Bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari kajian untuk al-Qur’an, hadis, dan ilmu keislaman lainnya. Banyak referensi ilmu keislaman ditulis dalam bahasa Arab. Sehingga, memahami ilmu keislaman harus memahami berbagai kaidah Bahasa Arab.
Referensi terkenal tentang ilmu ini adalah Alfiyah Ibn Malik. Isinya berupa bait yang berjumlah 1000, ditulis oleh seorang ulama, yaitu Ibnu Malik. Kitab ini banyak dipuji oleh ulama sezaman dan setelahnya. Hingga hari ini, kitab ini menjadi rujukan yang digunakan di pesantren dan perguruan tinggi. Sungguh luar biasa, jalinan keilmuan Bahasa Arab tetap eksis sampai hari ini.
Ibnu Malik dari Andalusia
Ibnu Malik lahir di daerah Jayani, sebelah timur Cordoba, pada tahun 600/601 H. Kemudian tinggal di Damaskus. Beliau adalah ulama ahli gramatika dan bahasa. Pada zaman hidupnya, kecenderungan ulama cukup kuat pada ilmu nahwu, sharaf, syair, qiraat, dan yang lainnya. Al-Dzahabi memandang Ibnu Malik memiliki fokus yang kuat terhadap Bahasa Arab bahkan sampai pada puncak keilmuannya. Penguasaan ilmu bahasa Arab tidak lepas dari guru-gurunya. Bahasa Arab yang dikuasainya tidak hanya dari satu guru. Gurunya cukup banyak. Yang tercatat oleh al-Gharnuthi adalah Tsabit bin Hayyan (di Jayyan), Abu ‘Ali Syalwabin (selama 13 hari), Ibn Ya’isy al-Halabi, dan Abu Hasan al-Sakhawi.
Beliau sangat dekat sekali dengan Ibn ‘Amrun, dalam hal membaca bahasa Arab. Beliau pindah ke Damaskus dengan menyibukkan diri untuk membaca, menulis, dan menelaah bahasa Arab kemudian disebarkan pada yang lain, termasuk kitab Alfiyah-nya. Di antara muridnya yang terkenal adalah Badruddin (anak Ibn Malik), Syamsuddin bin Ja’wan, Syamsuddin bin Abil Fath, ‘Alauddin bin al-‘Athar, dan Abu Abdillah Ashshairafi.
Para ulama mengakui bahwa keilmuan bahasa Arab yang dikuasai olehnya mencapai puncak. Nahwu dan sharaf bagaikan laut yang luas. Ia dikenal pula dengan ulama yang paling mengetahui syair Arab.
Kehidupan pada zamannya memberikan keleluasaan dalam mengembangkan ilmu, pemikiran, dan budaya yang tiada henti. Ilmu yang berkembang pada zamannya adalah nahwu, sharaf, dan qira’at yang dihubungkan dengan ilmu fikih, tafsir, hadis, dan yang lainnya.
Karyanya cukup banyak. Al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam-nya, menyebutkan beberapa karya, yaitu Tashil al-Fawaid fi al-Nahwi, Sabak al-Manzhum, al-Syafiyah al-Kafiyah, al-Khulashah wa Syarhuha, Ikmal al-I’lam, al-Maqshur wa al-Mamdud, juga al-I’tiqad fi al-Tha’ wa al-Dhadh. Karyanya ini banyak di bidang bahasa Arab, terutama pada nahwu, sharaf, dan kebahasaan.
Syair Seribu Bait
Ilmu nahwu dan sharaf yang disusunnya didokumentasikan dalam kitab Alfiyah. Masyhurnya kitab ini menyebabkan banyak ulama yang mengambil bagian untuk mensyarahinya. Di Indonesia pun, kitab syarah Alfiyah cukup menyebar, misalnya Syarah Ibnu ‘Aqil, Syarah Ibnu Hamdun, Syarah al-Makudi, dan Syarah al-Hudhari.
Bagaimana Ibnu Malik menyusun kitab Alfiyah? Latar belakang penulisannya diduga kuat berhubungan dengan komitmen untuk menjelaskan ilmu nahwu dan sharaf secara komprehensif dalam bentuk nazham dan memudahkan murid untuk memahaminya. Kita bisa melihat informasi ini pada bait Alfiyah:
وَأَسْتَعْينُ للهَ فِي أَلْفِيّة ۞ مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّة
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوجَزِ ۞ وَتَبْسُطُ البَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
“Aku memohon pertolongan Allah dalam (menyusun) kitab Alfiyah ini. Di dalamnya terkandung (penjelasan) yang dimaksud ilmu nahwu”.
Dalam penyusunannya, Ibnu Malik menggunakan metode seperti pendahulunya. Dia mengumpulkan permasalahan dalam nahwu dan sharaf. Permasalahan kedua ilmu ini dipaparkan sebagaimana yang dilakukan Imam Sibawaih, mulai dari kajian tentang kalam, pembagiannya, sampai permasalahan yang lain yang ditulis di akhir yaitu al-idzgham.
Kitab ini menarik perhatian untuk diberikan syarah dan hasyiyah. Ketertarikan ini karena Alfiyah memuat seluruh pembahasan mengenai nahwu secara ringkas. Kitab ini membahas secara tuntas mengenai marfu’, manshub, majrur, fi’il, tashghir, waqf, imalah, i’lal, ibdal, dan idzgham.
Pembahasan mengenai permasalahan nahwu dijelaskan dengan berimbang dan mengambil pendapat yang kuat. Dalam pemikirannya bergabung corak berpikir ulama Bashrah, Kufah, Bagdag, dan para pendahulunya di Andalusia. Akan tetapi, ia punya corak tersendiri yang berbeda dengan pendahulunya.
Aliran pemikiran Baghdad, Kufah, dan Basrah dijadikan dasar dalam memetakan kajian ilmu nahwu dan sharaf. Perbedaan pada ketiga aliran ini dijelaskan oleh Ibn Malik dalam menyusun pembahasan beberapa kaidah nahwu dan sharaf. Pembacaan dan penelaahan yang mendalam pada ketiga aliran ini tumbuh dalam dirinya untuk menyusun bait pada Alfiyah.
Adopsi dan adaptasi pemikiran tiga aliran ini dapat dilihat dari beberapa syarah terhadap Alfiyah. Pada beberapa syarahnya, kita bisa menemukan kalimat dzahaba al-kufiyun atau dzahaba al-bishriyyun, yang menunjukkan ragam pemikiran dalam tanda baca kalimat. Atau berbeda dalam menentukan fungsi kalimat.
Ilmu nahwu dan sharaf sudah berkembang sebelum Ibnu Malik menyusun Alfiyah. Salah satunya adalah Alfiyah ibn Mu’thi, dan ini disebutkan pada satu penggalan bait:
وَتَقْتَضِي رِضًا بِغَيْرِ سُخْطٍ ۞ فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابنُ مُعْطِي
“Mengharap rida tanpa kebencian, seraya mengungguli Alfiyah ibnu Mu’thi”.
Begitu pula, ilmu ini dikodifikasikan oleh Imam Sibawaih, yang dinamai dengan al-Kitab li Sibawaih. Wallahu A’lam.