Ceritanya, menjelang pemilihan presiden 1999, Poros Tengah makin kuat menjagokan Gus Dur, untuk mengimbangi Megawati yang posisinya menguat karena partainya meraup suara terbesar dalam pemilu. Kalau Megawati ini harus dibendung oleh pencalonan Habibie, maka hampir dipastikan Megawati akan sukses, karena populeritas Habibie merosot.
Opini publik pun tak menguntungkan Habibie. Suara-suara yang ingin pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak makin santer –dan dengan demikian peluangnya untuk menjadi presiden 1999-2004. Nah, ini membuat posisi Akbar Tandjung serba repot.
Soalnya: Musyawarah Nasional Partai Golkar sudah menetapkan bahwa partai ini harus mengajukan Habibie sebagai kandidat presiden. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung harus menjalankan amanat Munas ini. Tapi angin di luar sama sekali tak menguntungkan Habibie.
Maka, ketika Akbar didekati oleh tokoh-tokoh Poros Tengah, termasuk Amien Rais (plus Gus Dur), ia mengajukan pemecahan: Merekalah yang harus membujuk dan meyakinkan Habibie bahwa dia sebaiknya mengubur impiannya untuk menjadi Presiden RI 1999-2004.
Itu artinya jelas: Akbar setuju Habibie mundur dari pencalonan, tapi jangan dirinya yang meminta pengunduran itu, karena sebagai Ketua Umum Parta Golkar dia tak mungkin menyarankan hal yang berlawanan dengan amanat Munas partainya. Kalau begitu, okelah, semua bisa diatur, kata tokoh-tokoh Poros Tengah. Yang penting: Akbar Tandjung sudah setuju Habibie jangan maju.
Berangkatlah tim Poros Tengah Plus itu (plus Gus Dur), tapi tanpa Akbar Tandjung, menemui Habibie di rumahnya. Setelah berbasa-basi seperlunya, Gus Dur melontarkan “geledek”: kepada Habibie, dia bilang bahwa Akbar Tandjung pun ingin Habibie membatalkan pencalonan dirinya.
Wah, bukan main sewotnya Habibie dan para pendukungnya pada Akbar. Bagaimana mungkin dia mengkhianati amanat Munas partai? Kok berani betul si Akbar itu?
Akbar pun segera dipanggil. Sore itu juga dengan tergopoh-gopoh Akbar datang ke rumah Habibie, untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya. Gus Dur sendiri berserta rombongannya dengan gesit sudah pamit sebelum Akbar datang.
Akhir ceritanya sudah diketahui publik: pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak, dan dia tak mungkin dicalonkan menjadi presiden 1999-2004. Kabar tentang “pengkhianatan” akbar sendiri sudah menyebar luas, sampai ke jajaran bawah pendukung Habibie, terutama yang berhimpun dalam Iramasuka.
Akbar harus menanggung kemarahan mereka yang bukan alang kepalang. Berulang kali para tokoh Iramasuka mengecam keras Akbar secara publik. Bahkan, tak sedikit yang bernafsu ingin memukulnya. Salah satu percobaan itu berhasil. Ketika Akbar sedang berjalan menuju lift di Gedung DPR Senayan, beberapa orang menghampirinya dan berhasil menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Untung para pengawal Akbar segera menyelamatkannya.
Gus Dur sendiri kemudian terpilih secara mulus dan unggul jauh di atas perolehan suara Megawati. Segera setelah terpilih, dari Gedung DPR ia langsung menuju rumah Habibie, untuk “bersilaturahim”. Setelah berpeluk-cium dengan tuan rumah dan berbasa-basi sekitar seperempat jam, Gus Dur pamit. Urusan dia dengan Habibie pun beres.
Bagaimana hubungan Akbar dengan Habibie dan para pendukungnya, yang tampaknya tak pernah memaafkan sang Ketua Umum Golkar itu? Mungkin Gus Dur berkomentar: “Loh itu urusan mereka, bukan urusan saya…” (Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)