Salah satu humor yang sering dilontarkan Gus Dur adalah lomba memancing antara Presiden Indonesia (zaman Orba, Pak Harto) dengan PM Malaysia (Pak Mahathir Mohamad). Kedua pemimpin ASEAN ini, konon, punya hobi memancing dan pada suatu ketika sepakat untuk kompetisi.
Lokasi ditetapkan di perbatasan perairan laut antara Indonesia dan Malaysia: Presiden RI di wilayah perairan Indonesia, begitu pula PM Malaysia di perairan laut Malaysia. tentu saja supaya kedua beliau itu bisa saling melihat hasil pancingan mereka, posisi memancing diatur sedemikian rupa sehingga hanya selisih beberapa meter saja dari masing-masing pihak.
Presiden Indonesia sangat yakin bahwa beliau akan menag mudah, karena perairan Indonesia sangat kaya ikan di banding Malaysia. Jadi perlombaan memancing yang berdurasi satu jam itu hampir pasi, dalam pikiran beliau, akan dimenangkan dengan mudah.
Belum lagi sepuluh menit perlombaan berlangsung, PM Malaysia sudah berhasil memperoleh beberapa ekor ikan sedangkan Presiden Indonesia belum. Semakin mendekati jam usai, semakin banyak ikan yang kena mata pancing yang dilontarkan oleh Pak Mahathir. Berganti-ganti Pak Harto mengganti mata pancing toh tak satupun ikan yang berseliwran di bawah perahunya dapat di kailnya.
Sampai ketika satu jam pun berakhir, Presiden kita masih belum dapat seekor ikan pun sedangkan Pak mahatir sudah berhasil memancing puluhan ikan besar-besar! maka sambil istirahat, Pak Harto pun memberi ucapan selamat kepada kawan dekat beliau dan menobrol.
“Ngomong-ngomong, Datuk, kok sampean mudah banget memancing. Apa kiatnya?”
“Wah, Pak Harto, sebenarnya tidak ada kiat yang istimewa. Keberhasilan saya karena soal ikan yang di perairan Malaysia dan Indonesia sikit beza adanya.” Kata sang jiran.
“Lho, bedanya apa, kan malah lebih banyak di tempat saya. Tuh lihat, dari perahu saja sudah kelihatan berseliweran. sedangkan ikan di tempat anda memancing tak tampak banyak.” Ujar Pak Harto.
“Bukan soal itu Bapak. Soalnya adalah walaupun ikan di perairan Malaysia sikit, tapi mereka bisa membuka mulutnya supaya makan umpan, sedangkan ikan-ikan di Indonesia yang banyak tu, tak bisa buka mereka punya mulut.” Demikian penjelasan Pak PM Malaysia.
Saat Gus Dur menjabat Presiden, suatu hari beliau menceritakan humor mancing ini juga, tetapi setelah selesai dengan gerrr… , saya nyeletuk:
“Gus, katanya lomba mancing itu diulang setelah Reformasi.”
“Hehehe.. diulang bagaimana dan apa hasilnya?” Tanya Gus Dur.
“Jadi Presiden RI pasca reformasi menantang PM Malaysia untuk lomba memancing, dengan keyakinan bahwa setelah reformasi, ikan-ikan di Indonesia akan bisa buka mulut, Gus.” Kata saya.
“Ya, terus?” GD pun tertarik.
“Ya terus dilakukanlah lomba di tempat yang sama antara PM Malaysia dan Presiden ke IV Indonesia pasca Reformasi. Seperti sebelumnya, setelah satu jam berlomba, PM Malaysia yang menang dan Presiden RI keranjang ikannya masih kosong melompong.
Sambil istirahat, Pak Presiden bertanya ‘Datuk, kenapa ikan di tempat saya tetap saya tidak bisa dipancing padahal sekarang mereka bisa buka mulut?’ Jawab Pak Mahathir ‘O itu karena ikan Indonesia setelah buka mulut tidak bisa menutupnya kembali, Pak Presiden. Padahal agar bisa dipancing, ikan harus buka dan tutup mulut.” Demikian sambung saya.
“Hehehehe…..” dan gerrrlah Presiden Gus Dur mendengar cerita sambungan itu.
Demokrasi, tidak hanya sekedar orang boleh dan bebas bicara (membuka mulut), tetapi juga orang mestitahu kapan mendengarkan pihak lain (tutup mulut). Demokrasi menghendaki kemampuan menahan diri dan bukan “everything goes.”
Etika seperti inilah yang sering dilupakan sehingga terjadi euphoria yang menyebabkan seolah-olah demokrasi kemudian menjadi “kebablasan.” Padahal kemampuan menggunakan kedua hal tersebut, yaitu menyatakan pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain, adalah dua sisi sebuah mata uang yang sama.
Ajaran dan guyon politik sederhana itu sejatinya merupakan pembelajaran bagi kiprah kita berdemokrasi dan perlu senantiasa menjadi bahan pertimbangan dan pengingat. (RM)
(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)