Abu Ali al-Husayan Ibn Sina dalam bahasa Latin dikenal sebagai Aviccena (980-1037 M). dia dilahirkan di Afsyana di Transoxiana (Iran Utara), dan hidup dikerajaan pangeran Samaniyah dan Buwahiyyah, Iran, dan meninggal di Hamadan. Dia adalah tokoh besar filsafat Neo-Platonis Islam, dan ahli dalam bidang pengobatan pada abad pertengahan. Semasa kecil Ibn sina sudah mencintai ilmu pengetahuan bahkan sejak usia Sembilan tahun ia sudah menghapal al-Quran dan menguasai ilmu keislaman lainnya.
Sejak usia dini ayah Ibn Sina selalu mencarikan guru keilmuan untuk dirinya karena ia berharap Ibn Sina kelak menjadi orang yang berilmuan dan bermanfaat untuk sesama. Sewaktu besar menginjak usia dewasa ia balajar filsafat kepada al-Farabi (w.950 M) berkat al-Farabi, Ibn Sina bisa memahami metafisika Aristoteles. Sebagai seorang yang genius dan menguasai banyak bidang keilmuan Ibn Sina banyak menghasilkan karya diantaranya kitab asy-Syifa, Kitab an-Najat, Qanun fi at-Tibb, dan Kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat.
Sebagai seorang tokoh yang membangun basis filsafat Timur Islam tentunya Ibn Sina sangat tau persis bagaiman filsafat dibangun dan dibentuk di dunia Timur Islam. Bahkan, konon Ibn Sina telah menulis kitab mengenai filsafat Timur yang diklaim merepresentasikan doktrin dia yang sebenarnya. Tetapi buku ini juga tidak sampai kepada kita. Tampaknya sang filsuf menyimpan karya tersebut layaknya sebuah rahasia “yang tidak boleh kita ungkpakan kepada orang yang tidak cocok menerimanya”. Dengan begitu, banyak teka teki dalam filsafat Timur Islam yang memnag itu tidak boleh dibaca oleh khalayak umum, karena seperti yang kita ketahui setiap kata, setiap kalimat, dan setiap teks terdapat medan makna yang harus kita kuak dan tidak semua orang bisa menguak hal yang tersiart dibalik itu semua.
Mengenai filsafat ketimurannya ini, Ibn Sina bisa kita tebak bahwa ia lebih mengedepankan gnostis yang mengantarkan nalar Arab Islam runtuh dalam sekejap. Filsafat Ketimurannya ini adalah tentang “kehidupan lain” artinya filsafat yang ia bangun bertujuan untuk dunia yang sekarang dan akhirat nanti. Ibn Sina membangun filsafatnya tidak lepas dari berbagai konfilik yang terjadi pada masanya dan sekaligus ia membangun filsafatnya berdasarkan misi seorang yang militan untuk mencapai sebuah tujuan.
Filsafat yang Ibn sina bangun sebagai Filsafat Ketimuran adalah filsaft yang bernafaskan wacana irasionalis dan juga wacana ideologis (Abid al-Jabiri, 2003:85) filsafat ini yang kedepan menjadi basis wacana ideologi dan filsafat nasional oleh orang-orang Persia. Hal yang penting bagi kita bukanlah wacana dalam dirinya an sich, bukan berapa motivasinya, melainkan berbagai konsekuensi serta akibat yang ditimbulkan oleh filsafat Ibn Sina tersebut.
Dengan filsafat ketimurannya Ibn Sina mentasbihkan bahwa filsafat Timur lebih cenderung kepada spirittualitas dan gnostisisme. Kecendrungan tersebut sangat berpengaruh pada kemunduran pemikiran Arab dari yang tadinya berisfat rasionalisme terbuka yang dipelopori oleh kaum Muktzailah, serta al-Kindi dan mencapai puncaknya pada al-Farabi menjadi pemikiran Arab yang bersifat irasionalisme dan gnostisisme yang menjadi ciri khas pemikiran Persia. Justru ciri khas filsafat Timur dengan label gnostisisme dan irasionalisme yang merusak dan memicu pada pemikiran gelap yang terjadi di Timur Islam.
Pemikiran filsafatnya ini yang menyebabkan Filsafat Timur Islam berhenti dalam cukup waktu yang tidak sebentar ditambah muncul para tokoh-tokoh filsuf seklaigus sufi yang menyerang bangunan filsafat yang dibuat oleh Ibn Sina. Tokoh-tokoh itu antara lain Imam Abu Hamid al-Ghazali dan Suhrawardi, mereka berdua adalah tokoh yang gencar menyerang filsafat Ketimuran yang dibuat Ibn Sina lebih-lebih al-Ghazali secara gamblang membuat dirinya layaknya superhero yang bertanggung jawab atas filsafat yang dibangun oleh Ibn Sina dengan karyanya yang berjudul al-Munqiz min ad-Dalal dan Ihya ulum ad-Din.
Al-Ghazali dan para pengikutnya melakukan perlawanan terhadap pemikiran Ibn Sina dan menuudh ia melakukan permusuhan terhadap maksud dan tujuan yang ia anut sendiri, meskipun al-Ghazali tidak mudah mepertahankan pemikiran sendiri pada masanya, karena dia meminjam beberapa metode Aristotelian dan kaum teolog. Setelah Ibn Sina wafat para penentangnya justru mengambil alih peran yang menjadi tumpuan dari orientasi pemikiran Ibn sina, yakni filsafat Ketimuran. Selanjutnya mereka (al-Ghazali dan pengikutnya) penentang Ibn Sina mengekspos berbagai pamrih para filsuf dan mengukut inkoherensi para filsuf sekaligus terlibat dalam perjuangan melawan para filsuf. Tuduhan, kecaman, dan perlawanan ini yang menyebabkan runtuhnya rasionalisme di dalam tubuh Islam Timur.
Runtuhnya nalar ummat Islam Arab ini karena kerangka bangun filsafat Ketimuran yang dibuat oleh Ibn Sina sendiri yang lebih mengedepankan aspek religiusitas dan gnostisisme dalam filsafat Timur Islam dan dilanjutkan oleh para kritikus dengan kepalanya al-Ghazali untuk menengggelamkan filsafat dalam tubuh Islam. Terbenamnya nalar rasional dalam tubuh Islam semakin menjadi-jadi setelah timur Islam lebih mengedepankan ajaran sufisme dibadingkan filsafat dan tidak itu saja menghilangnya nalar rasionalisme dalam Islam juga dikabitkan peralirah politik di dunia Timur Islam.
Secara umum filsafat Timur yang Ibn Sina bangun tidak lain karena pandangan-pandangannya Ibn Sina sendiri terkait persepsi dalam ilmu pengetahuan yang membentuk aliran sendiri di dalam tubuh filsafat Islam. Pembentukannya ini tidak lepas dari pengalaman Ibn Sina dalam mengarungi samudra keilmuan yang ia pelajari semenjak kecil dan arahan dari gurunya sewaktu mempelajari ilmu pengetahuan. Persepsi yang Ibn Sina bangun juga tidak lepas dari kondisi sosio-masyarakat Persia yang lebih cenderung ke arah metafisik gnostik dari pada positivistik.
Kedudukan Ibn Sina pada persepsi secara umum adalah kedudukan realisme yang naif, seperti kedudukan Aristoteles dan para pengulasnya yang memandang persepsi secara representasi (M.M Syarif, 1991:120). Namun setelah mendapatkan krtik dari aliran skeptis dan aliran relatif yang menunjukan realtifitas kualitas-kualitas yang tercerap padangan representasi ini menjadi sungguh-sungguh termodifikasi dan akhirnya Ibn Sina menerima pandangan realisonal tentang kualitas-kualitas persepsi. Dengan persepsi kita yang hidup di abad ke-21, sebaiknya lebih objektif terkiat dengan nalar-nalar keislaman yang dibuat oleh para pendahulu kita. Bersikap objektif lebih baik dari pada mengikuti mereka tanpa ada lansasan yang jelas karena ajaran Islam taqlid buta itu tidak diperkenankan.
Tida kredibel, tulisan seperti ini belum layak dipublish, referensinya dari mana? Mengambil Referensinya hanya dari satu sumber saja ni yah
Baguuus, keren mas👍👍👍