Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Nasarudin Umar mengingatkan umat Islam tidak boleh melakukan pembiaran atau abai terhadap bahaya Covid-19. Umat Islam harus berikthtiar, agar Covid-19 tidak terus tersebar. Jika umat Islam telah berupaya mencegah, namun kemudian terkena Covid-19 masih terkena, itulah yang disebut dengan takdir.
“Takdir itu berikhtiair secara maksimum, melakukan berbagai choice (percobaan) untuk menyelamatkan. Kalau sudah dilakukan penyelamatan diri, maka itu namanya takdir,” kata Prof Nasaruddin Umar saat mengisi Pesantren Digital Majelis Tawa Telkomse (MTT), Rabu (14/7).
Menurut Prof Nasaruddin, tidak bisa disebut qadar atau takdir kalau manusia tidak berikhtiar, sehingga terkena suatu bahaya sampai kematian. “Itu malas, sembrono. Orang yang mati sembrono tidak mati terhormat. Bahkan ada istilah mati dalam keadaan kafir,” ujarnya.
Mati tidak terhormat tersebut seperti juga terjadi pada kematian karena bunuh diri atau aksi bom bunuh diri dengan alasan jihad sekalipun. Orang semacam itu mati dalam keadaan murtad atau musrik.
Lalu bagaimana menyikapi saat musibah seperti wabah Covid-19 itu datang? Menurut Prof Nasaruddin sikap kita pada saat musibah itu datang harus bersahabat, bahkan kalau perlu menikmati penderitaan. Orang yang dapat menikmati penderitaan sejatinya dijanjikan kedekatan dirinya kepada Allah SWT.
“Tidak ada puncak kenikmaan paling tinggi bagi manusia melainkan ketika seorang hamba berjumpa dengan Tuhan. Makin dekat dengan Tuhan makin damai,” imbuh Pengasuh Pondok Pesantren Modern Al Ikhlas Bone Sulawesi Selatan.
Ia menjabarkan kematian ada dua macam, yakni terpisahnya nyawa dengan tubuh dan kembalinya ruh kepada Tuhan. Jenis yang kedua saat seseorang beribadah dengan khusyu, lalu menyatu dengan Allah, mendekatkan dirinya kepada Tuhannya itulah hakikat Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
“Kematian yang kedua ini bisa terjadi tanpa keluarnya roh dari dalam tubuh. Kalau kita shalat lima waktu dengan khusyuk mencapai puncak, kita mati di situ. Saat membaca Al-Qur’an, saat memegang tasbih kita menyebut nama-Nya, itulah yang disebut mati mati sebelum mati,” bebernya.
Dari kesadaran itu, umat Islam tidak akan takut mati dalam arti berpisahnya ruh dengan tubuh, sebab kematian ibarat ‘pindah kamar’. Dahulu manusia pindah dari rahim ibu ke dunia ini, lalu dijemput ke alam kubur lalu ruh kita pindah lagi ke akhirat.
Sebelumnya, Prof Nasarudin juga mengatakan adanya Covid-19 ibarat surat cinta dari Allah. Sekian lama, ungkapnya, umat Islam diundang ke langit dengan surat putih berupa berbagai kesenangan. Namun dengan kesenangan itu manusia tidak pernah naik ke langit, sehingga Allah mengirimkan surat cinta dalam bentuk musibah yakni Covid-19.