Sedang Membaca
Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (9): Wabah (Tho’un) dalam Literatur Islam
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (9): Wabah (Tho’un) dalam Literatur Islam

Lomba Menulis Ramadan Berkah Ma'had Ali

Adapun tulisan pemenang ketiga lomba menulis Ramadan Berkah kategori Ma’had Aly atau Perguruan Tinggi adalah Muchammad Zahrul Anam. Anam adalah Santri Ma’had Aly Fadhlul Jamil, Sarang, Rembang, Jateng. Selamat ya, Anam. Berikut tulisannya. Selamat menyimak!

Dunia dilanda kecemasan seiring munculnya pandemi Covid-19. Banyak negara yang awalnya menjadi tujuan destinasi berubah sunyi, menjelma seolah tidak berpenghuni hingga menyebabkan ketidakstabilan pada seluruh sistem, aktivitas, dan layanan publik.

Hampir seluruh dunia mengambil langkah dengan menginstruksikan lockdown guna memutus mata rantai penyebaran pandemi tersebut. Sebuah kebijakan yang mengharuskan semua individu untuk tetap berdiam di rumah.

Indonesia tidak ketinggalan melaksanakan kebijakan lockdown meski tidak secara menyeluruh melainkan sebatas physical distancing, mengurangi intensitas interaksi antar individu.

Sebagai umat Islam ada kecemasan tersendiri terkait dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menginstruksikan lockdown maupun physical distancing dimana ada kebijakan larangan aktivitas keagamaan seperti instruksi penutupan masjid hingga peniadaan sholat jamaah dan sholat jumat.

Jauh sebelum kecemasan ini melanda dunia, Islam telah mengenal sebuah wabah yang melanda umat manusia dengan memakan banyak korban jiwa. Tho’un, demikan sejarah Islam mencatatnya.

Tho’un menurut ustadz Yusuf Khoyyad adalah sebuah wabah pandemik yang awalnya menyerang tikus atau dan binatang pengerat dimana wabah ini menyebar pada hewan lain melalui perantara kutu yang kemudian menjangkit pada manusia. (Badhlul Mā’ūn Fī Fadhli al-Thā’ūn, hal: 22).

Baca juga:  Sajian Khusus: Mendulang Warisan Diplomasi Gus Dur di Tanah Persia

Dalam Ensiklopedia Britania disebutkan bahwa Tho’un pada masa dahulu adalah istilah untuk sebuah penyakit yang menyebar secara luas dan menyebabkan kematian dengan skala besar. Namun untuk masa sekarang, Tho’un adalah suatu jenis demam yang disebabkan oleh bakteri Ashubah (pasteurella pestis) yang menyebar melalui kutu-kutu tikus dimana sebenarnya adalah wabah yang menyerang pada binatang pengerat. Wabah ini menjangkiti manusia disebabkan adanya interaksi dengan kutu pada hewan pengerat yang telah terjangkit.

Imam al-Hafidz Ahmad Ibnu Ali Ibnu Hajar al-Asqalani menyadur keterangan dari Abi al-Walid al-Baji bahwa Tho’un adalah suatu penyakit yang menimpa banyak manusia di segala penjuru dunia (dengan satu jenis penyakit yang sama).

Dari definisi yang dipaparkan oleh para cendikiawan muslim di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Tho’un adalah sebutan untuk mengistilahkan suatu penyakit yang melanda dunia (dengan jenis penyakit yang sama) serta memakan banyak korban jiwa. Setiap penyakit atau wabah yang bersifat seperti di atas maka dinamakan Tho’un.

Layaknya penyakit yang menimpa Abu Lahab yang menyebabkan jasadnya dibiarkan terlantar oleh masyarakat bahkan keluarganya sendiri sebelum akhirnya keluarga Abu Lahab menguburkannya karena khawatir akan merasa hina jika terus membiarkannya terlantar, yaitu penyakit adasah (jerawat atau bisul seperti kacang arab/adasah yang menyerang kulit) penyakit/wabah ini juga disebut bagian atau termasuk dari penyakit Tho’un dimana tradisi orang Arab akan membiarkan terlantar jasad orang yang meninggal disebabkan oleh penyakit/wabah ini. (Jalā’ul afhām Syarkhu ‘Aqidatul Awam, hal 102).

Baca juga:  Masa Depan Indonesia di Mata Kaum Bersarung

Lantas bagaimana sikap kita terhadap wabah ini ? Nabi Muhammad SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  الطاعون اية الرجز ابتلى الله عز وجل به ناسا من عباده فاذا سمعتم به فلا تدخلوا عليه واذا وقع بارض وانتم بها فلا تفرّوا منه

Rasulullah SAW bersabda: “Tho’un adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hambanya dari kalangan manusia, maka apabila kalian mendengar penyakit itu menimpa suatu negeri maka janganlah kalian semua masuk ke negeri tersebut dan apabila wabah itu menjangkiti negara dimana kalian tinggal maka janganlah lari darinya”. [HR. Bukhori]

Rasulullah SAW juga menyeru agar tidak berbaur antara orang sakit dan sehat.

قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يريدنّ ممرض على مصحّ

janganlah yang sakit dicampur dengan yang sehat

Demikian Rasulullah SAW menghimbau umat manusia agar menghindari penyakit atau wabah ini, namun perlu diingat bahwa dalam Islam tidak ada istilah orang terjangkit suatu penyakit atau wabah dikarenakan penularan, semua adalah kehendak Allah SWT. Seperti keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

لا عدوى ولا طيرة

“tidak ada penularan penyakit dan tidak ada tiyaroh (mitos terjadinya suatu hal dikarenakan ada pertanda burung)”

Hadis ini seolah bertentangan dengan hadis seruan Nabi Muhamad SAW tentang himbauan lari dari penyakit Judham (Lepra) yaitu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori:

Baca juga:  Apa Tujuan Kiai Ulil Abshar Abdalla Ngaji Ihya?

فرّمن المجذوم كفرارك من الا سد

“larilah (hindarkanlah) dirimu dari penyakit judham (lepra; penyakit kulit yang menyebabkan anggota tubuh rapuh) layaknya engkau lari dari singa”

Terkait hadis yang seolah terjadi kontradiktif tersebut, Ulama’ hadis berpendapat bahwa dua hadis tersebut tidaklah kontradiktif melainkan bisa dikomparasikan dengan kesimpulan bahwa tidak ada istilah penularan pada penyakit atau wabah dengan dalil hadis:

لا عدوى ولا طيرة

Jika ada orang tertular suatu penyakit atau wabah lantas siapa yang menyebabkan penyakit atau wabah pada penderita pertama? tentu Allah SWT. Adapun hadis

فرّمن المجذوم كفرارك من الا سد

Rasulullah SAW menyeru menghindari penderita judham agar manusia tidak terjebak pada pemahaman yang salah, bahwa ada penularan dalam penyakit atau wabah. Andaikan ada orang sehat berbaur dengan yang terjangkit penyakit dan kemudian menderita penyakit yang sama dengan si-penderita pertama niscaya akan terjadi pemahaman bahwa orang yang berbaur dalam keadaan sehat tersebut tertular oleh penderita pertama.

Oleh karenanya menghindari terhadap yang terjangkit adalah bentuk dari menghindari asumsi adanya penularan, sedangkan Allah SWT lah sumber dari segala sesuatu hal. Wallāhu A’lam bi al-Showāb.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top