Para demonstran tidak henti-hentinya berdemo di sekitar rumah mantan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Mereka terdiri dari berbagai kelompok, atau datang dengan berbagai nama. Jumlahnya kadang puluhan orang, tapi tak jarang beratus-ratus orang, jika sejumlah kelompok bergabung menjadi satu.
Mereka datang meneriakkan satu tuntutan: adili Soeharto. “Kalau pengadilan tak mau mengadili, biarkan Soeharto menghadapi pengadilan rakyat!” begitu teriakan meraka tiap kali demo. Ada pula tuntutan tambahan: sita semua harta benda milik Soeharto, sebab sebenarnya semua itu adalah hasil korupsi, hasil menjarah milik rakyat.
Makin hari, makin lantang saja para mahasiswa itu berdemo. Mereka seperti mengomandani banyak demonstrasi lain di tempat lain (di kantor Kejaksaan Agung, Gedung DPR Senayan, Markas Besar Kepolisian, dan sebagainya). yang menuntut agar jangan cuma Soeharto yang diadili, tapi juga para kroninya yang selama ini ikut menangguk untung besar dari kolusi pancang dengan penguasa Orde Baru ini.
Yang bikin repot apartat keamanaan, yang harus menjaga rumah bekas presiden yang menurut hukum harus dilindungi itu, para demonstran tidak puas kalau hanya berteriak-teriak jarak yang jauh dari sasaran utama. Setiap berdemo, mereka selalu merangsek dan berusaha menembus Jalan Cendana yang dijaga super ketat, dan karena itu demonstran sering bentrok dengan petugas. Kadang-kadang korban luka di pihak demonstran cukup banyak dan cukup serius, sehingga memicu kecaman-kecaman baru terhadap sikap keras aparat yang dinilai berlebihan. Ujung-ujungnya: aparat keamanan dituding melanggar HAM.
Menghadapi masalah ini, Pangdam Jaya Mayjen Kirbiantoro rupanya pusing juga. Ia merasa serba salah: mendiamkan demonstran bakal membahayakan Soeharto dan keluarganya yang harus dilindungi, tapi membendung kemauan demonstran bakal menimbulkan ekses yang bisa menuai kecaman.
Maka, seperti diceritakan oleh Presiden Gus Dur, suatu hari datanglah Pak Pangdam menghadap istana. Kirbiantoro minta petunjuk (memang bukan hanya Harmoko yang pandai begini), apa yang harus dilakukan aparat keamanan dalam hal ini.
“Loh,” jawab Gus Dur, “tugas aparat itu adalah menjaga Soeharto, bukan menghalangi mahasiswa berdemonstrasi. Kalau demonstran mau mendekati rumah Soeharto, ya biar saja. Yang penting aparat keamanan tetap menjaga. Lagi pula. Lagi pula, paling-paling demonstran itu cuma melempari rumah, dan paling-paling cuma kacanya yang pecah.”
Lalu Gus Dur melanjutkan: Lah, biar saja kaca rumah Soeharto pecah. WOng dia korupsinya sudah banya…”
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)
Anjing kau gusdur emang apa yang lu buat untuk negara