Dalam karyanya berjudul Kasykül, Syakh Kalimullah juga berbicara tentang berbagai zikir yang diturunkan dari hati ke hati. Para syaikh mengajarkannya hal seperti itu kepada murid-murid hanya sesudah dibersihkan oleh perjuangan, penolakan diri, dan tobat mereka sendiri selama empat puluh hari (chillas).
- Satu zikir khusus seperti ini adalah dzikr-e-mâ’iyat, yang diamalkan dengan mengucapkan ya ma’i, yâ ma’i, yâ hu (wahai Engkau yang bersamaku). Metode mengamalkanya adalah sebagai berikut: Sang dzakir duduk dengan lutut terlipat, dengan kedua paha di tanah, serta memegang kuat-kuat bahu kiri dengan tangan kanan dan bahu kanan dengan tangan kiri. Kemudian ia mengulang-ulang enam kata di atas sedemikian rupa sehingga setiap ketukan bisa dikenakan pada setiap kata. Ketukan pertama mestilah berada di antara kaki kanan dan lutut kanan, ketukan kedua ke arah langit, ketukan ketiga antara kaki kiri dan lutut kiri, ketukan keempat pada hati, dan ketukan kelima dengan energi penuh di daerah hati. Diucapkan dengan kesadaran jiwa seperti ini, kata hu bermakna “ketunggalan mutlak” (ahadiyyat muthlaqah).
Sesuai dengan firman Allah, “Tidak ada sesuatu menyerupai-Nya…. (QS. Asy-Syürâ, 42:11).
Lebih baik jika selama zikir ini berlangsung, makanan sang dzâkir adalah susu. Bisa juga ditambahkan kunyit. Ia mesti juga mengenakan wewangian. Boleh jadi, zikir terbatas hanya pada tiga kata saja, yakni hu, hu, ya ma’i, dan sang dzákir mengetukkan hu, hu ke arah lagit, dan ma’i ke hati.
- Zikir berikutnya disebut dzikr aI-kulliyat (zikirkeseluruhan) yang dilakukan sebagai berikut:
Kata-kata yang digunakan adalah: Bika al-kull, minka al-kull, ilayka al-kull, yâ kull al-kull! (Bersama-Mu segala sesuatu, dari-Mu segala sesuatu, kepada-Mu kembali segala sesuatu, Wahai Yang Mahasegalanya). Sang dzâkir duduk bersila. Ia mesti mengetukkan sekali ke hadapannya, sekali ke sisi sebelah kanan, dan sekali ke arah langit atau hati. Dengan dua zikir ini, dicapai penyaksian ihwal Zat berikut sifat-sifatnya.
- Zikir khusus ketiga ialah dzikr al-Ihâthah (zikir keserbameliputan), yakni: Ya Muhith Dhahirun wa Bathinan (Wahai Engkau yang meliputi segala sesuatu, secara lahir maupun batin). Zikir ini juga membimbing ke arah penyaksian. Cara melakukannya iàlah bahwa sang dzakir membuka matanya ketika mengucapkan dhairun dan menutupnya ketika mengucapkan
- Zikir keempat adalah Mawh-al-jihat. Kata-kata yang digunakan adalah: Anta fawqi, anta tahti, anta amami, anta khalfi, anta yamini, anta syimali, anta fiyya wa ana ma‘a al-jihat fika aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah (Engkau ada di atasku, Engkau ada di bawahku, Engkau ada di depanku, Engkau ada di belakangku, Engkau ada di sebelah kananku, Engkau ada di sebelah kiriku, Engkau ada dalam diriku, dan aku dengan genap penjuru arah ada dalam diri-Mu. Ke mana pun kamu hadapkan wajahmu, di sana ada wajah Allah).
Berikut ini adalah cara mengamalkannya: Sang dzakir mesti berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit, dan mengucapkan anta fawqi, kemudian memandang ke tanah dan mengucapkan anta tahti. Sambil berdiri, ia melihat ke depan dan mengucapkan anta amami. Kemudian ia bergerak ke sebelah kanan, menoleh ke belakang dan mengucapkan anta khalfi. Kemudian, seraya menoleh ke kanan, ia mesti mengucapkan anta syimali, dan ketika mengetukkan pada hati, ia mesti mengucapkan anta fiyya. Akhirnya, dengan menoleh ke kiri, ia berputar ke segala arah dan mengucapkan ana ma’a al-jihat fika, aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah. Sebagian orang pergi ke gunung atau ke hutan untuk mengamalkan zikir ini agar tak ada seorang pun melihatnya.
- Dari semua zikir ini, ada satu yang disebut dzikr at-tajalliy al-anâniyyah (pencerahan diri) dan inilah zikir inni anallaha, la ilaha illa ana (sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku). Zikir ini dilakukan seratus kali sesudah tengah malam. Caranya ialah sebagai berikut: Sang dzakir menengadahkan kepalanya ke langit dan mengucapkan: inni anallaha, dan kemudian sambil menoleh ke kanan, ia mengucapkan la ilaha, dan akhirnya ia mengetukkan illa ana dengan kekuatan penuh di daerah hati.
Dalam semua zikir di atas, merasakan pembimbing spiritual dan memahami makna kata-kata dalam zikir adalah syarat yang mesti ada, asalkan syaikh atau pembimbing spiritual adalah seorang sufi yang “berkesadaran”. Jika tidak, memahami maknanya saja sudah dipandang cukup memadai.
Mestilah diperhatikan bahwa zikir-zikir itu berakar dalam, dan bergantung pada cinta. Semakin sang dzakir mencintai Allah, maka semakin efektif zikir itu. Akan tetapi, dengan terus-menerus mengamalkan zikir, ikatan cinta akan makin bertambah kuat dan api cinta pun tersulut dalam hati. Zikir menyalakan bara api cinta yang padam, dan sang hamba tidak bisa melangkah maju tanpa cinta.
Gagasan itu diungkapkan dengan indah dalam bait-bait syair berikut ini:
Awas jangan pandang keadaan manusia sebagai permainan,
Dengan tidak mengerjakan sesuatu, jangan berpikir telah merampungkan kewajiban.
Jika engkau tidak sepenuhnya ditahap api cinta,
Janganlah mencari kesatuan ilahi dengan sekadar bicara.
Jika zikir itu sudah selesai, sang dzakir mesti mengucapkan tiga kali:
Mahasuci Allah segala puji hanya bagi-Nya semata; Mahasuci Allah, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi-Nya semata.
Dan kemudian membaca doa berikut: Ya Allah, sungguh Engkau telah berfirman: “Ingatlah Aku dan Aku pasti akan mengingatmu.” Aku mengingat-Mu sesuai dengan akal dan pemahamanku, ingatlah aku sesuai dengan pengetahuan, rahmat, ampunan, dan kemurahan-Mu! Ya Allah, bukakan telinga-telinga hati kami dengan mengingat-Mu! Wahai Engkau, yang lebih baik dari semua yang berzikir!