Di dunia kesusastraan Indonesia, nama Ahmad Tohari tidak asing lagi. Namanya membumbung tinggi berkat novelnya: Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).
Mengetengahkan tema kemanusiaan di tengah dan setelah prahara politik 1965-1966, RDP dinilai orisinil, berani, dan tepat.
Lebih dari itu, Ahmad Tohari mendapat pujian sebagai orang yang membuka pintu kebudayaan, karena dia membawa lilin dalam ruang gelap, menyentuh tema sensitif, menyuarakan yang diam, dan memecahkan kebekuan.
Selain mengetengahkan kemanusiaan dan perspektif politik dan pelaku kesenian tradisi, Tohari juga mengangkat kemanusiaan dalam karya-karya lainnya dari sisi ekonomi.
Dia mengisahkan dengan detil kemiskinan di kampung-kampung yang mengkuruskeringkan tubuh anak manusia, merusak alamnya, mematikan tradisinya, dan menjegal cita-citanya.
Sebaliknya, Tohari juga menunjukkan kebengisan lintah darat, ketengikan penguasa, hingga ketuliaan para punggawa agama. Kisah-kisah sarat nilai-nilai kemanusiaan muncul di sana sini, utamanya cerita pendek.
Tak berhenti menulis, Ahmad Tohari mewujudkan pembelaannya pada kaum papa dengan menegakkan lembaga-lembaga keuangan yang tidak menghisap, dengan harapan memutus mata rantai ketidakadilan hubungan antara lintah darat dengan kaum papa.
Sampai di sini, Ahmad Tohari dapat disejajarkan denga raja cerita pendek tingkat dunia bernama Anton Chekhov. Chekhov yang tidak cuma menulis di atas, tapi turun tangan meringankan rakyat yang sengsara.
Chekov mengumpulkan dana bagi pembangunan sanitarium guru dan pelajar. Sebagai dokter, Chekov juga bekerja secara sekarela mengobati rakyat yang menderita karena penyakit. Dengan kondisi yang berbeda, Ahmad Tohari telah melakukan hal yang sama dengan Anton Chekov. Chekov lahir pada 29 Januari 1860 di Taganrog, Rusia dan wafan di Jerman dan wafat di 15 Juli 1904, Badenweiler, Jerman.
Dalam banyak kesempatan, Tohari memang sering mengemukakan bahwa karya-karya sastra didedikasikan untuk mengangkat manusia-manusia yang disepelekan, untuk menegakkan nilai-nilai yang dihancurkan, untuk mengabarkan peristiwa-peristiwa yang telah dimanupulasi.
Ia tidak main-main dalam menulis sastra. Ia memang mendapat royalti dan nama besar karena sastra, bahkan pergi ke banyak Negara, mengisi ceramah-ceramah di tempat berwibawa, dihormati oleh banyak generasi, berkenalan dengan orang hebat di dunia, sekali lagi karena ia menulis novel. Tapi niatnya menulis bukan untuk itu semua.
Dalam banyak kesempatan, Ahmad Tohari –bulan Juni tahun depan berumur 70 tahun—sering menegaskan, ”Saya memang membela dengan sastra.”
Keterangan: Artikel ini diadaptasi dari pengantar naskah pidato kebudayaan, NU Online, 28 Maret 2014.