Sedang Membaca
Wayang: Politik dan Liminalitas Reflektif
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Wayang: Politik dan Liminalitas Reflektif

Wayang Geger Pacinan Dalang Peranakan Ki Jose Amadeus Krisna Tampil Sebagai Dalang Dalam Pergelaran Perdana Wayang Geger Pecinan Perang Geger Pacinan 10 Oktober 2020. (christian Saputro) (4)

Kita mengenal wayang, seni pertunjukan bernilai estetis dalam dramaturgi ‘”total theatre’” dalam penyajiannya. Seni peran, ekspresi seni rupa dalam tatah sungging, wanda (karakter) hingga warna yang digunakan, didukung seni karawitan dalam komposisi vokal dan gending pengiring. Diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia pada 7 November 2003, presentasi artistik sebagai susunan dialektika kultural ini mendemonstrasikan kandungan nilai peradaban yang luar biasa.

Selain sebuah seni pertunjukan, wayang merupakan ekosistem sosial yang hidup, yang membuktikan akar sejarah budaya masyarakat yang menghidupinya. Ini karena wayang tidak pernah berdiri sendiri, tapi terhubung dengan bidang-bidang kehidupan manusia. Wayang hadir dan digunakan dalam ritus inisiasi atau ritual pemujaan nenek moyang. Dalam masyarakat tradisional, wayang menjadi hiburan di kala panen atau dipentaskan sebagai ruwatan atas suatu ketidakberhasilan. Wayang menyimpan sumber memori kolektif yang bernilai filosofis dengan makna reflektif dan kontekstual (Lestari, 2023).

Wayang mengandung makna dan nilai sosial, politik, budaya hingga spiritualitas. Dilanjutkan Lestari, wayang luwes bertransformasi dalam tahapan zaman. Bentuk boneka wayang misalnya, berubah merunut waktu. Wayang yang berkembang di masa Majapahit berbeda dengan wayang di masa Demak atau Mataram. Begitu juga wayang zaman Kerajaan Kediri menggunakan bahasa Jawa Kuna, lalu menggunakan bahasa Jawa Baru setelah Majapahit runtuh dan masa Demak. Dengannya, wayang menyimpan pengetahuan logika historis teknik ekspresinya.

Dari penceritaannya, kisah pewayangan yang kerap dimulai dengan kata alkisah, sesungguhnya menjadi pembuka dari kisah-kisah besar yang saling terhubung, yang menyimpan bermacam pesan kebajikan yang mampu mengartikulasikan berbagai perkara dengan multiperspektif dan multitafsir.

Menurut Lestari (2023), rekaman peradaban itu bisa dipelajari melalui wayang. Bukan rumusan solusi langsung, tapi simbolisme yang mesti diolah, dimaknai dan dikontekstualisasi. Wayang mengajak kita pada cara berpikir yang membawa pada makna tertentu di mana pandangan hidup direpresentasikan. Meski berubah media ungkapnya, teks-teks rujukannya masih bertahan hingga sekarang. Dengannya, wayang bisa tetap relevan dengan konteks kehidupan kiwari.

Eksplorasi Artistik

Seturut S Prasetyo Utomo (dalam Lestari, 2023) para dalang juga melakukan eksplorasi kreatif terhadap pergelarannya. Lakon-lakon cerita mengalami tafsir dan artikulasi baru atas struktur narasi lama untuk menciptakan kontekstualisasi dengan dunia panggung mutakhir dan realitas kehidupan yang dihadapi. Gaya pakeliran diperkaya dengan lakon-lakon yang diselaraskan dengan konteks pergeseran zaman, pembaruan dialog yang lebih komunikatif, dramatika bermuatan kritik sosial, dan penampilan tokoh-tokoh yang bisa menjadi agen perubahan demi nilai-nilai peradaban universal.

Baca juga:  Melepas Gus Im: Membaca Tanda-Tanda

Tata ungkap wayang juga dieksplorasi. Tokoh-tokohnya melakukan pembebasan hegemoni kekuasaan artistik atas nama pakem, dengan tetap tidak mengabaikan basis nilai mitologi, filosofi, hingga religiositas dan spiritualitas yang melingkupinya. Ki Seno Nugroho, Enthus Susmono (pesisiran), Slamet Gundono (wayang suket), Toni Harsono (wayang potehi), Jlitheng Suparman (wayang kampung sebelah) hingga Tri Ganjar Wicaksono (wayang beber) hanya contoh pelaku penjelajahan artistik yang memungkinkan wayang dapat dinikmati kalangan yang lebih luas.

Dilanjutkan Utomo lagi, dengan menggunakan bahasa, sabetan, tembang, para dalang bereksplorasi untuk menghidupkan filosofi kemanusiaan untuk menghadirkan pandangan dunia tentang pembebasan hegemoni kekuasaan, egaliterianisme dan kepedulian sosial, pencapaian kebahagiaan hidup, hingga kesadaran keilahian. Dengannya, seusai menonton pergelaran wayang, penonton akan mendapat katarsis tentang spiritualitas dan estetika, empati kemanusiaan, dan religiositas yang transenden.

Ketika menonton wayang, seturut Afrizal Malna (2010), kita bagai masuk dalam perpustakaan Plato, tentang idealisme dan ide-ide (meski kita tidak pernah sampai pada ide-ide itu sendiri). Kadang seperti ada di perpustakaan Heidegger: kita membaca tidak dengan cara melihat, tidak dengan kesadaran, karena kesadaran itu dirutinkan, dilembagakan dalam hidup sehari-hari, yang membuat kita lupa. Kadang bagai masuk ke perpustakaan Hegel tidak ada penanda sehingga kita selalu bergerak diantara yang substansi dan artifisial.

Identifikasi

Dalam proses tersebut, orang akan sampai pada liminalitas: ruang ambang, antara, transisi antara (pemahaman) dunia lama dan (konteks) dunia baru. Antara makna lampau dan perspektif masa depan. Ketika menonton wayang, orang akan mencoba untuk mengerti, memahami dan menempatkan wayang dengan diri dan sekitarnya, saat ini. Orang memaknai cerita wayang secara reflektif, kontekstual bahkan visioner, sebagai kontinuitas pemaknaan terhadap kehidupan.

Baca juga:  Gus Dur, HAM, dan Kontekstualisasi Pemikiran Keagamaan

Maka kerap kita mengidentifikasi diri dengan tokoh wayang. Tokoh Semar, Kresna, Bima juga Karna menjadi simbolisme nilai yang diacu bagi proses personifikasi kualitas diri, sebagai refleksi berdasar logika etis dan metafisis masyarakat Nusantara. Kandungan nilai dan makna etika dan moralitas terkandung pada tokoh-tokoh wayang dalam semesta wayang. Termasuk kontekstualisasinya dengan kondisi kiwari, terlebih dengan hal yang kerap dipadankan dengannya: dunia politik.

Seperti kisah Mahabharata menjadi contoh pembelajaran tentang kehidupan dan politik, moralitas dan keadaban publik. Seperti tokoh Kresna yang selalu mendukung Pandawa dan mengajar mereka untuk menjunjung tinggi kebenaran dan moralitas dalam hal apa pun, termasuk berpolitik. Mahabharata juga mengajarkan seseorang harus mengikuti jalan dharma serta membahas konsekuensi dari ketidakjujuran dan melakukan dosa. Perang Bharatayudha adalah tentang patriotisme, cinta, dan kasih sayang manusia dalam kebajikan (Yusrizal Hasbi, 2023)

Gara-gara

Darinya kita belajar jangan sampai kondisi bangsa ini seperti memasuki babak gara-gara dalam pewayangan. Sebuah fase kehidupan yang ditandai dengan ketidakseimbangan anasir alam dan kondisi kontekstualnya.

Kondisi sosial ekonomi belum stabil, konflik sosial perlahan makin meruncing, hingga kualitas hukum dan keadilan menurun drastis. Para elite politik justru bermanuver untuk melanggengkan kekuasaan. Semua ingin mengurus pemerintahan, tapi sedikit yang menegakkan demokrasi substansial. Padahal mereka memiliki pertanggungjawaban etik dan kebangsaan untuk melayani kepentingan publik yang lebih luas, tapi kekuasaan digunakan untuk menunggangi kepentingan rakyat demi kepentingan diri dan kelompoknya.

Kesan hukum digunakan untuk kepentingan golongan yang mempunyai kuasa, makin terasa. Publik dianggap anak kecil yang bisa dikelabui dan diabaikan pendapatnya karena tak mempunyai kekuatan untuk merubah keadaan. Keputusan politik jauh dari kebutuhan publik, bahasanya retoris dan birokratis untuk mengaburkan maksud dan tujuan utama memuluskan hasrat penguasa.

Seturut Gramsci, hal ini menjadi praktik dominasi kekuasaan yang tidak semata-mata diwujudkan melalui kekerasan fisik. Kekuasaan dapat ditegaskan lewat modus operandi strategi hegemoni melalui sistem simbol dan kuasa tafsir yang terselubung didalam praktik simbolik bahasa dan juga wacana untuk melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Dalam logika Nietzsche, nilai subyektif penguasa menjadi mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.

Baca juga:  Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (7): A. Wahid Hasyim

Wirya

Hal ini jauh dari kualitas sikap hidup yang tertulis dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke 15 sebagai wirya, yang berarti “keluhuran, kekuasaan”. Orang yang luhur dihormati banyak orang karena keutamaannya, bukan kekuasaannya. Demikian pula kuasa, bukan berarti kebebasan melakukan apa saja, memaksakan kehendak untuk dituruti semua orang.

Tugas politik adalah membangun wacana, melahirkan ilmu pengetahuan dan teori yang aplikatif dalam bentuk undang-undang. Tapi regulasi bukan peraturan yang memanfaatkan keadaan, akan tetapi yang mampu mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Berefleksi pada kerajaan Amarta yang dipimpin para Pandawa, kehidupan bernegara harus dipahami sebagai usaha untuk merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti politik partisipatif, tanggung jawab sosial, demokrasi, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil.

Indonesia bukan Astina. Politik kita bukan dipilih untuk memuluskan hasrat ngurawa bagi segelintir orang dan kepentingan dimana semua menjelma Durna – seorang pandita, sosok bijak dan waskita tapi semua kemampuannya digunakan untuk membela kepentingan Kurawa. Atau Duryudana yang haus kekuasaan, Sengkuni si penghasut, pun si licik Aswatama – mereka yang terus menghamba pada nafsu politik, hasrat korup memperkaya diri dan kelompoknya dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.

Melalui wayang, kita bisa menciptakan kesadaran tatanan nilai melalui suatu tafsir dan rumusan baru tentang kehidupan yang lebih beradab. Dengannya, wayang perlu didudukkan dalam sistem sosial kemasyarakatan sebagai pola-pola komunikasi yang bermuatan reproduksi budaya untuk mencapai kesadaran kolektif. Sekaligus membuktikan kebudayaan bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang bisa mengatasi persoalan-persoalan kontemporer.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top