Relasi antara sains dan agama bersifat konfliktual, independen, dialogis maupun integrasi. Corak yang harus dikembangkan adalah corak dialogis untuk kemudian integrasi sains dan agama harus sama-sama menghadapi bencana yang akan datang yang menimpa umat manusia. Islam sendiri mengajarkan harus menjaga hubungan antara manusia dan ekosistem untuk menanggulangi sebuah bencana. Artinya, sebagai umat muslim harus belajar mengenai sains.
Semua sumber pengetahuan yang ada di dalam Islam pasti akan dikembalikan kepada perintah Al-Qur’an terutama ketika berbicara mengenai dunia sains. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk mengkaji sebuah keilmuan seperti contoh ayat berikut:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Al-Qur’an bukan saja sumber pengetahuan metafisis dan religius, tetapi juga sebagai sumber segala pengetahuan. Peran Al-Qur’an di dalam filsafat Islam dan ilmu pengetahuan sangat penting begitu pula di dalam hukum dan metafisika meskipun sering diabaikan oleh para penyelidik masa kini. Al-Qur’an adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam (Sayyed Hossein Nasr, 2015:32).
Pada masa keemasan Islam dan setelahnya mereka para masyarakat muslim mengindahkan perintah-perintah Tuhan tersebut. Terlebih para cendekiawan yang hanya berfokus pada satu bidang keilmuan saja bahkan ada juga mereka karena faktor politik tidak mau mengakui adanya kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang diperintahkan dalam kitab suci mereka sendiri. Terutama ketika berkaitan dengan ilmu sains yang dianggap tidak memiliki manfaat untuk menyokong atau memenuhi kebutuhan umat muslim secara langsung (Nidhal Guessoum, 2014:190).
Namun, dewasa ini sains telah menjadi sedemikian penting dalam kancah peradaban dunia sehingga masyarakat tidak lagi berbicara masalah hal yang bersifat abstrak saja. Sains sudah masuk dalam segala bidang aspek kehidupan baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan segala aspek dalam kehidupan manusia. Maka umat islam harus terjun ke dalam dunia sains yang sekarang diagung-agungkan oleh dunia, karena era sekarang tolak ukur peradaban dunia dilihat dari sisi sainstisnya.
Di bawah pengaruh Islam, sains tumbuh subur dan mempunyai bentuk-bentuk yang unik. Sarjana-sarjana Eropa Timur yang bergelut dengan literatur latin, benar-benar bersimpuh di bawah cendekiawan-cendekiawan muslim Spanyol dan Islam di sepanjang laut tengah untuk mempelajari dasar-dasar sains dan aspek-aspek lain dari prestasi Islam. Tradisi sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Islam betul-betul unik, unik bukan hanya dari segi epistemologinya tetapi juga terletak dalam metodologinya (Ziauddin Sardar, 1977:31).
Konsep sains Islami dalam pengertian apapun juga pertama kali dikenalkan oleh Nasr ketika hanya ada sedikit cendekiawan modern yang berkutat soal demikian, itupun jika ada muslim yang serius tertarik dalam topik-topik tersebut. Karena itulah dalam hal ini Nasr bisa dibilang seorang pionir yang selalu menegaskan bahwa sains dalam pandangan Islam, baik pada masa keemasan peradaban Arab-Islam maupun dewasa ini.
Sains Islam memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan sains dalam pandangan Barat. Sebagai seorang muslim yang taat, Nasr dalam kajiannya terhadap sains Islami tentu tidak terlepas dari ajaran agamanya yakni Islam dengan cara-cara yang filosofis dan melalui perenungan yang panjang, sehingga ia berani menyuarakan atas adanya perbedaan antara sains Islam dan sains Barat.
Mengenai sains Islami, Nasr juga memberikan ulasan yang menarik dalam disertasinya yang dapat kita katakan sebagai kekhasan dari sains Islami yang dimaksud oleh Nasr, berikut kutipannya;
“There is a deep intuition in Islam, and in fact in most Oriental doctrines, that the aim of knowledge is not the discovery of an unknow which list in an unexplored domain outside the being of the seeker od knowledge or beyond the “boundary of the know”. But of retrun to the origin of all things wich lies in the heart of man as well as within “every atom of the Universe”. To have a knowledge of things is to know from where they originate, and therefore where they ultimately retrun. Muslim aouthors, who have been generally Imbued whit the central Islamic doctrine of unity. Have been fully aware of this basic intuition of the ultimate return of all things to their origin and the integrasition of multiplicity into unity. That is whey they that belived that the retrun of man to God by means of knowledge and purification, which is the reverse tendense of cosmic manistefation conform to the nature of things and their entelechy. Creation is the bringing into being of multiplicity from unity, while gnosis is the complemtary phase of the integration of the particular in the universal” (Sayyed Hossein Nasr, 1978:178)
Kutipan di atas yang pada intinya berarti bahwa ada intuisi terdalam dalam Islam ada pada faktanya dalam doktrin ketimuran bahwa tujuan utama pengetahuan tidak hanya mengeskplore sesuatu yang asalnya tidak diketahui, lalu kemudian ditemukan. Melainkan juga diketahui bagaimana kembalinya makhluk dari keragaman menuju pada penyatuan kepada sumber yang azali. Untuk itu pengetahuan tidak hanya memberikan dampak pada hal yang bersifat materi saja, melainkan juga harus memberikan dampak pada yang bersifat immateri yang ada di dalam hatinya.
Begitu semangatnya Nasr menganjurkan visinya yang menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular humanistik (Perves Hoodbhoy, 1996:133) dari sains modern, karena era ini (sains modern) disebut era matrealistik, mekanistik, dan atomistik. Oleh sebab itu Nasr mengatakan kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala. Nasr mengkritik apa yang disebutnya sebagai sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam.
Kita hampir tidak mungkin menyetujuinya dalam masalah ini. Tetapi, dia melanjutkan penciptaan visi yang sangat menarik untuk sains Islam yang harmonis dan penuh kedamaian. Yang sama sekali bebas dari kesalahan dan aturan-aturan bermakna yang akan mengatur sains tersebut. Nasr berusaha mengemukakan dan memberikan suatu pandangan yang menyeluruh tentang kedudukan sains Islam dalam sejarah dan di masa yang akan datang.
Nasr berpendapat bahwa sains Islam mempunyai suatu identitas tersendiri dan berusaha menonjolkan ciri islaminya yang unik. Tetapi, Nasr membuat kesalahan karena terlalu menekankan aspek-aspek matafisika sains Islam sehingga mengabaikan aspek-aspek kuantitatifnya (Ziauddin Sardar, 1985:179). Lebih-lebih ikatan Nasr dengan sufisme mendorongnya untuk memusatkan perhatian pada bidang-bidang seperti Astrologi, alkimia, dan ilmu ghaib yang memang ada tetapi tidak terbayangkan akan pernah dianggap sebagai bagian dari tradisi sains Islam.
Sekalipun demikian, Nasr berusaha menerapkan suatu sains alternatif secara nyata; suatu sains yang sama objektif dan rasionalnya dengan sains Barat, tetapi mendapatkan pengesahan dan kerangka filosofis dan sosiologisnya dari epistemologi Islam yang bercakupan sangat luas. Seperti yang dikatakan Nasr, sains Islam lampau terbenam begitu dalam pada pandangan dunia Islam sehingga ia dapat memadukan dan menyelaraskan setiap gagasan dari luar, seperti warisan ilmiah Yunani, dan membawanya sejalan dengan pandangan dunianya sendiri.
Sesungguhnya, sains Islam, sebagaimana yang dibukakan oleh sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya pada kesatuan agama dengan sains, pengetahuan dan nilai-nilai, fisika dan metafisika. Penekanannya pada keragaman metode dan penggunaan sarana-sarana yang benar untuk meraih cita-cita yang benar itulah yang memberikan gaya yang khas pada sains Islam.