Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Mengenal Maestro Astronomi dari Pati

Bagi generasi sekarang, mendengar nama KH. Abdul Djalil Hamid mungkin kurang familiar. Berbeda dengan masyarakat Kudus dan Pati, khususnya di Tayu, nama tersebut tidaklah asing. Keilmuan dan kiprah sosialnya tidak sekadar di level nasional, tetapi internasional.

Lahir dari pasangan KH. Abdul Hamid dan Nyai Syamsiyah di Bulumanis Kidul, Margoyoso, Tayu, Pati, Mbah Djalil—sapaan mulia beliau—merupakan maestro astronomi atau ilmu falak yang tidak diragukan kemampuannya.

”Mbah Djalil diambil menantu KH. Nur Chudlrin, pendiri Masdarasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS). Beliau juga merupakan salah satu guru di TBS generasi pertama,” terang KH. Choirozyad.

Menurut KH. Choirozyad, Mbah Djalil mengajar di TBS antara lain semasa dengan KH. Arwani Amin dan KH. Turaichan Adjhuri. Sedangkan Kiai Turaichan merupakan ayahanda KH. Choirozyad, salah satu sesepuh madrasah TBS saat ini.

”Kalau secara usia, Mbah Djalil lebih senior daripada KH. Turaichan Adjhuri. Sedang untuk bidang ilmu falak, kepakaran Mbah Djalil sangat diakui,” terang KH. Choirozyad menambahkan.

Mbah Jalil juga merupakan keturunan ke-8 dari KH. Mutamakkin Kajen, Pati. Ia menikah dengan istri pertama Siti Siryati Binti KH. Adnan Bulumanis Kidul dan dikaruniai seorang putri bernama Roudloh.

Sepeninggal istri pertama, Mbah Djalil menikah dengan Hj. Aminah Noor Binti KH. Noor Khudlrin, Baletengahan. Pernikahan dengan Hj. Aminah Noor ini, Mbah Djalil dikaruniai seorang putra, yaitu H. Hamdan Abdul Djalil.

Baca juga:  Menyelami "Diamnya" Kiai Sahal

Pendidikan dan Kiprahnya

Perjalanan intelektual KH. Abdul Djalil Hamid, cukup berliku. Dia belajar di berbagai pesantren di Tanah Air, dan tidak sebentar waktu dihabiskannya untuk belajar di Makkah.

Dimulai dengan pendidikan yang diberikan langsung sang ayah hingga 1919, selanjutnya Abdul Djalil belajar di Pondok Jamsaren Solo asuhan KH. Idris (1919 – 1920), lalu meneruskan belajar ke Pondok Termas asuhan KH. Dimyati (1920-1921), kemudian di Pondok Kasingan Rembang asuhan KH. Kholil Harun (1921-1924).

Selanjutnya, pada 1924-1926 Abdul Djalil muda mukim dan belajar di Makkah Al-Mukarramah, lalu melanjutkan belajar di Pondok Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH. M. Hasyim Asy’ari (1926-1927), dan kemudian kembali lagi ke Makkah pada 1927-1930.

Tak berselang lama dari pengembaraan intelektualnya yang cukup panjang, beliau mengajar di Madrasah TBS. Di Madrasah TBS, Mbah Djalil tercatat menjadi guru kepala pada 1932-1935.

Selain di TBS, berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain menjadi anggota Raad Agama Islam di Kudus (1934-1945), Ketua Pengadilan Agama Kudus (1950-an), Pembantu Khusus Wakil Perdana Menteri RI (1951-1958), hingga anggota DPR/ MPR mewakili alim ulama di Fraksi NU (1958-1967).

Untuk di bidang sosial, Mbah Djalil di antaranya tercatat ikut mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah (1927-1930), anggota pembina PBNU (1930 -1974), Ketua NU Cabang Kudus (1932-1934), Rois Syuriyah NU Jawa Tengah (1967- 1974), Katib Syuriyah PBNU (1954-1967), Ketua Tim Penentu Arah Qiblat Masjid Baiturrahman Semarang (1968), Penyusun Almanak NU (1930-1974) dan Ketua Lajnah Falakiyah PBNU merangkap Lajnah Falakiyah Departemen Agama RI (1969-1973).

Baca juga:  Politik, Sastra, dan Atheisme Kaum Beragama

Hj. Roihanah, menantu KH. Abdul Djalil Hamid yang ditemui di kediamannya di samping Masjid Alhamidiyyah Mlati, menceritakan, bahwa dalam perjalanannya, ayah mertuanya juga sempat di penjara.

Berdasarkan data yang disimpan pihak keluarga, Mbah Djalil yang menjadi Komandan Gerilya melawan Belanda di Gunung Muria (1948-1949) itu di tahan Belanda di penjara Kudus pada 1949. Data itu juga menyebutkan, Mbah Djalil pernah ditahan di era pemerintahan Orde Lama di Salatiga pada 1952-1954.

Gemar Menulis

Perhatian KH. Abdul Djalil Hamid terhadap dunia keilmuan yang demikian tinggi, khususnya ilmu-ilmu agama. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, beliau melahirkan banyak karya (kitab).

Berbagai karya Mbah Djalil, di antaranya Fathur Rauful Mannan, Rubu’ Mujayyab (Quadrant), Jadwal Rubu’, Dalilul Minhaj, Tawajjuh, Tuhfatus Syfiya’, Ahkamul Fuqaha’, dan Takkalam bil Lughatil ‘Arabiyah.

‘’Keseharian Bapak dulu sukanya membaca kitab, membaca buku dan menulis. Dulu juga sering mengajar ngaji di masjid ini (Masjid Al-Hamidiyah). Dulu masjidnya masih sangat sederhana,’’ terang Hj. Roihanah didampingi putrinya, Nur Uswati.

Mbah Djalil wafat di Makkah Al-Mukarramah pada 16 Zulqo’dah 1394 H bertepatan dengan 30 November 1974. ”Yang membantu mengurusi pemakaman Mbah Djalil di Makkah waktu itu adalah Prof Dr KH Maghfur Usman,” lanjutnya menambahkan.

Baca juga:  Kapan Idulfitri Menurut Muhammadiyah? Kapan Menurut NU?

Prof. Maghfur Usman merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) asal Cepu, Blora yang pernah belajar di Madrasah TBS Kudus dan tercatat sebagai Mustasyar PBNU periode 2010-2015. ‘’Dulu kalau Prof Maghfur Usman berkesempatan hadir saat haul Mbah Djalil, beliau yang selalu membaca riwayat hidup Mbah Djalil,’’ tutur Hj. Roihanah.

Semoga Allah SWT mengampuni beliau dan diberikan manfaat atas segala perjuangan serta karya-karya beliau. Amin

Penulis: Qomarul Adib & Rosyidi

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top