“The Perfect Candidate” menjadi film pembuka dalam Madani International Film Festival 2022 yang diputar di Epicentrum XXI pada Sabtu (8/10/2022). Film produksi tahun 2019 yang disutradarai oleh Haifaa Al Mansour tersebut masuk nominasi dalam Venice Film Festival 2019 dan dipilih menjadi perwakilan resmi Arab Saudi untuk Academy Awards ke-92 meski tidak masuk nominasi.
Pilihan film pembuka tentang upaya perempuan memperjuangkan keadilan dengan mencoba masuk ke dunia politik tersebut sungguh tepat. Sebab, film berdurasi 104 menit itu memang mampu menggerakkan sukma dan menjadi pemantik rasa penasaran untuk menonton puluhan film lain.
Madani IFF 2022 digelar dari tanggal 8—15 Oktober 2022 di beberapa lokasi yakni Epicentrum XXI, Kineforum Galeri Cipta I Rooftop Cinema TIM, dan Metropole XXI. Selain pemutaran film festival juga menggelar beragam diskusi menarik.
“The Perfect Candidate” menceritakan Maryam (Mila Al Zahrani), seorang dokter muda ambisius yang bekerja di klinik Al Hana di kota kecil di Arab Saudi. Terlepas dari kualifikasinya, ia harus berjuang setiap hari agar dapat dihormati rekan-rekan sejawat laki-laki dan diterima pasien.
Setelah Maryam gagal pergi ke Dubai untuk mengikuti konferensi dan mencari pekerjaan yang lebih baik, kekeliruan dalam birokrasi membuatnya tak sengaja menemukan lamaran untuk pemilu di daerahnya dan ia pun memutuskan untuk mencalonkan diri.
Sementara itu, ayahnya Abdulaziz (Khalid Abdulraheem) yang musisi sedang berkeliling bersama rekan-rekan musisi gaek dalam konser umum pertama yang diperbolehkan di Kerajaan Saudi setelah puluhan tahun.
Maryam mengajak dua adik perempuannya, Selma (Dae Al Hilali) dan Sara (Nora Al Aawadh) untuk menggalang dana dan merancang kampanye. Meski menghadapi larangan terhadap peran-peran tradisional bagi perempuan di setiap tikungan, pencalonan Maryam yang berani mulai menciptakan momentum dan menantang komunitasnya yang konservatif.
Perlombaan ketat terjadi antara Mayam dan pesaingnya yang laki-laki, seiring Maryam dan keluarganya memobilisasi tekad dan kreativitas untuk memajukan masyarakat tradisional mereka.
Problematika masyarakat di Arab Saudi seperti disorot dalam film tersebut belum sepenuhnya bergeser dari domestikasi perempuan yang memang terjadi sepanjang hayat di sana, kendati saat ini Arab Saudi makin terbuka. Perempuan dianggap tidak berdaya dan tidak elok untuk menjadi pemimpin bahkan di lingkungan terdekatnya.
Hal menarik yang menunjukkan Arab yang makin terbuka adalah penerimaan terhadap kesenian, khususnya musik. Konser-konser tampak heboh di tempat terbuka dan para petinggi negara juga hadir dan mendukung, bahkan muncul wacana lain, bahwa para musikus tua makin tergeser oleh bakat-bakat muda. Meski demikian, halangan masih tetap datang dari kaum ekstremis di sana.
Film ini menyampaikan kritik dan perlawanan kultural secara realitis. Berpikir global dengan aksi lokal. Sutradara tidak terjebak untuk berupaya mengubah dogma atau menyadarkan khalayak dengan sangat heorik yang bisa jadi malah menjadi fantasi. Komposisi yang proporsional antara narasi dan drama membuat film ini menggugah.
Sutradara film ini, Haifaa Al Mansour, merupakan perempuan sutradara pertama di Arab Saudi dan dianggap sebagai salah satu tokoh sinematik paling penting di negara tersebut. “The Perfect Candidate” memperoleh penghargaan Malmö Arab Film Festival 2020 untuk kategori Special Mention dan Florida Film Festival 2020 untuk kategori Best International Feature.
Tahun 2019, The Perfect Candidate masuk sebagai nominasi pada Venice Film Festival dan London Film Festival. Di tahun berikutnya, film ini masuk nominasi Cinema for Peace Awards 2020 untuk kategori The Cinema for Peace Award for the Political Film of the Year, serta nominasi di beberapa ajang festival film internasional lainnya.
Menyambut Ufuk Penuh Harapan
Dalam acara pembukaan, ketua dan beberapa anggota Dewan Pengarah Madani IFF 2022 yakni Putut Widjanarko, Hikmat Darmawan, Ekky Imanjaya, dan Krisnadi Yuliawan menjelaskan mengenai pemilihan tema festival, berbagai harapan kepada penikmat film dan pemangku kepentingan, serta rasa syukur atas keberlangsungan festival hingga tahun kelima ini. Anggota dewan pengarah lain yakni Garin Nugroho, Inaya Wulandari Wahid, dan Chikita Fawzi berhalangan hadir.
Hikmat mengatakan, kata Ufuk yang dipilih sebagai tema Madani IFF 2022 mengemban dialog dan harapan. Dialog, karena ia adalah kata serapan dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa puitis bagi bahasa Indonesia. Kata aslinya dari bahasa Arab, punya makna utama ‘cakrawala’, ‘horison’, ‘batas langit’, atau ‘tepi langit’. Jika ditelusuri, kita berjumpa dengan kembangan dari akar kata ufuq, seperti tawaafaqa (bersetuju, bersepakat) atau tawaffaqa (sukses).
Harapan, karena dalam ufuk terkandung pengertian tentang ujung terjauh pandang dan perjalanan manusia. Ada imaji penjelajahan dan capaian terjauh manusia (atau seseorang) dalam kata ufuk atau cakrawala. Ufuk menjadi orientasi bahwa kita masih bisa berjalan, masih menuju horison terjauh pikiran dan pandangan kita. Setidaknya, tema “Ufuk” bisa kita lihat dari tiga topik Madani tahun ini. Pertama, topik perempuan dalam film. Kedua, topik imigrasi. Ketiga, fokus pada gejala menarik kemunculan film-film di Arab Saudi dalam satu dekade terakhir.
Direktur Madani IFF 2022 Sugar Nadia mengatakan, ufuk menjadi kiblat perbincangan Madani IFF 2022, di mana kita memandang ujung terjauh titik pandang dan perjalanan manusia lewat 70 film dari 22 negara, dan 15 diskusi dari 30 pembicara dalam dan luar negeri.
Program Madani IFF 2022 antara lain adalah Perempuan Dunia Madani, East Cinema, Madani Classic, dan pemutaran puluhan film pendek dari berbagai negara seperti Arab Saudi, Senegal, Libanon, Iran, Suriah, Palestina, Singapura, Ceko, dan Austria. Sebanyak 2.214 film telah berpartisipasi dalam open submission program yang kami buka sejak Juli–Agustus 2022.
Madani IFF 2022 juga bekerja sama dengan PickLock Films dengan dukungan Kemendikbudristek untuk memproduksi seri dokumenter berjudul The Quest untuk menelusuri peradaban Islam dan kehidupan masyarakat muslim Nusantara, yaitu Aceh dan Bali. Banyak komunitas sinema terlibat, di Aceh, Palembang, Sukabumi, Jember, Ambon hingga Kupang, yang turut serta menayangkan dan memperbincangkan film-film di Madani IFF tahun ini.
Film Melintasi Sejarah
Garin Nugroho, anggota Dewan Pengarah Madani IFF 2022 menulis di dalam buku program mengenai film dalam lintasan sejarah. Sejarah film mencatat bahwa era awal abad ke-20, ketika film datang ke Indonesia, senantiasa dipenuhi upaya mengelola peran gambar hidup ini. Pemerintah kolonial Belanda mengelola film sebagai propaganda mengenalkan pusat kekuasaan lewat film-film dokumenter, seperti dokumenter pendek ulang tahun Ratu Wilhelmina ataupun dokumenter pendek perihal peristiwa yang berlangsung di Eropa guna membawa perspektif Eropa sebagai pusat peradaban.
Sejarah mencatat, ketika pendudukan Jepang terjadi antara tahun 1939–1942, maka Jepang menggunakan film sebagai medium propaganda Asia Timur Raya. Tidak kurang Usmar Ismail dan kawan-kawan diperkenalkan film lewat lembaga propaganda Jepang. Harus dicatat, Usmar Ismail menyebut bahwa guru fllm fiksi Indonesia adalah Dr. Huyung, seorang pengajar film dari Korea yang dibawa pendudukan Jepang ke Indonesia. Dengan kata lain, para bapak film Indonesia mulai mengenal nilai film sebagai propaganda alias hiburan dan tuntunan sejak awal kedatangannya.
Era 4.0–5.0, ditandai dengan lahirnya ekosistem baru, seperti OTT (over the top) hingga berbagai platform baru tayangan film di media sosial, tentu saja memerlukan kajian sendiri dalam relasinya dengan medium film serta nilai agama dan kebangsaan. Di sisi lain, tercatat pendidikan komunikasi, film, dan dakwah tumbuh besar di berbagai institusi pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Berlangsunglah sebuah kerja membangun silabus nilai-nilai dakwah di tengah dunia yang serba migrasi dan hijrah.
Oleh karena itu, Madani International Film Festival memerlukan tema “Pendidikan Warga Negara” dalam perspektif masyarakat Madani, ketika sebanyak 60 persen penduduk Indonesia adalah usia muda produktif antara 18–38 tahún, di tengah ekosistem baru media serta menjelang Pemilu 2024.
Seperti dijelaskan Ekky, film-film yang dipilih dalam Madani IFF haruslah mengangkat tema permasalahan umat Islam, baik di negeri-negeri mayoritas maupun minoritas muslim. Isu dan topik Islam serta muslim tidak sekadar jadi latar atau dekoratif belaka. Islam dan masyarakat serta individu muslim yang diangkat haruslah memang bersifat substansial dalam film-film tersebut.
Film-film tersebut juga harus memiliki capaian bentuk tertentu. Ada semacam signifikansi, setidaknya ambisi, estetika, dan kesadaran untuk menggali bentuk terbaik bagi gagasan para pembuat filmnya. Awak festival tidak ingin jadi gatekeeper selera atau konstruksi “bagus” atau “jelek” bagi masyarakat dalam mengonsumsi film-film Madani.
Namun, perlu juga adanya semacam peran fasilitator bagi berlangsungnya pembacaan-pembacaan yang leluasa pada film-film yang ditawarkan –menggarisbawahi unsur-unsur sinematik apa yang perlu diperhatikan, konteks apa yang bisa membantu pembacaan sebuah film, dan sebagainya.