Mengapa Gus Dur begitu percaya diri bahkan mungkin merasa di atas angin dari tiga tokoh ini: Nurcholis Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif? Padahal, waktu itu Gus Dur tidak dikenal sebagai akademisi dengan titel mentereng. Sementara tiga tokoh, yang tiga temannya itu, terkenal sebagai intelektual, lengkap dengan kampus besarnya.
Jawabannya bisa macam-macam, semisal karena Gus Dur pemimpin organisasi Islam dengan basis massa yang riil. ALIF.ID ingin urun satu jawaban, karena Gus Dur menulis ketiganya. Karena Gus Dur menulis, maka Gus Dur telah membuat semacam ‘kotak’ untuk ketiganya. Menurut kami, ini tulisan Gus Dur tentang tokoh yang paling ‘nakal’, banyak sindiran, kritik, bahkan Prof Mukti Ali pun disinggung-singgung dengan (agak) sinis.
Tulisan ini dimuat di majalah Tempo, Maret 1992, dengan judul Tiga Pendekar dari Chicago. Jika menelisik tahun terbitnya tulisan tersebut, itu memang masa Gus Dur sedang ‘gemas’ dengan kelompok ‘modernis’. Tahun 1990an awal adalah tahun-tahun persekutuan paling kuat antara rezim Orde Baru dan cendekiawan muslim modernis, misalnya ditandai dengan lahirnya ICMI. Sebaliknya, Gus Dur makin menjauh, dengan membuat Forum Demokrasi misalnya. Dan puncaknya, Muktamar NU di Tasikmalaya, 1994, di mana Gus Dur hampir berhasil disingkirkan Orba dari kampung halamannya: Nahdlatul Ulama.
Tulisan ini kami muat kembali karena, di antaranya, masih relevan untuk membaca jejak-jejak tokoh Islam, dari mulai baik jalan hidupnya hingga pilihan sadar sikap politiknya. Selain Cak Nur yang telah wafat, Pak Amien dan Buya Syafi’i masih aktif di dunianya masing-masing. Semoga tulisan ini bermanfaat dan mengandung hikmah. Selamat menikmati. Salam takzim!
Tiga Pendekar dari Chicago
Generasi pertama cendikiawan muslim dari Unversitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena memang belum muncul generasi keduanya.
Ketiga ‘pendekar’ di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGilldi Montreal, Kanada. ‘Mafia McGill’ hampir semuanya menjadi ‘agen pencerahan’ yang bersikap serba-terbuka pada ‘hal-hal baru’, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai departemen Agama sejak Prof. A. Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1970-an. Walaupun beberapa dedengkotnya , seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama alamsyah Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen tersebut. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai dari A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Hal itu berbeda dngan para pendekar Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan Islam yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mamapun datangnya. Proses penyerapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam itu sendiri, sebagai cara hidup dari sebagian besar umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: Islam Yes, Partai Politik (Islam) No.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandagan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islam” yang ditumbuhkan di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik. Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, namun sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslimin harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Hal itu berbeda dengan pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish Madjid, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Akan tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers). Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”, mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai Islam Yes, Politik Islam Yes.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan, itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural saja. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholis Madjid, dalam kegairahan meneguk air ‘kehidupan’ dari berbagai sumber , melontarkan kesamaan dasar antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk ramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid mengulitinya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish Madjid “bertobat”. Padahal sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan maka hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dengan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis. Bagaimanapun, hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yamg masih memungkinkan Islam dibedakan secara teologis karena memang ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus dikendalikan dan dipertalikan dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Jika ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti di antara mereka tampaknya tidak ada kohesi kuat. Benarkah demikian?