang fakir, dan mujahadah dengan memerdekakan hamba sahaya itu lebih beRat bagi orang yang rakus harta.

Mujahadah dengan meninggalkan perdebatan, meninggalkan menampakkan kewibawaan, meninggalkan sifat pamer di majelis, dan meninggalkan untuk menjadi pimpinan, itu lebih berat bagi orang-orang yang berilmu daripada mujahadah dengan puasa dan sholat.

Baca juga:  Sabilus Salikin (59): Wirid Malam Tarekat Ghazaliyah

Demikian halnya dengan mujahadah puasa pada musim kemarau, akan terasa lebih berat daripada puasa pada musim penghujan. Dan sebaliknya, mujahadah dengan sholat malam pada musim kemarau, terasa lebih ringan daripada sholat malam pada musim penghujan.

Penentuan jenis mujahadah ini bukan ditentukan oleh diri salik sendiri, akan tetapi bergantung pada bimbingan dari mursyid. Karena menentukan mujahadah ini adalah hal yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan (jika ditentukan oleh murid sendiri).

Esensi (inti, pokok) dari mujahadah adalah menyapih nafsu dari hal-hal yang disukai dan memperdayakan nafsu untuk tidak mengikuti kesenangannya dalam setiap saat. Orang-orang arif berkata: “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan, namun kami mengambilnya dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kesenangan, menjalankan perintah, dan menjauhi larangan”.

Sebagian masyayikh tarekat Naqsyabandiyah berkata: “Barangsiapa masuk ke madzhab (tarekat) kami, maka dia harus menjadikan empat jenis mati dalam dirinya; yaitu mati merah, mati hitam, mati putih, dan mati hijau. Mati merah adalah melawan nafsu. Mati hitam adalah kuat dan sabar atas perlakuan buruk orang lain kepada dirinya. Mati putih adalah lapar. Dan mati hijau adalah meletakkan satu tambalan di atas tambalan yang lain”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 467).

Zikir Khafi, Muraqabah, dan Rabitah

Ahli tarekat berkata bahwa jalan yang menuju kepada Allah SWT ada tiga:

  1. Zikir khafi, yaitu zikir sirri di dalam lathaif yang dihadapkan kepada Allah SWT dengan meniadakan semua getaran hati (tidak mengingat perkara yang sudah terjadi dan akan terjadi), dan tidak mengingat selain Allah Swt
Baca juga:  Sabilus Salikin (171): Sejarah Perkembangan Tarekat Idrisiyah

 

  1. Muroqobah, yaitu mengawasi hati terhadap Allah Swt, seperti mengawasinya kucing terhadap tikus, serta mengharap limpahan anugerah Allah SWT

 

  1. Melanggengkan hadir dan rabitah dan khidmah kepada guru yang memberikan pengaruh secara utuh dan tata caranya.

Syarat tiga ini tidak mudah dilakukan oleh seorang salik (orang yang menjalani tarekat yang haqq) kecuali menggunakan ilmu, amal dan riyadhah.

Sebagian dari syarat orang yang suluk mampu menjalani tiga perkara itu harus sabar dan ridha terhadap ketetapan Allah SWT dan lain-lainnya. Ketika sudah selesai dari zikir lathaif tujuh, dengan izin maka pindahlah guru kepada muraqabah dua puluh yang akan disebutkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top