Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang qadhi (hakim agama) yang bernama Ibnu al-Barra’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnu al-Barra’.
Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya, (al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 169-170, lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).
Al-Syadzili datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru al-Syadzili, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan al-Syadzili melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatanginya. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang ‘alim, shalih dan ahli karamah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasihat-nasihatnya.
i antara mereka tampak, antara lain al-Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Makhluf al-Siqli, Abu ‘Abdullah al-Shabuni, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz al-Zaituni, Abu ‘Abdullah al-Bajja’i al-Khayyath, dan Abu ‘Abdullah al-Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman ruhani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci al-Syadzili. Padahal, pada waktu itu al-Syadzili masih berumur kurang lebih 30 tahun (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 32).
Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnu al-Barra’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan al-Syadzili di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan al-Syadzili ditangkap oleh telinga Ibnu al-Barra’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.
Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni al-Syadzili, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnu al-Barra’. Timbul prasangka buruk bahwa al-Syadzili telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnu al-Barra’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan al-Syadzili.
Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnah dari orang yang dengki kepadanya, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. al-Syadzili adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemuliaan al-Syadzili.
Setelah itu, terbetik dalam hati al-Syadzili untuk kembali menunaikan ibadah haji. al-Syadzili lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah al-Syadzili dengan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan jauh menuju ke negeri Mesir (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).
Dalam perjalanan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnu al-Barra’, sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran al-Syadzili di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menunjukkan bahwa al-Syadzili adalah kekasih-Nya.
Dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekertinya, akhirnya al-Syadzili bersedia memaafkan dan mendo‘akan Sultan Al-Kamil hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan al-Syadzili merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).
Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, al-Syadzili tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya al-Syadzili pun mohon diri kepada Sultan Al-Kamil untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Makkah.
Di sana al-Syadzili mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu al-Syadzili melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna berziarah ke makam Rasulullah Saw. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah al-Syadzili beserta rombongan ke negeri Tunisia (al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 30-31).
Sewaktu al-Syadzili kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangannya. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena al-Syadzili yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi.
Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnu al-Barra’. Bagi dia, kembalinya al-Syadzili berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu, dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar al-Syadzili, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.
Setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, al-Syadzili lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel ruhani yang al-Syadzili dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang ia dirikan di Tunisia adalah pada tahun 625 H./1228 M., ketika al-Syadzili berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatanginya, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Di antara murid-murid al-Syadzili yang datang dari luar negeri Tunisia, terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Maroko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran al-Syadzili sendiri, yang bernama Abu al-‘Abbas al-Mursi (w. 686 H./1289 M), (Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 67).
Pertemuan al-Syadzili dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari al-Syadzili berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku”.
Menurut sebuah catatan, pemuda al-Marsi (al-Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula berguru secara langsung kepada al-Syaikh ‘Abd. al-Salam sampai meninggalnya tahun 625 H./ 1228 M. walaupun tidak terlalu lama.
Kembalinya al-Syadzili ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat al-Syadzili di gunung Barbathah dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu al-Syadzili jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi. Pada saat pemetaan, guru al-Syadzili itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka al-Syadzili kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.
Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam al-Syadzili bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya ‘Ali, sudah saatnya kini Engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah Engkau ke negeri Mesir.’’ Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai ‘Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karamah. Selain itu, di sana pula kelak Engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin”.
Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya al-Syadzili dari puncak gunung Barbathah, Maroko, yang merupakan langkah pertama, adalah karena atas perintah gurunya, al-Syaikh ‘Abd al-Salam. Kemudian, pada waktu turunnya al-Syadzili dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah Swt. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya al-Syadzili dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah Saw., (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).