PCINU Belanda bekerjasama dengan Vrije Universiteit Amsterdam mengadakan 3th Biennial International Conference selama dua hari lamanya (8-9/5). Konferensi tersebut mengangkat tema besar “Reimagining Religion and Values in Time of Societal Crisis”.
Panel 6 dari konferensi tersebut bertema “Decolonising Religion: Hurgronje, Islam Indonesia and Postcolonial Incognizance”, yang diconveneri oleh Prof. Dr. Freek Colombijn (VU Amsterdam) dan Yus Sa’diyah (Bronbeek Museum Arnhem). Panel tersebut secara khusus menyoroti dan mengkaji sosok Snouck Hurgronje.
Salah satu panelis adalah Dr. A. Ginanjar Sya’ban, filolog santri, kurator manuskrip ulama Nusantara, penulis Alif.id, co-founder Nahdlatut Turots dan juga dosen pascasarjana FIN UNUSIA Jakarta. Ginanjar mempresentasikan tentang “Persahabatan Ulama Makkah dengan Penasihat Kolonial Hindia Belanda: Surat-Surat Sayyid Abdullah al-Zawawi untuk Snouck Hurgronje yang Ditulis dan Dikirim dari Priangan tahun 1895)”.
“Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah sosok ilmuwan dan orientalis yang kontroversial. Ia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia akademik dan kajian keislaman di Barat, khususnya di kampus-kampus Belanda dan Eropa, termasuk halnya di Hindia Belanda (Indonesia),” papar Ginanjar.
Menurut Ginanjar, sepanjang hidupnya, Snouck telah meneliti beberapa aspek kajian keislaman secara total. Ia pernah berada di Hijaz (Jeddah dan Makkah) selama tahun 1884 – 1885, menjadi penasihat pemerintahan kolonial Hindia Belanda sepanjang tahun 1889 – 1906, juga menjadi guru besar kajian-kajian keislaman di almamaternya, Universitas Leiden di Belanda.
“Ketika berada di Makkah, Snouck telah hadir di halaqah-halaqah keilmuan di Masjidil Haram, belajar secara langsung kepada Sayyid Ahmad b. Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’iyyah di Makkah, w. 1886), kepada Syaikh Nawawi Banten (mahaguru ulama Nusantara yang mengajar di Makkah, w. 1897), kepada Sayyid Abdullah al-Zawawi (mufti terakhir madzhab Syafi’iyyah di Makkah, w. 1924) juga ulama-ulama besar Hijaz lainnya, termasuk sekelompok ulama Nusantara yang mengajar dan bermukim di kota suci itu,” terang Ginanjar.
Ginanjar melanjutkan, ketika menjalani masa-masa awal karirnya di Hindia Belanda, sepanjang tahun 1889 – 1891, Snouck melakukan perjalanan intektual mengelilingi pesantren-pesantren yang ada di Sunda, Jawa dan Madura. Snouck bertemu dengan banyak ulama besar tiga kawasan tersebut, mencatat judul kitab-kitab yang menjadi kurikulum di sana, serta banyak membawa serta kitab-kitab kuno tulis tangan (manuskrip) ulama Nusantara.
“Snouck juga banyak menjalin relasi yang luas dan hubungan yang dekat dengan sejumlah ulama dan cendikiawan di berbagai belahan dunia Islam, termasuk hal hubungan dekatnya dengan beberapa ulama Hijaz dan Nusantara. Kedekatan hubungan tersebut terekam dalam arsip-arsip korespondensi Snouck dengan para ulama tersebut, juga sebaliknya,” jelas Ginanjar.
Di antara ulama Hijaz – Nusantara yang berkorespondensi dengan Snouck, terang Ginanjar, adalah Sayyid Abdullah al-Zawawi, ulama besar Makkah, pengajar di Masjidil Haram, mufti Syafi’iyyah dan juga mahaguru ulama Nusantara pada zamannya.
“Sayyid Abdullah al-Zawawi pernah eksil dan tinggal di Nusantara sepanjang rentang waktu 1894 hingga 1915. Selama masa tinggal di Nusantara, Sayyid Abdullah al-Zawawi banyak melakukan kontak dan korespondensi dengan Snouck,” kata Ginanjar.
Ditambahkan Ginanjar, di antara wilayah yang disinggahi oleh al-Zawawi adalah Priangan di Jawa Barat (Pasundan). Al-Zawawi berada di Priangan selama beberapa bulan lamanya pada tahun 1895. Ia menetap di beberapa kota seperti Cianjur, Cipanas, Sukanbumi, Bandung dan Bogor (Buitenzorg).
“Hampir di setiap kota yang disinggahinya di Priangan, al-Zawawi menulis surat dan berkabar dengan Snouck. Surat-surat tersebut ditulis dalam bahasa Arab. Melalui surat-surat tersebut, kita bisa merasakan kedekatan hubungan persahabatan antara al-Zawawi dengan Snouck,” kata Ginanjar.
Dijelaskan Ginanjar, sosok al-Zawawi adalah ulama besar yang memiliki pengaruh dan hubungan keilmuan dengan beberapa ulama Priangan. Ia memiliki sejumlah murid di kawasan tersebut, seperti H. Hasan Mustapa Bandung, KH. Ahmad Syathibi Gentur, KH. Ahmad Sanusi Sukabumi, KH. Tb. Falak Bogor, KH. Nuh Cianjur, dan lain-lain.
Sayyid Abdullah al-Zawawi adalah mufti madzhab Syafi’i terakhir di kota suci Makkah. Ia menggantikan posisi Sayyid Ahmad b. Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah di Makkah yang wafat pada tahun 1886. Sayyid Abdullah al-Zawawi sendiri wafat pada tahun 1924 di kota Thaif.
Ayah dari Sayyid ‘Abdullah al-Zawâwî, yaitu Sayyid Shâlih al-Zawâwî, juga tercatat pernah bermukim di Nusantara selama beberapa tahun, yaitu di Kesultanan Riau-Lingga di Penyengat dan juga di Kesultanan Pontianak. Di Kesultanan Riau-Lingga, Sayyid Shâlih al-Zawâwî bahkan sempat mengarang sebuah kitab berjudul “Kaifiyyah al-Dzikr ‘alâ al-Tharîqah al-Naqsyabandiyyah al-Mujaddidiyyah al-Ahmadiyyah,” yaitu manual tarekat Naqsabandiah-Muzhariah/Mujaddadiah.