Sakdiyah Ma’ruf, komedian yang lucu itu (karena ada juga komedian yang tidak/kurang lucu), mendadak terdiam. Air mata menggenang, yang membuat tenggorokannya tercekat, sulit untuk memproduksi suara. Kalimat-kalimatnya tertelan. Ia akhirnya duduk lagi, urung menyampaikan tanggapan, pemikiran, dan unek-uneknya mengenai hal-hal terkait kebudayaan dan kemanusiaan dalam Rembug Budaya Haul Gus Dur Satu Dekade 2019, 28 Desember 2019.
Moderator Nitia Anisa dari Kompas TV lantas memberikan kesempatan kepada Direktur LKiS Yogyakarta, Hairus Salim, yang menyampaikan hal-hal mendesak terkait makin terpinggirkannya gerak hidup para penghayat kepercayaan. Ini penting mengingat para mayoritas para penghayat terutama masyarakat adat adalah para pelestari lingkungan yang hakiki, yang hidupnya ekologis, yang memanfaatkan pengetahuan tradisional dalam keseharian.
Setelah beberapa saat, Sakdiyah kembali melanjutkan ucapan yang terputus tadi. Ia bercerita mengenai kehidupan beragama di keluarga terdekatnya dan lebih luas lagi di kampungnya di Pekalongan. Perasaannya campur aduk ketika membahas mengenai keberagaman dan atau toleransi dalam kehidupan keberagamaan yang ia lakoni. “Dalam Nasrani kan dikenal tradisi twelve days of Christmas, ya. Nah, ibu saya mengirim pesan selama 12 hari, untuk tidak mengucapkan selamat Natal,” kata Sakdiyah. Kalimat itu terdengar menggelitik, tapi sekaligus terasa perih, terutama bagi Sakdiyah.
Ada banyak cara untuk bertoleransi dalam bingkai universal “memanusiakan manusia”. Menghormati perayaan hari besar agama lain dengan cara sekadar mengucapkan selamat, menjadi satu pilihan. Orang lain mungkin tidak akan memilih itu, tapi menempuh cara lain, semisal membantu membetulkan genteng rumahnya yang bocor (meski konteksnya menjadi berbeda).
Namun, melarang bahkan mengharamkan orang seiman lain yang memilih untuk mengucapkan selamat atas perayaan hari besar agama lain (sebagai satu cara bertoleransi), bagi saya itu bukanlah pilihan. Itu adalah penghakiman. Dari sanalah friksi muncul, bahkan antarteman seiman.
Butet Kartaredjasa yang “ditodong” untuk menyampaikan impresi dalam Rembug Budaya juga menceritakan pengalaman yang senada. Ada saja teman-temannya yang masih getol membujuknya untuk masuk Islam. Namun, Butet selalu memiliki jawaban yang tidak menyinggung. Sebetulnya bukan “membujuk untuk pindah agama” yang menggelisahkannya, namun pada cara beragama yang intoleran.
“Teman-teman muslim saya terbelah dua, satu pihak ada yang beragama secara Kaliurang, secara sejuk, (Kaliurang adalah tempat di Sleman DIY yang berhawa dingin/sejuk), yang satu sebaliknya,” kata Butet.
Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan
Sejatinya teladan Gus Dur yang utama adalah menjadikan kemanusiaan sebagai perspektif dalam melihat orang. “Selagi masih manusia, apa pun yang dilakukannya, maka wajib diperlakukan secara manusiawi. Inilah salah satu inti ajaran Islam, yakni memanusiakan manusia atau memperlakukan manusia secara manusiawi,” papar dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Nur Rofiah, yang belakangan ini getol mengampu “Ngaji Keadilan Gender” ke berbagai kota, melalui status di Facebook.
Perbedaan manusia bahkan perbedaan iman pun tidak menyebabkan bolehnya kita memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Apalagi perbedaan yang sepenuhnya ditentukan oleh Allah seperti lahir dengan jenis kelamin, warna kulit, dan suku bangsa yang berbeda.
Soal perbedaan iman. Iman adalah perjalanan spiritual sepanjang usia masing-masing orang. Jangan jadikan keberagamaan diri sendiri sebagai standar tunggal, apalagi masih berproses sampai mati. Makin tinggi level beragama seseorang seharusnya makin manusiawi sikapnya.
Masih menurut Nur Rofiah, pesan Surat Al-Hujurat Ayat 13, secara sosial adalah mengkritik cara pandang masyarakat Arab dan bangsa mana pun yang menilai kehormatan seseorang berdasarkan atribut yang terbawa saat lahir seperti jenis kelamin, bangsa, dan suku. Menurut Nur Rofiah, ayat ini juga memberi standar baru kualitas manusia, yakni ketakwaan. Salah satu tanda orang yang bertakwa adalah bersikap adil. Bersikap adillah karena ia lebih dekat kepada takwa. Adil terutama kepada orang yang kita benci, menjadi syarat ketakwaan (Al Maidah Ayat 8).
Menteri Agama RI 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengutarakan kalimat menarik dalam Rembug Budaya Haul Gus Dur Satu Dekade tentang relasi antara budaya dengan agama dan kemanusiaan. Nilai-nilai dalam agama, itulah budaya. Kebudayaan adalah agama yang mengejawantah, yang manifes, yang membumi.
Kebudayaan adalah proses olah data, pikir, rasa, jiwa, kata-kata, suara, bahkan olah tawa. Kebudayaan lahir karena kebutuhan kemanusiaan, dan berbicara mengenai kemanusiaan pastilah bicara tentang agama juga. Semua ajaran adalah dalam rangka melindungi harkat dan martabat kemanusiaan.
Relasi budaya dan agama dalam konteks Indonesia tidaklah dapat dipisahkan. Agama butuh wadah supaya tidak mengawang-awang, dan budaya adalah wadah itu. “Bagi saya, agama dan budaya itu sejoli,” kata Lukman.
Jadi benar, bicara mengenai agama adalah juga bicara mengenai kebudayaan dan kemanusiaan. Bagaimana mungkin memisahkan kebudayaan dengan agama sedangkan kita sedari lahir di Indonesia sudah berada di dalam bingkai dan lingkup kebudayaan yang “diwariskan” orang tua, kakek, buyut, canggah, terus ke atas.
Lebih tajam lagi, bagaimana mungkin kita beragama namun menafikan kemanusiaan? Maka itu, rasanya tepat bahwa hajatan Haul Gus Dur Satu Dekade 2019 yang dikoordinir oleh putri keempat Gus Dur, Inaya Wulandari Wahid ini menyuguhkan tema “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan”, yang juga merupakan ucapan Gus Dur. (SI)