Saya punya cukup banyak pengalaman bersama sastrawan/budayawan Ahmad Tohari, yang jika saya ingat sekarang merupakan deretan kenangan yang tak terlupakan; intim, hangat dan mendalam. Uniknya, pengalaman itu sering berhubungan dengan iven sastra, baik yang saya kelola maupun tajaan pihak lain.
Saat Mas Joni Ariadinata, saya dan kawan-kawan mengadakan Kongres Cerpen di Pendopo Cipuri, Parangkusumo, Yogyakarta tahun 2000, Pak Tohari kami undang sebagai salah seorang pembicara. Karena keterbatasan kami, honor dan fasilitas boleh dikatakan kurang memadai, namun Pak Tohari tak mempermasalahkan. Beliau tampak bersemangat memaparkan gagasannya.
Dari acara tersebut disepakati bahwa Kongres Cerpen Indonesia (KCI) akan diadakan secara berkesinambungan di kota/propinsi yang disepakati peserta kongres. Pak Tohari termasuk yang antusias mendukung.
Terbukti, ketika kami membentuk Lembaga Kebudayaan AKAR Indonesia yang salah satu kegiatannya menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia (sebagaimana diamanatkan kongres), Pak Tohari bersedia duduk sebagai salah seorang redaksi.
Begitu pula ketika Kongres Cerpen akhirnya benar-benar berlanjut di Negara, Bali (2002), Pak Tohari datang dengan naik bis bersama undangan lain. Saya sempat mengajak beliau mampir ke rumah mertua di kampung diaspora Loloan, tidak jauh dari tempat acara, dan beliau tampak sangat menikmati suasana rumah yang sederhana dengan nuansa kampung (beliau sendiri membawa seruling banyumas ke mana-mana, bahkan menurut Agus Noor sempat memainkannya di atas bis).
Pada KCI III tahun 2003 di Bandarlampung, Pak Tohari juga diundang sebagai pemateri. Berikutnya, KCI IV di Pekanbaru tahun 2005, beliau pun hadir. Dalam acara ini beliau menderita sakit, yakni alergi karena makan jenis ikan tertentu. Suhu badannya naik. Saat sakit inilah beliau minta saya mendampingi dan istri saya yang merawatnya. Kami dan panitia membawa beliau ke dokter. Selanjutnya kami merawatnya di kamar hotel. Kepercayaan merawat tersebut kami rasakan seperti dari seorang ayah kepada anak.
Beberapa tahun kemudian, dalam acara Festival Sastra Winternachteen sesi Indonesia yang ditaja Teater Utan Kayu di Taman Budaya Solo, kami kembali bersama mengisi acara. Saya, Gus Mus, Timur Suprabana dan lain-lain tampil baca puisi, Pak Tohari, Triyanto Triwikromo dan yang lain membaca prosa. Pak Tohari membacakan bagian Ronggeng Dukuh Paruk yang disensor zaman Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan status Rasus sebagai seorang tentara.
Selesai acara, kami diinapkan di sebuah hotel berbintang. Saya sendiri waktu itu mengajak istri yang notabene juga seorang penyair. Waktu mau tidur, Pak Tohari mencari kami dan bilang bahwa beliau akan tidur bersama kami!
“Kamar saya biarkan saja kosong. Saya lebih nyaman tidur bersama kalian,” katanya.
Maka, kami pun tidur bersama-sama…
Iven berikutnya yang membuat saya bareng Pak Tohari lagi adalah Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) di Sanur, Denpasar. Saya diminta panitia bicara tentang komunitas dan Pak Tohari tentang lokalitas. Pemateri lain waktu itu Joko Pinurbo, Arif Prasetyo dan D. Zawawi Imron. Selesai acara, Pak Tohari bertanya kepada saya mau naik apa pulang ke Yogya. Saya jawab naik bis saja, dengan beberapa pertimbangan.
Tanpa diduga, Pak Tohari memutuskan ikut pulang naik bis bareng saya!
Beliau sangat menikmati perjalanan Denpasar-Yogya yang memakan waktu lebih 18 jam. Bahkan ketika menyeberang Gilimanuk-Ketapang, beliau menelpon dan sms-an dengan beberapa orang tentang keindahan Selat Bali.
Faisal Kamandobat, salah seorang yang di-sms, bertanya tentang acara. Jawab Pak Tohari,”Acaranya menarik, karena Pranita cantik.” Jawaban yang bermaksud menggoda Faisal itu, beliau perlihatkan kepada saya sambil tertawa. Untuk diketahui, Pranita yang ia maksud adalah Pranita Dewi, penyair kelahiran Denpasar, yang menerbitkan buku puisi Pelacur Para Dewa.
Puncak kebersamaan saya dalam sebuah iven dengan Pak Tohari adalah KCI VI di Pinamorongan, Minahasa Selatan, November 2012. Dikatakan “puncak”, karena saya merasakan banyak hal yang menyentuh hati dan mengharukan.
Waktu itu, kongres cerpen sudah lama vakum, pasca KCI V di Banjarmasin, 2007. Tuan rumah yang direkomendasikan kongres, yakni Sulawesi Barat, ternyata tidak sanggup. Beberapa daerah pengganti seperti Aceh, Banten dan Jakarta, juga tak ada kepastian.
Dalam situasi tersebut, tiba-tiba muncul permintaan dari Minahasa untuk menyelenggarakan KCI. Permintaan itu datang dari sebuah sekolah swasta, SMA Kartini, yang terletak di sebuah kampung, Pinamorongan, di pedalaman Minahasa Selatan!
Kami melalui Komunitas Cerpen Indonesia (yang terbentuk saat kongres di Banjarmasin) dengan ketua Ahmadun Y. Herfanda, menyetujui. Hanya saja, karena penyelenggaranya adalah lembaga kecil di kota kecil, maka segalanya serba terbatas. Kami maklum. Toh KCI I dulu di Yogya juga sederhana, anggap saja KCI kembali ke periode komunitas, setelah beberapa kongres terselenggara dalam periode dewan kesenian dan pemerintahan daerah yang relatif besar-besaran.
Saya dan Pak Tohari diminta jadi pembicara dan kami sepakat akan berangkat bersama-sama.
Nah, persoalan muncul saat panitia memesan tiket. Tiket pesawat Yogya-Manado, menurut panitia harganya tinggi sekali. Salah satu penyebabnya, acara dimajukan waktunya sehingga jadwal oemesanan tiket juga mendadak. Apalagi saat itu secara kebetulan berdekatan dengan sebuah hari libur nasional plus ketemu akhir pekan.
Dengan kemampuan “terakhir”, panitia hanya sanggup memesan tiket Surabaya-Manado, sambil berkali-kali mohon maaf dan minta pemakluman. Saya bilang bahwa saya mesti menanyakan dulu kepada pak Tohari tentang kesediaannya. Saya terbayang usianya yang tak muda lagi serta tempat tinggalnya yang jauh di “pedalaman” Jawa.
Segera saya menghubungi Pak Tohari, yang Anda tahu, posisinya di Banyumas. Di luar dugaan, beliau dengan ringan menjawab, “Tak apa, kita berangkat, kasihan panitia kalau kita tak datang.”
Saya mengiyakan dengan takjub, dan sekali lagi membayangkan seorang Ahmad Tohari dalam usia lebih 60 tahun ketika itu, naik bis lima jam Jatilawang-Yogya, lanjut semalam suntuk naik travel Yogya-Surabaya, lalu terbang ke Manado dan terus ke pedalaman Minahasa demi KCI!
Maka begitulah, kami berangkat dalam laju mobil travel Yogya-Surabaya yang ngebut menguber jam terbang kami. Sebab saat berangkat terlambat beberapa jam demi menunggu penumpang yang alamatnya tak ditemui. Beberapa kali Pak Tohari menenangkan sang sopir. Alhmdulillah, akhirnya kami sampai di Manado dengan selamat.
Dalam perjalanan Manado-Amurang, Pak Tohari meminta panitia yang menjemput kami dengan mobil untuk berhenti di rumah makan. “Tolong cari rumah makan yang enak, saya mau traktir kalian,” katanya.
Begitulah perjalanan panjang Pak Tohari dari kampung Srintil di Dukuh Paruk (baca: pedalaman Jawa), ke kampung Ruminen Marianne Katoppo di pedalaman Minahasa, demi sebuah iven sastra! Sebuah perjalanan yang sebenarnya akan meminta catatan tak kalah panjang.
Namun untuk sementara cukuplah ini yang saya tuliskan, tanpa mengurangi nilai dan spirit yang bisa kita ambil. Sebuah sikap dan militansi berkesenian yang lekat dan dekat dengan hidup keseharian sastrawan-santri yang tanggal 13 Juni tahun ini genap berusia 70 tahun; sederhana, bersahaja, mengayomi…
Selamat panjang umur, Bapak kami Ahmad Tohari, semoga Allah SWT meridohi engkau dunia-akhirat….