Pada masa kekuasaan Presiden Habibie, Gus Dur pernah mampir di rumah Pak Harto di Cendana, dengan mengajak seorang yang disebutnya “kiai kampung”, dari Metro, Lampung Tengah. Waktu itu bulan puasa.
Setelah berbuka dan omong-omong seperlunya, Pak Harto nyeletuk: “Gus Dur dan Pak Kiai ini bakal sampai malam kan di sini?”
“O, tidak,” jawab Gus Dur. “Saya harus segera pergi karena ada janji dengan Gus Joyo, adik Sri Sultan Hamangkubuwono X. Tapi Pak Kiai ini biar ditinggal di sini. Kan maksudnya buat ngimami (menjadi imam) salat Tarawih, Kan?”
Pak Harto manggut-manggut.
“Tapi,” lanjut Gus Dur, “sebelumnya perlu ada klarifikasi dulu.”
“Klarifikasi apa?” tanya Pak Harto.
“Harus jelas dulu, tarawihnya mau pakai gaya NU lama atau gaya NU baru?”
“Lho, apa ada macam-macam gaya NU? Kalau NU lama bagaimana? Kalau NU baru bagaimana?” tanya Pak Harto makin heran.
“Kalau NU gaya lama tarawih dan witir 23 rakaat. Gaya NU baru diskon 60%, hanya 11 rakaat!”
Pak Harto cuma ketawa, karena tidak terlalu paham. Dan Pak Kiai nyeletuk, “Iya deh diskon 60 persen pun nggak apa-apa.”
Harap diketahui, “tarawih diskon” menjadi 11 rakaat itu adalah tarawih gaya Muhammadiyah, Keluarga Pak Harto sendiri disebut hidup dengan “cara Muhammadiyah, mati dengan cara NU”.
Sebab Pak Harto pernah mengaku bahwa dia semasa sekolah di Jogjakarta belajar di SMP Muhammadiyah (jadi “berakidah” Muhammadiyah), tapi ketika istrinya meninggal, rumahnya di Cendana sibuk dengan macam-macam tahlilan (tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya) yang merupakan “trade mark” NU.
Jadi, kalau Gus Dur menawarkan “tarawih diskon” 11 rakaat itu, Pak Harto dengan senang hati menerima saja. Itu artinya, dia kembali ke “khittahnya” sebagai Muhammadiyah. (Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)