Adapun tulisan pemenang kedua lomba menulis Ramadan Berkah kategori Umum adalah Moh. Azhari, M.H. Azhari adalah Santri Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Selamat ya, Azhari. Berikut tulisannya. Selamat menyimak!
“There is no coming to consciousness without pain”
(Carl Gustav Jung)
“Tidak ada kesadaran tanpa rasa sakit”, Carl Gustav Jung telah membeberkan satu di antara beberapa quote yang bagi saya sangat menginspirasi. Menarik diperbincangkan antara kesadaran dan rasa sakit terkadang memang memiliki korelasi meski tidak selamanya seperti itu. Salah satu contoh, sejarah memaparkan bahwa Negeri ini tidak hanya satu kali dihuni oleh bangsa kolonial. Tentu hal itu sangat berpengaruh terhadap mindset masyarakat Indonesia; dari rasa sakit (baca: tidak nyaman) akibat penjajahan sampai memunculkan kesadaran (kenyamanan) dari arti sebuah kemerdekaan Sehingga muncullah “ide” untuk merebut kembali Indonesia. Semangat kemerdekaan yang tak pernah padam tertanam dalam dan dari jiwa masyarakat yang tertindas.
Tidak hanya pada skala besar, di skala kecil pun tidak sedikit dari masyarakat menyoal mengenai kesadaran yang memiliki keterkaitan dengan rasa sakit. Seperti saat dalam kondisi sakit atau tidak enak badan, kesadaran secara virtual hadir dengan sendirinya bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang paling berharga. Padahal saat ia sehat, jarang sekali bersyukur terhadap kondisi saat itu. Saya pun tidak kaget kalau sifat “lupa” pada diri manusia terkadang hadir saat ia berada di zona nyaman.
Pada tahun 2019 awal, Indonesia masih berada di zona nyaman dan aman. Sampai di penghujung tahun 2019, masyarakat kembali dihebohkan dengan persebaran wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Covid-19 tidak hanya berhasil mengubah salah satu kultur masyarakat kebanyakan—suka silaturahim dan ngumpul bareng. Namun lebih dari itu, tanpa disadari transformasi sistem kehidupan ala kota kemudian diterapkan di Desa secara heroik. Dari yang suka ngumpul tergantikan menjadi penyendirian. Dari yang kurang suka berjarak, secara pelan-pelan diimbau untuk jaga jarak.
Pelbagai upaya dilakukan tidak lain dan tidak bukan untuk mengurangi angka korban Covid-19. Dan dengan diterapkannya imbauan jaga jarak 1 sampai 2 meter diharapkan mampu memutus mata rantai penyebaran pandemi Corona. Boleh dikata, adanya Corona menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Utamanya masyarakat desa. Saya memaklumi saat masyarakat desa dibilang kurang maksimal melaksanakan kultur “jaga jarak”. Sebab bukan lagu lama lagi bagi orang desa dalam menjalin interaksi secara akut ke sesama tetangga maupun ke orang lain.
Kompetensi Budaya
Kalau boleh saya menilai; setidaknya ada dua persoalan bagi masyarakat desa saat menghadapi pandemi ini. Pertama, data di beberapa media pemerintahan, utamanya dari Dinas Kesehatan, menunjukkan angka penderita Covid-19 di beberapa Kabupaten/Kota. Sehingga tidak sedikit dari pelbagai daerah yang diklaim sebagai zona merah. Peristiwa demikian tentu menyita perhatian warga. Kedua, adanya kompetensi budaya. Akulturasi dengan hal-hal baru semisal social distancing, physical distancing, PSBB, memakai masker saat keluar rumah dan semacamnya, di mata masyarakat tidak semudah menyemprotkan hand sanitizer ke tangan kita. Butuh waktu yang tidak sebentar. Belum lagi doktrin dari para tokoh keagamaan bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan selalu menghantui masyarakat. Utamanya mereka yang menurut istilah saya ‘Islam KTP’.
Bagi masyarakat desa, dunia luar seringkali bersifat asing (stranger) dibanding kebudayaan mereka sendiri. Seperti isyarat McLuhan (1992), bahwa kampung global (global village) dapat menjadi arena pertarungan dominasi kebudayaan yang berlangsung selektif. Antara budaya baru dengan budaya lama pasti mengalami pertarungan nilai dengan sendirinya. Gesekan dua kubu itulah yang masih dialami oleh masyarakat desa. Berapa banyak masyarakat petani yang masih belum menggunakan masker saat bekerja di sawah atau ladang? Saya pikir, sejatinya mereka tidak sehebat Avengers yang notabene kebal terhadap serangan apapun. Mereka sadar akan hal itu, dan juga tahu tentang adanya imbauan menggunakan masker saat bepergian. Nah, inilah yang saya sebut sebagai kompetensi kebudayaan.
Tanpa disadari, masyarakat dan lingkungan tentu memilah, memilih atau bahkan mengkomparasikan keduanya. Kebudayaan yang tidak laku di pasaran, pasti akan pulang ke tempat asalnya. Sedangkan kebudayaan yang bertahan, tetap bercokol sebagaimana mestinya. Pada titik ini, menjadi PR kita bersama—utamanya pemerintah dalam memberi pemahaman dari A-Z terhadap warga masyarakat. Tidak perlu formal, justru informal dan atau non formal akan lebih menyentuh serta mudah dipahami.
Kapan hari salah satu sahabat saya mengajak diskusi tentang bagaimana cara memberikan pemahaman yang utuh terhadap masyarakat mengenai Covid-19. Gagasan semacam itu hadir salah satunya dikarenakan melonjaknya tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap pandemi ini. Masyarakat cenderung percaya terhadap agitasi sejumlah orang yang sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Beberapa kasus diantaranya perihal penolakan warga terhadap jenazah akibat Covid-19 yang terjadi di Banyumas dan Semarang, Jawa Tengah. Usut demi usut, sebagaimana dilansir Kompas.com bahwa ada beberapa oknum yang berperan sebagai provokator. Sehingga mereka dijerat dengan pasal 212 KUHP dan 214 KUHP serta Pasal 14 ayat 1 UU No. 4 tahun 1984 tentang penanggulangan wabah (12/04/2020). Bahkan, lebih miris lagi saat si pelaku adalah salah satu Tokoh Masyarakat—jelas berpengaruh terhadap masyarakat sekitar.
Hal ini kemudian yang saya klaim sebagai persoalan rumit. Lebih-lebih bagi kalangan masyarakat dengan mindset “kolot”. Saat ditanya tentang pandemi Corona: mereka jawab simpel dan serasa “tidak memiliki beban”. “Hidup itu sudah diatur oleh Allah, jadi hidup mati kita sudah ada di tangan-Nya” tutur mereka dengan penuh bangga. Kadang saya bertanya pada diri sendiri, mengapa di tahun 2020 masih ada lempengan kaum fatalis? Tidakkah mereka sadar bahwa pernyataan itu justru memiliki dampak kronis bagi orang awam? Saya sama sekali tidak menyalahkan adagium tersebut. Saya pun mengakui kodrat dan iradat-Nya. Hanya saja serasa kurang bijaksana saat semua persoalan direspon melalui jalur fatalis.
Sindrom ‘Jaga Jarak’
Banyak cerita yang berkembang di masyarakat desa tentang kebijakan pemerintah, salah satunya mengenai Jaga Jarak. Disadari atau tidak, proses akulturasi mengalami hambatan yang tidak sedikit. Hal demikian disebabkan adanya hubungan langsung dengan masyarakat (interaksi sosial). Benar kata Partowisastro (2003), bahwa diantara proses asosiasi interaksi sosial pada dasarnya harus memenuhi konsep asimilasi, yaitu suatu proses yang memiliki ciri pembentukan persamaan sikap, pandangan, kebiasaan, pikiran dan tindakan sehingga seseoran gatau kelompok itu cenderung menjadi satu, mempunyai perhatian dan tujuan-tujuan yang sama. Kebersatuan pandangan guna menggapai tujuan yang sama masih jarang ditemui saat hadir kebijakan membumikan budaya jaga jarak. Kesan terusik tentu masih ada saat masyarakat merasa “nyaman” dengan kultur lama, lalu kemudian muncul imbauan kebiasaan baru.
Adanya kebiasaan baru di tengah-tengah masyarakat desa serasa seperti sindrom bagi masyarakat. Melihat kapasitas mereka tidak sama. Ada yang langsung menerima tanpa menyoal: bagi kalangan akademisi atau kelas masyarakat sosial yang selalu update informasi. Ada juga yang masih menyoal dan bahkan “ngeyel” untuk mengikuti imbauan jaga jarak. Karena diakui atau tidak, realitas masyarakat Indonesia adalah kemajemukan pada aspek sosiologis dan kultur.
Menurut psikolog asal Swiss Carl Gustav Jung, secara umum pribadi manusia terkotak menjadi dua kubu. Yakni introvertdan extrovert. Jika introvert lebih senang menyendiri, maka seorang extrovert lebih menyukai lingkungan yang interaktif. Mereka cukup antusias dalam hal baru dan senang bergaul. Sudut pandang ini pun menjadi pembeda respon masyarakat sosial dalam menerima atau tidak terhadap kebijakan baru. Bagi kalangan introvert sangat mungkin menerima kultur ‘jaga jarak’ dengan senang hati. Melihat kebiasaan mereka yang tidak jauh beda dari esensi jaga jarak. Tetapi bagi kelas extrovert akan menjadi beban dan kesulitan untuk mengganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru. Wajar jika mereka memandang kultur ‘jaga jarak’ sebagai sindrom baru.
Stratifikasi kelas sosial sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan kepribadian manusia. Dari inilah, pemerintah selaku pemangku kebijakan dirasa perlu memahami kelas-kelas sosial yang variatif. Dulu, saat saya menjala ilmu di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, salah seorang guru pernah bilang bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Hemat saya, interpretasi obat disini tidak melulu dipandang secara teks (baca: penawar). Tetapi justru ke arah pemaknaan yang lebih luas. Seperti tiap persoalan sangat dimungkinkan memiliki solusi bersamanya. Atau saat memasuki labirin kehidupan, tentu ada jalan keluarnya. Fa inna ma’al ‘usri yusran…
Saya sangat sepakat terhadap penyampaian Ir. Joko Widodo sebagai presiden RI, bahwa salah satu alasan Indonesia tidak menerapkan kebijakan Lockdown dikarenakan setiap negara setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisiplinan yang berbeda-beda, Selasa (24/3/2020), seperti dikutip Antara News. Semua orang tahu bahwa Indonesia tidak hanya kaya dari sisi alam yang dimiliki, tetapi juga kaya budaya dan bahasa. Keanekaragaman itulah di satu sisi menjadi embrio perbedaan respon masyarakat dalam menerima sebuah kebijakan. Lebih-lebih kebijakan yang arahnya membudaya. Namun demikian, saya sangat yakin pada akhirnya masyarakat pasti memilih sikap eklektik. Dari anggapan benar, berkembang menjadi sebuah hakikat kebenaran sejati.
Terakhir, menjadi tugas kita semua bagaimana memberi pemahaman secara utuh kepada masyarakat tentang pandemi corona. Supaya mereka benar-benar mengerti langkah yang semestinya dilakukan. Sosialisasi dan konsolidasi secara pelan-pelan menjadi langkah penting dan jitu. Mari sama-sama ubah pandangan “paksaan” menjadi “kebiasaan”. Sehingga kedisiplinan hadir tanpa diakomodir. Dan satu lagi, yakinlah badai pasti berlalu!